Advertisement Section

Mencari Sebuah Makna di Luasnya Semesta

Lelah. Seperti biasa, tiba-tiba hari sudah malam. Tak terasa 24 jam telah berlalu. Tak terasa pula kini usiaku telah memasuki kepala dua. Huft … berat rasanya. Perubahan kecil, tetapi membawa beban besar yang tak terpikirkan sebelumnya. Kini, aku dikatakan dewasa.
“Ah … sudah berlalu kisah masa sekolah, kini tinggal kenangan, dan berubah jadi beban. Semengerikan itukah menjadi dewasa?” aku bergumam sambil memandangi langit di balkon apartemenku dengan tatapan kosong.
Angin malam bertiup lembut, ramainya suara kendaraan menambah kalut suasana hati.

Kata orang, aku beruntung karena punya privilege dari kecil. Begitulah dunia, kadang hanya memandang dari satu sisi. Sejak SMA aku tinggal sendiri di apartemen. Jauh dari orang tua, karena mereka sibuk bekerja. Mereka ingin aku menjadi mandiri, tetapi kadang aku merasa ada yang salah dari cara mereka mendidikku. Mereka memberikan kecukupan untukku, tetapi memberi target yang kadang tak realistis. Tertekan. Mereka selalu menuntut segala yang kulakukan sempurna. Menjalani semua arahan mereka dengan baik. Kami jarang berbincang hangat selayaknya keluarga. Berkomunikasi hanya sekadar target hidup saja. Tujuannya agar menjadi orang sukses dan bahagia, katanya. Sampai saat ini aku masih tak mengerti apa yang hendak dikejar.

Sebenarnya, aku tak menyalahkan orang tuaku. Aku tau tujuan mereka pasti baik. Tetapi, apakah mengejar gemerlap dunia adalah keputusan yang tepat. Aku bingung dengan banyak orang. Mereka mati matian mengorbankan waktunya, menghamburkan waktunya untuk mengejar kekayaan, jabatan, kekuasaan atau apalah. Apakah mereka bahagia? Atau mereka telah tertipu? Sedihnya, beberapa dari mereka mengorbankan agamanya. Mereka meninggalkan kewajiban kepada-Nya.

Argh … Kepalaku terasa sesak, seakan tak bisa berpikir jernih. Udara semakin dingin, tubuhku sangat lelah. Aku menutup pintu balkon. Tak terasa, ternyata sudah larut malam. Tersisa tiga jam untuk merebahkan badan. Akhir-akhir ini aku sering menghabiskan waktu malamku dengan melamun. Karena begitu penat dengan semua yang kujalani. Aku rindu masa SMA, aku bisa tertawa puas bersama teman tanpa beban. Sekarang, aku hanya bisa kuliah dan bekerja dengan terpaksa tak ada lagi waktu untuk bercanda. Aku bekerja bukan karena membutuhkan uang tambahan, melainkan syarat dari orang tua, agar aku bisa sejak dini mengurus perusahaan mereka. Overthinking, setiap malam menyerangku. Susah tidur sudah menjadi pola hidupku.

Baca Juga: Dia dan Mesin Waktu di Penghujung Senja

***
Ada semburat cahaya jatuh di wajahku, mata yang masih terpejam sungguh berat untukku buka. Kepalaku juga masih terasa sesak. Tak lama smartphoneku ikut berdering. Pertanda, aku harus bergegas menjalani hari.
Selesai rutinitas pagi kujalani, kukenakan hijabku. Aku menata isi tas lalu segera turun. Sampai di basement, aku hidupkan mobilku dan menuju perusahaan, karena hari ini aku tak ada jam kuliah. Jam sudah menunjukan pukul delapan pagi. Lalu lintas cukup padat merayap. Jalanan sangat ramai, sehingga macet. Macet memang hal biasa. Tapi di jalan ini, macet masih jarang terjadi. Entah mengapa tiba tiba macet terjadi.

Dua jam menunggu macet, cukup capek. Apalagi aku lupa tidak membawa buku untuk mengisi kebosananku. Ditambah aku lapar, kebetulan aku juga tak membawa makanan. Karena aku tak menyangka sebelumnya akan terjebak macet. Sudahlah, tak ada gunanya aku mengeluh. Ini menjadi kesempatan untuk aku istirahat. Aku mencoba menikmati.
Mobil kukendarai dengan sangat pelan. Masih tak bisa bergerak jauh. Ingin rasanya mengumpat, mengeluh, menabrak semuanya agar cepat sampai. Ada apa sebenarnya. Ditengah aku menggerutu, tiba tiba pandanganku tertuju pada sekelompok orang. Mereka bukan orang yang berkecukupan. Tetapi, mereka bisa tertawa lepas dan terlihat tanpa beban. Padahal mereka masih jauh dari kata hidup layak. Kuperhatikan, di tengah kekurangan itu, mereka memberi hak kepada satu dengan yang lainnya. Mereka bisa tampak senang.

Pikiranku, mengingat keadaan perusahaan ayahku. Perusahan ini tak pernah memanusiakan karyawannya, terutama karyawan pabrik dan sederetnya. Mereka dipaksa kerja dengan upah yang tak sesuai. Aku bisa merasakannya saat ini. Pikiranku berkelana, menyadarkanku banyak sekali orang berkuasa yang buta akan keadaan. Harta membutakan, tak paham realita. Pikiranku berkecamuk. Ku mengamati banyak hal disekitar yang selama ini tak pernah ku perhatikan seksama di perjalanan. Hatiku tertuju pada seorang yang berkerumun tampak sedih di bahu jalan.

Hati ini tergerak, untuk lebih menghargai, mengerti, dan memberi hak pada orang lain. Dengan begitu, hati akan lebih tenang dan bahagia. Nikmati hidup yang ada dan syukuri, tak perlu mengejar definisi orang lain. Cukup mengulurkan tangan, tawa mereka memberi tawa padaku.

Selesai aku menghampiri dan berbagi dengan mereka. Kembali ku melanjutkan perjalanan. Kini kutemui makna dalam hidup. Kecukupan tak akan berarti jika hanya kunikmati sendiri. Gundah kadang bisa diubah dengan sederhana, peduli sekitar, lebih peka dengan keadaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Destinasi Wisata Bernuansa Alam di Wonogiri
Next post Catatan Juang: Representasi Perjuangan Wanita