Advertisement Section

Membaca Ulang Tetralogi Buru

Membaca ulang tetralogi Buru, yang saya maksud adalah membaca dalam pengertian yang sebenarnya. Dalam konteks ini, ada sebuah teks yang diterima oleh indera penglihatan saya dan kemudian mengintepretasikan sebagaimana biasanya.

Hanya saja, dalam proses pengintepretasian yang saya lakukan, ada intepretasi yang sudah lebih dulu terdapat dalam memori saya. Dalam hal ini, memori saya telah menyimpan intepretasi dari pembacaan yang saya lakukan pertama kali atas buku yang sama.

Ketika sebuah teks yang sudah memiliki makna di dalam memori, di baca ulang dan coba dimaknai kembali, beginilah yang terjadi.

Pada pembacaan pertama yang saya lakukan terhadap tetralogi Buru karya Pramodya Ananta Toer, hal paling dominan yang ada di memori saya adalah gambaran peristiwa sejak halaman pertama sampai dengan halamannya yang terakhir.

Peristiwa-peristiwa yang muncul seperti memutar sebuah adegan-adegan yang saya buat sendiri di dalam pikiran. Ia tinggal menjadi rangkaian peristiwa yang tersimpan di dalam memori. Sebagai pembaca, saya tinggal menikmati cerita, dan melupakan esensi mengapa cerita tersebut mesti dituliskan.

Pembacaan yang demikian itu, telah membuat saya kehilangan banyak hal. Bisa jadi dalam pembacaan saya itu, ada keinginan untuk segera menyelesaikan, atau ada sebab lain yang sudah saya lupakan.

Tentu kehilangan besar tersebut tidak langsung saya sadari. Ada banyak peristiwa yang membuat saya menyesali cara saya membacanya pertama kali.

Bahkan penyesalan itu belum juga muncul, sampai saya membaca kembali Bumi Manusia, untuk kedua kalinya. Waktu saya menyelesaikan Bumi Manusia untuk kedua kalinya, saya baru menyadari telah menyia-nyiakan ribuan halaman, lengkap dengan susunan kalimat dan kata yang ada di dalamnya.

Banyak halaman yang sudah saya baca, tetapi tidak benar-benar saya pahami. Ada banyak nilai yang gagal diambil oleh memori, padahal itu yang paling penting.

Sebelumnya pikiran saya mencoba untuk menvisualkan teks. Ada sebuah adegan yang dijalankan. Membuat tokoh-tokoh yang ada di dalamnya sebagai objek.

Tapi kemudian, saya memikirkan kalau tokoh itu hanya objek, semua tokoh dan ceritanya tidak lain adalah pengarang itu sendiri. Seluruh isi karya tersebut tidak lain adalah diri pengarang yang hadir dengan wajahnya yang berbeda-beda.

Pertanyaan yang kemudian muncul, bisakah manusia membuat dirinya menjadi banyak pribadi. Bisa! Tapi itu bukan dibuat, tetapi karena sakit.

Oleh karenanya, saya coba menjadikan tokoh-tokoh dalam cerita tidak lagi membuat adegan, tetapi bicara. Tokoh-tokoh itu adalah individu yang memiliki latar belakang masing-masing. Pun mereka muncul dalam bentuk teks, memang begitulah wajah mereka.

Mereka adalah subjek yang lain dari pengarang. Mereka bukanlah manusia yang dapat kita saksikan di dunia nyata. Mereka telah hidup dengan caranya.

Kalau ada adegan yang mirip dengan cerita itu dimainkan oleh manusia, keduanya berbeda. Mereka adalah subjek dalam keakuannya masing-masing.

Dan begitulah yang terjadi dalam pembacaan kedua saya terhadap tetralogi Buru karya Pramodya Ananta Toer.

Sumber gambar: seni.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Tentang Terjemahan Kitab Berbahasa Arab: Diksi
Next post Gajah Tidak Ingin Masuk Lemari Pendingin