Advertisement Section

Aku Ingin Ponsel Baru

Lagi dan lagi. Sudah kesekian kalinya dia, atasan kami, membentak dan mencaci maki para buruh. Entah apa masalah yang ia ributkan. Kerja kami yang lambankah? Kurasa tidak. Suara mesin jahit yang berderit-derit ataukah hatinya sembelit karena melihat buruh berparas cantik? Aku pun tak tahu. Yang kutahu, perempuan 35 tahun itu selalu menargetkanku tiap hari, dari sebulan lalu, saat aku baru bekerja di pabrik garmen ini.

“Apa yang kau tengok, hah?!” bentaknya padaku sambil melotot. Ia berjalan ke arahku dengan langkah besar. Alisnya terangkat tinggi. Kedua tangannya bertumpu di pinggang. Tatapannya beralih pada pekerjaanku sejenak, lalu kembali melotot ke arahku.

“Cuma sepotong baju saja tidak selesai-selesai! Bodoh kah kau?! Mau gajimu kupotong lagi, hah?” katanya sambil menunjuk nunjuk padaku.

Aku diam. Kepalaku menunduk, tak berani melihat ke arahnya. Jika sudah begini, ia akan memarahiku habis-habisan. Tak akan pergi sampai mulutnya kering.

“Kau itu cuma buruh, ngerti gak kau?” tanyanya. Jari telunjuknya menekan kepalaku berulang kali seiring dengan kata-katanya yang pelan mengintimidasi.

“Mau kau ku pecat hah? Kerja kau yang benar! Mau apa mata kau tengok-tengok aku? Sudah lamban, tolol pula kau!” cercanya. Bibirnya terus bergerak-gerak melanjutkan segala umpatan yang ia punya.

Aku hanya diam. Menahan hinaan yang ia berikan. Amarah, malu, dan kesedihan kutahan dalam-dalam. Aku kuat, apa pun yang terjadi harus bertahan. Kalimat itulah yang terus menerus kuulang dalam hati demi menguatkan diri.

Kalian mungkin heran, kenapa aku tak berhenti saja dari pekerjaan ini. Mencari pekerjaan pengganti. Menghindari caci maki yang merendahkan diri dan terhindar dari depresi.

Jauh dari lubuk hati aku pun rasanya ingin berhenti. Tapi aku tak punya punya pilihan. Kondisiku tak memungkinkan untuk pilih-pilih pekerjaan. Aku hanya punya ijazah SMA. Tak memenuhi syarat kebanyakan lowongan pekerjaan yang ada di Indonesia.

Bekerja di pabrik garmen merupakan sebuah keberuntungan besar buatku. Meski gajinya tak seberapa, tapi masih cukup untuk menutupi kebutuhanku. Itulah sebabnya, mau tak mau aku harus menguatkan hati.

Ternyata kehidupan di masyarakat itu sangat sulit. Aku baru menyadarinya. Mencari uang itu tak mudah. Beginikah yang orang tuaku rasakan saat mencari uang untuk memenuhi kehidupan kami? Apakah mereka juga menghadapi cacian dan makian? Apakah selama ini mereka juga memutar otak agar gaji yang didapat cukup sampai gaji berikutnya turun?

Suatu hari, temanku di sekolah menengah atas menggunakan ponsel keluaran terbaru. Fitur-fiturnya canggih. Foto yang diambil hasilnya sangat jernih. Tampilannya berkilau dan elegan. Dia memamerkannya ke suluruh kelas.

Tentunya, ponsel yang ia miliki jadi incaran teman-teman sekelas. Tiap anak meminjamnya untuk berfoto, lalu mengagumi hasil jepretan yang diperoleh. Tak lupa, mereka pun bergurau dan menggoda ia karena mempunyai ponsel baru. Ia tersenyum malu dan sambil menanggapi gurauan mereka.

Ketika ponsel itu sampai ke tanganku. Aku memperhatikan tampilannya yang sangat menarik. Ambil satu foto diri, hasilnya lebih cantik. Aku mengembalikan ponsel itu, mengucapkan terima kasih, lalu ikut melontarkan godaan dan gurauan.

Diam-diam aku memperhatikan ponsel yang sudah tiga tahun kugunakan. Sudah usang. Sudah waktunya beli yang baru. Lagipula, hampir semua teman sekelasku menggunakan ponsel baru. Sebaiknya nanti aku bilang pada orang tuaku.

***

Ibu menghentikan tangannya yang sedang melipat pakaian. Ia menatapku. “Memangnya ponsel punyamu sudah tidak bisa digunakan lagi?” tanyanya.

Sambil melipat pakaian di tanganku, aku berkata dengan pelan, “Ya…masih bisa sih, Bu.”

“Terus kenapa harus beli ponsel baru? Yang ini saja masih berfungsi, kan?” tanyanya lagi. Melipat pakaian yang sempat terhenti, lalu meletakannya di tumpukan baju yang tersusun rapi.

“Tapi ponsel ini sudah tua, Bu. Layarnya sudah mulai tidak responsif. Kinerja internetnya juga sudah lambat. Beda dengan ponsel yang baru, lebih lancar dan cepat,” jelasku hampir merengek.

“Sama saja kan, nanti juga ponsel baru akan bernasib sama. Yang penting fungsinya masih bisa digunakan,” ujarnya.

“Beda, Bu, ponsel baru lebih banyak fungsinya,” aku merengek, “teman-temanku juga hampir semuanya menggunakan ponsel baru.”

