Advertisement Section

Soekarno dalam Pandangan Pramodya Ananta Toer

Dia menyatukan negaranya, dan kemudian membebaskannya. Dia membebaskan bangsanya dari rasa rendah diri dan membuat mereka (bangsanya) memiliki rasa bangga sebagai orang Indonesia. Tidak ada yang demikian ini sebelumnya, selama tiga setengah abad kolonialisme Belanda dan tiga setengah tahun pendudukan Jepang, suatu kebanggaan didapat oleh bangsanya. Apa yang dilakukan Soekarno pada 17 Agustus 1945, dapat disepadankan dengan yang telah dilakukan oleh Thomas Jefferson untuk Amerika Serikat pada 4 Juli 1776. Atau bahkan melebihi Jefferson. Soekarno adalah satu-satunya pemimpin Asia di era modern yang menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang etnis, budaya, dan kepercayaan tanpa menumpahkan darah, barang setetes pun.

Bandingkan yang telah dilakukan Soekarno, dengan penggantinya, Soeharto. Membunuh dan memenjarakan ratusan ribu orang (bahkan jutaan) untuk mendirikan suatu rezim orde baru. Keduanya tentu sama-sama menakjubkan dengan prestasinya masing-masing. Hanya saja, kebanyakan orang tidak lagi tertarik untuk mengetahui kisah Soekarno. Oleh karenanya, akan saya ceritakan kembali Soekarno, untuk orang-orang yang sudi mengikuti kisahnya.

Bung (saudara) Karno, begitulah kebanyakan orang mengenalnya. Ia lahir pada tahun pertama abad baru, 6 Juni 1901. Ia adalah anak dari seorang bangsawan Jawa yang beristri Bali. Ia memiliki minat pada dua bidang, atletik dan akademisi. Ia menjadi salah satu dari sedikit pemuda pribumi yang dapat pendidikan Belanda dan menguasai bahasanya. Kemampuannya mulai terlihat waktu ayahnya mengirimnya ke Surabaya untuk masuk sekolah menengah. Kemudian ia bertemu dengan seorang nasionalis terkemuka, H.O.S Tjokroaminoto. Ditangan Tjokroaminoto, Soekarno menjelma orang penting dalam perjuangan kemerdekaan. Dengan kemampuannya dalam pidato, ia telah menawan banyak orang. Dan satu hal yang penting, bahwa seorang yang muda akan mendapat jalan yang cemerlang, melebihi mentor atau gurunya (Tjokroaminoto).

Pada 1929, tepatnya dua tahun setelah ia membentuk perkumpulan yang kelak menjadi Partai Nasional Indonesi (PNI), Soekarno diadili Belanda. Pertahanan diri, dalam dua hari terakhir pengasingannya, menjadi pembuktian kemampuannya dalam diplomasi, dan ketika ia dibebaskan pada 1931, sesuatu yang besar telah terjadi dan orang-orang menyambutnya sebagai pahlawan baru. Dalam tahun-tahun mendatang, Soekarno menggunakan yang diberikan padanya (pahlawan baru) untuk menanamkan keindonesiaan dalam diri bangsanya. Ia telah membuat bangsanya benar-benar bersatu, bukan sekadar menyatukan bangsa Jawa dan Bali, bangsa Aceh dan Sumatera, tetapi bangsa yang bernama Indonesia. Dia telah meletakkan karirnya yang gemilang, bahkan hidupnya untuk persatuan dan perdamaian bangsanya. Ia telah memberikan suatu warisan yang besar, bahkan jika penggantinya kemudian merusaknya (disintegrasi, sebagai akibat kebijakan Soeharto), warisannya akan menawarkan segala kekacauan yang diciptakan orde baru (tentu bila bangsanya mau belajar sejarah).

Akan tetapi, rupanya sejarah belum memihak pada Soekarno. Hari ini banyak orang di barat mengingatnya sebagai seorang yang glamour dan sering melanggar susila. Dan seorang pemimpin yang menghasut dengan menyuarakan “Negara-negara Barat pergi ke neraka”. Kemudian menarik Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Semua orang melupakan bagaimana Ia dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan kemerdekaan bangsanya pada 17 Agustus 1945. Waktu itu (1945) banyak politisi Barat melihat Soekarno sebagai cahaya baru yang bersinar diantara negara-negara terbelakang. Namun, kekaguman mereka segera memudar setelah ditemukannya hantu baru yang berkeliaran di dunia ini, komunisme.

Soekarno menyebut ini (kemunculan komunisme) sebagai “Abad kebangkitan bangsa-bangsa berwarna,” karena mereka (komunisme) telah melemparkan belenggu kolonialisme Barat. Ia kemudian memainkan peran utama dalam proses dimulainya peristiwa penuh sejarah, Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955, setelah meraih kegemilangan pada gerakan non-blok yang merambat sampai Amerika Latin.

Soekarno juga menyebut ini sebagai “Abad intervensi,” saat kekuatan-kekuatan besar terus mencoba untuk mengganggu di dalam urusan negara-negara kecil. Intervensi ini ditimbulkan oleh intelijen. — kekuatan dalam kekuatan, sebuah negara di dalam negara yang dipercayai tugas untuk menghilangkan komunisme dari muka bumi.

