Nara dan Langkah Kecilnya
LPPM Kreativa – Entah sudah berapa hari aku di rumah, berdiam diri di dalam kamar dan tidak berniat untuk keluar. Kujalani hari demi hari dengan perasaan sepi dan sunyi. Aku pun tak tahu pasti mengapa aku seperti ini—perasaan yang sulit dijelaskan dengan sederhana dan ditenangkan dengan kata-kata. Satu hal yang kutahu, aku merindukannya. Kembali ku teringat padanya yang dulu selalu ada bersamaku.
Kringgggg…kringggg…kringgg
Bunyi getar handphone masuk dan memecah lamunanku, buru-buru kuangkat panggilan itu.
“Iya…halo, ada apa meneleponku sore-sore begini?” Tanyaku lemah kepada seseorang di balik panggilan tersebut. Dia menjawab dengan suara yang agak tinggi.
“Kau ini ke mana saja? Ditelepon tidak diangkat, dichat tidak dibalas. Sebenarnya ada apa?”
“Aku baik-baik saja, hanya ingin sendiri dulu.” Aku menjawab pertanyaan sambil menggaruk kepala.
“Aku tahu, kau pasti masih sedih memikirkannya kan? Kau tidak bisa membohongiku,” jawabnya menimpaliku. “Daripada berdiam diri di kamar dan melamun, aku akan mengajakmu keluar. Aku akan menjemputmu pukul 19.00 nanti. Byeee!”
Panggilan diakhiri dengan ajakan—atau lebih tepat disebut paksaan—untuk keluar. Aku tidak bisa menolaknya. Dia adalah teman yang selalu bersamaku sejak dulu. Rumah kami tidak begitu jauh, hanya butuh waktu lima menit.
Baca Juga: Re dan PeRempuan
Pukul 19.00, aku sudah siap di teras rumah dengan wajah setengah kusut. Aku baru keluar setelah beberapa hari mengurung diri di kamar. Sambil menunggu teman masa kecilku, aku menatap langit yang bertabur bintang dan dihiasi bulan purnama. Setelah lima menit memandangi langit malam, akhirnya Vivi datang.
Sebelum berangkat, aku bertanya kepadanya, “Mau ke mana kita malam ini?”
“Cepat naik, aku akan membawamu untuk bersenang-senang malam ini.” Cih, sepertinya ia benar-benar bersemangat mengajakku keluar. Tanpa bertanya lagi, aku langsung naik ke motor dan siap dibawa ke mana pun dia berhenti.
Perjalanan malam ini benar-benar menenangkan. Angin malam yang berpadu dengan padatnya jalanan serta gemerlap lampu kota membuatku merasa hidup kembali. Banyak hal baru hadir di kota ini hanya dalam hitungan hari. Aku menutup mataku dan merasakan angin yang berembus sembari mengobrol dengan Vivi. Tak lama kemudian, Vivi berhenti, membuatku membuka mata. Kami sampai di tempat tujuan yang tadi tak ia sebutkan—pasar malam. Ternyata itulah tujuan Vivi, membawaku ke pasar malam untuk menikmati wahana dan kuliner. Vivi langsung menggandeng tanganku untuk mencoba berbagai wahana.
Huftt… ternyata bersenang-senang juga membutuhkan banyak tenaga. Aku dan Vivi mencoba hampir semua wahana. Akhirnya, karena kelelahan, aku sedikit menepi dan membiarkan Vivi menikmati wahana selanjutnya. Sambil menunggu Vivi menyelesaikan wahana terakhir, aku membeli dua minuman dan mencari bangku kosong agar aku bisa duduk dan beristirahat. Belum sampai pada bangku yang kuincar, dari arah belakang ada seseorang yang tidak sengaja menabrakku.
Pyarr… Salah satu es yang ku pegang jatuh ke tanah.
“Aduh, maaf ya, Mbak. Saya nggak sengaja, tadi saya kesandung kabel ini,” katanya sambil meminta maaf dan berusaha membantu mengambil gelas yang jatuh.
Saat aku berdiri dan bertatapan dengannya, seketika badanku membeku dan tiba-tiba air mata mulai turun. Bagaimana bisa dia ada di hadapanku dan tersenyum seperti ini, seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi?
Dia yang kebingungan melihatku menangis, tiba-tiba menyeka bulir air mata di pipiku.
“Jangan menangis lagi, jangan tangisi apa pun lagi setelah ini.”
Detik itu juga, air mataku jatuh tak terbendung. Mataku kian memanas, pandanganku mulai gelap dan badanku mulai lemas. Aku terjatuh sambil memegang tangannya yang masih bertengger di pipiku.
Baca Juga: Resensi Novel Jalan Tak Ada Ujung
“Nara… Nara… Naraaaa…,” panggilan yang terus meneriakkan namaku membuatku bangun dan tersadar.
“Kamu kenapa nangis begini sih tidurnya? Kamu mimpi apa sampai nangis seperti ini? Mama sampai khawatir dengar suara tangis kamu,” ucap Mama dengan nada khawatir.
Hah, jadi semua ini hanya mimpi? Tetapi, mengapa ini terasa sangat nyata? Lalu di mana Vivi? Apakah bagian aku keluar bersamanya juga mimpi?
“Kamu nangis karena masih mikirin dia, ya? Atau malah ketemu sama dia? Nak, seseorang yang sudah pergi nggak mungkin bisa kembali lagi. Kita harus ikhlas dan mendoakan sebanyak mungkin,” perkataan Mama yang terasa menembus relung hatiku.
Aku terlalu sedih kehilangan dia. Aku lupa bahwa rasa rindu ini bisa membantunya di perjalanannya. Rasa duka akan kepergian dan kesendirian ini membuatku berlarut dalam kesedihan yang tak kunjung usai. Kini aku sadar, menangis tidak akan membuatnya kembali. Aku harus melanjutkan perjalanan ini dan membuatnya senang. Sampai bertemu lagi. Aku akan mendoakanmu dari dunia yang fana ini.
Penulis: Pramudya Restya
Editor: Salma Najihah