Ibu menghela napas, ia menatapku. Sepertinya ia tahu alasan sebenarnya aku ingin ponsel baru. “Ya sudah, nanti Ibu bicarakan dengan Ayahmu dulu ya, tapi Ibu tidak janji,” katanya mengiyakan.

Bibirku langsung terangkat tinggi. Aku bilang pada ibu untuk istirahat saja. Sisa pakaian yang belum dilipat biar aku yang menyelesaikan. Ibu menggelengkan kepala melihat tingkahku, lalu pergi ke dapur.

Aku menunggu kabar baik dari ibu. Namun, kabar itu tak kunjung datang. Sudah dua bulan berselang. Aku cemas. Jangan-jangan ayah tak setuju.

Aku bertanya lagi pada ibu. Dia bilang ayah setuju, tapi tunggu sampai ada uangnya. Saat ini ibu dan ayah tidak punya uang yang cukup. Katanya, kebutuhan sehari-hari kita saat ini sedang banyak-banyaknya.

Aku mengiyakan. Sebulan. Dua bulan. Hingga tiga bulan berlalu. Namun, tak ada kejelasan. Aku mulai kesal. Jangan-jangan mereka hanya membohongiku saja. Sebenarnya mereka tak ingin membelikanku ponsel baru.

Kutanyakan lagi pada ibu. Kapankah ponsel baruku akan dibeli? Tapi lagi-lagi, ia memintaku untuk sabar. Uang yang telah dikumpulkan kemarin terpaksa digunakan untuk keadaan darurat. Motor ayah perlu diperbaiki. Jika tidak, pengeluaran untuk transportasi pulang pergi akan membengkak.

Aku bersabar lagi. Waktu berjalan dengan cepat. Tepat pada kenaikan kelas, aku menagih ponsel baru yang sudah dijanjikan pada ibu. Ternyata sama seperti sebelumnya, uangnya belum ada. Aku kesal dan marah padanya. Lalu, kata-kata itu terlontar.

“Terus, gaji Ayah dan Ibu dikemanakan? Dipakai untuk apa saja? Sampai-sampai bilang tidak ada uang. Bukankah gaji Ayah dan Ibu cukup besar? Kenapa sampai sekarang belum terkumpul juga?” kataku cepat.

Kemudian, aku melanjutkan, “Kalau memang tidak ingin membelikan aku ponsel baru ya bilang saja, kenapa harus bohong begini.”

Ibu tercengang, ia menatapku. Bibirnya bergerak-gerak, seolah ingin mengatakan sesuatu. Mataku perih, air mata terlanjur jatuh. Tak ingin mendengarkan ucapannya lagi. Aku berjalan cepat memasuki kamar. Mengunci pintu, lalu menangis diam-diam.

Aku mengabaikan orang tuaku selama seminggu. Hanya memberikan tanggapan kecil jika ditanyai. Pada akhirnya, mereka bilang akan segera membeli ponsel baru. Tapi aku hanya mengiyakan dengan samar. Tak percaya.

Pelajaran di tahun kedua sekolah menengah atas ternyata lebih sulit dari bayanganku. Di tengah pembelajaran aku melamun, teringat amarah yang aku lontarkan pada ibu. Jika dipikir-pikir, aku sudah sangat kurang ajar. Aku menyesal kenapa berbicara seperti itu padanya.

Tiba-tiba, wali kelas kami datang, memotong penjelasan guru di depan kelas. Ia menghampiriku. Menyuruhku berkemas untuk pulang. Ada sesuatu. Aku bertanya ada apa. Ia bilang nanti aku tahu saat sampai di rumah.

Tetanggaku yang menjemput. Ia mengantarku pulang. Saat sampai, rumah sudah ramai. Hatiku mulai resah, suara tangisan Nenek membuatku semakin panik. Kakiku lemas, ibu tetangga segera menopang dan memeluk aku. Sembari mengusap-usap kepalaku, ia membisikkan kalimat yang langsung memporak-porandakan hatiku saat itu juga.

***

“Jangan karena kau cantik, kau jadi malas ya! Muka kau tak ada guna di sini. Kerja yang benar, selesaikan dengan cepat!” katanya sambil menggebrak meja jahit.

Setelah puas melontarkan caciannya padaku, perempuan itu melenggok pergi. Dia berjalan ke ujung, menghampiri salah satu buruh lagi. Dari tempatku, cacian dan makian kembali terdengar, terus berulang sampai istirahat makan siang.

Para buruh menghentikan pekerjaan mereka. Satu demi satu meninggalkan tempat duduknya, lalu mengantri untuk mendapatkan makan siang. Sementara yang lain mengantri, aku melipir ke kamar mandi. Menghidupkan keran, airnya mengalir dengan deras, sederas air yang kini mengalir dari mataku. Ingatan-ingatan yang sempat terlintas membuat hatiku jadi kelu.

Aku menahan suaraku sebanyak mungkin. Menepuk-nepuk dadaku yang sesak, menghela napas besar-besar, berusaha menenangkan diri. Pekerjaan masih menunggu. Bukan waktu yang tepat untuk terpaku.

Penulis: Maya Alfina Meilati

Editor: Salma Najihah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Proyektor Hilang di Gedung PKM, Regulasi Peminjaman Kunci Gedung Dipertanyakan
Next post Merawat Ingatan dan memupuk empati melalui kolaborasi sastra, sejarah, dan opini dalam FOSIL