Di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, pemerintahan militer kembali didirikan sebagai benteng melawan Red Menace. Rezim represif seperti Mobutu di Afrika, atau Soeharto di Asia mendapat restu Barat untuk melakukan penindasan kemanusiaan, selama penindasan itu dilakukan atas nama demokrasi dan penumpasan komunisme.

Dalam keadaan yang seperti demikian ini, Soekarno tidak lagi dilihat sebagai Thomas Jefferson, tetapi sebagai seorang yang memandang komunisme sebagai jalan untuk memperluas pengaruhnya. Kampanya melawan Soekarno pun dimulai. Dari fitnah yang mengatakan Soekarno sebagai kolaborator jepang semasa perang, kemudian diikuti dengan tuduhan ia menjadi diktator pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya. Apakah tuduhan ini benar adanya? Adalah kolaborator Jepangkah Soekarno?

Bahkan ketika ia berada di dalam penjara pada 1930, Soekarno menulis kepada pemerintah kolonial, “Sia-sia Belanda bekerjasama dengan nasionalis untuk berjaga dari fasisme Jepang.” Sebaliknya, ketika Jepang datang menyerbu Indonesia, Belanda menyerahkan negara dan rakyatnya, termasuk Soekarno yang dipenjara. Bahwa kemudian ia bekerjasama dengan penjajah rakyatnya (Jepang) adalah satu hal yang tak terbantahkan, tetapi ia melakukannya dengan dukungan sesama nasionalis, Hatta. Dan ia menggunakan pengaruhnya untuk kepentingan bangsanya.

Soekarno pun mengakui ia merekrut ribuan orang dari gerakan kepanduan untuk tentara Jepang, yang kebanyakan tewas dalam perang. Namun, ia juga menggunakan jaringan radio Jepang untuk memelihara nasionalisme bangsanya di seluruh Nusantara. Apa pengamat yang jujur akan menyalahkan Soekarno untuk mengambil kesempatan, membangkitkan kesadaran masyarakat untuk perjuangan kemerdekaan? Di bawah hidung penjajah, ia menggunakan keterampilannya dalam pidato untuk membangkitkan orang-orang yang tertidur berabad-abad dan mempersiapkan mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan pada waktu yangtepat. Demikian juga, bagaimana dunia menyaksikan heroesme pemuda Indonesia saat mereka melawan tentara sekutu yang mendarat di Surabaya untuk merebut kembali Indonesia untuk Belanda, pada 10 November 1945.

Apakah Soekarno seorang diktator? Dia tidak memiliki karakter sebagai diktator. Ia termotivasi dan terinspirasi oleh ide-ide Barat, khususnya Demokrasi, Revolusi Prancis dan Pencerahan.

Dan bagaimana demokrasi terpimpin, sistem pemilu eksekutif yang kemudian ia (Soekarno) dilembagakan pada 1959? Soekarno adalah presiden selama dua dekade, tetapi dia memiliki kekuasaan yang sebenarnya, hanya enam tahun terakhir dari kepemimpinannya, demokrasi terpimpin. Mengapa ia ciptakan sistem seperti itu? Mungkin karena komitmennya terhadap demokrasi. Pada titik ini, Indonesia memiliki tidak kurang dari 60 partai politik, dan menghadapi perkembangan pemerintahan baru pada setiap beberapa bulan. Soekarno kemudian mereorganisir partai politik dari 60, menjadi 11 partai politik. – dengan catatan, semua dipertahankan kemerdekaannya. Itu adalah kebutuhan politik.

Akan tetapi kritikus Soekarno menyebut itu sebagai kediktatoran. Enam tahun kemudian, ketika ia dihapus (sebagai pemimpin) menyusul kudeta bayangan (di duga dilakukan oleh komunis yang salah),  ia diganti dengan kediktaktoran yang sebenarnya, Soeharto.

Soekarno meinggal pada 1970, seorang laki-laki yang bermimpi Indonesia bebas damai telah dibajak oleh pemerintahan militer, yang penuh kekerasan dan menyesakkan. Dalam tahun-tahun belakangan, reputasi Soekarno telah dikaji ulang, usai Soeharto digulingkan pada 1998, setelah lebih dari tiga dekade berkuasa. Pada 1999, putri Soekarno, Megawati menang dalam pemilihan umum yang benar-benar bebas pertama dalam 44 tahun. Itu merupakan comeback politik Bung Karno. Waktu-waktu berikutnya akan menjadi penting bagi bangsa Indonesia. Itu adalah waktu untuk menyadari bahwa terus mengandalkan militer “menstabilkan” negara hanya akan menjadi kontraproduktif. Solusi untuk semua konflik etnis dan sparatis di Aceh, Ambon, Irian, Timor Timur serta krisis ekonomi dan ketidakstabilan politik umum tergantung pada tentara. Apakah mereka akan berhenti ikut campur, atau sebaliknya.

“Indonesia tidak membutuhkan prajurit-politisi. Indonesia membutuhkan seorang yang bisa menyatukan orang, sebagaimana pemimpin kemerdekaan, pemuda nan kharismatik melakukannya pada abad yang lalu.”

 

 

*Artikel Ini pertamakali diterbitkan dalam bahasa Inggris di majalah Time Megazine pada 23-30 Agustus, 1999 VOL. 154 NO. 7/8 dengan judul Soekarno, Oleh Pramodya Ananta Toer.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Setengah Dekade, Upaya Penertiban PKM FBS
Next post Ras, Etnis dan Bias Gender dalam Pemilihan Kepala Sekolah di Amerika