Advertisement Section

Novi yang Bukan November

Novi itu Novita Safitri lengkapnya. Ia tak menyambut November sebagai bulan yang istimewa seperti kebanyakan Novi. Ia Novita yang berbeda, walau dari tempat yang sama-sama Indonesia. Ia lahir di bulan setelahnya, bulan Desember.

Di lain hari, temannya yang sama Safitri-nya bertanya.

“Kamu lahir di bulan Syawal seperti aku, ya, Novita?” tanyanya.

Novita tersenyum sebentar, seperti teh hangat dari Jogja—manis. “Bukan, bukan. Justru sebelumnya, Ibu melahirkanku di bulan Ramadhan.”

“Begitukah? Nama yang aneh. Maksudku lucu,” ucap temannya.

“Ibu memperkirakan aku lahir di bulan Syawal. Sedangkan Bapak memperkirakannya bulan November, tidak percaya data-data yang diberikan dokter kepadanya.”

“Kau mau tahu kenapa namaku Novita Safitri?” Ucapnya sekali lagi, menghangatkan perbincangan.

“Kenapa?” tanya temannya, penasaran.

“Mereka, orang tuaku, menyatukan pendapatnya secara alfabetis. Novita, dari Bapak, dan Safitri dari Ibu.” Ia tertawa saat menjelaskannya.

Ia sering kali mendapat ucapan, bahkan kado ulang tahun pada 26 November hampir di tiap tahunnya. Teman-temannya hanya menanyakan tanggal, tanpa bertanya bulan apa ia lahir.

Hujan menjadi kesukaannya sedari SMA. Novita perempuan yang baik, seringkali dimanfaatkan oleh lelaki yang kurang baik. Mereka pernah pergi ke pusat kota tanpa pamit kepada orang tua. Kemudian ia jatuh sakit. Walau begitu, tentu ia bahagia bisa berhujan bersama kekasihnya.

Mereka senang berjalan-jalan. Kadang Novita yang memilih tujuan, kadang kekasihnya, kadang juga mereka ke mana saja tanpa tujuan. Hujan kadang turun di tengah perjalanan, namun ia tak mau berteduh.

Di kemudian hari, kekasihnya pergi ke suatu tempat yang jauh. Ia kembali merayakan November—Desember seorang diri.

Segelas cokelat panas dan sebuah gelas kosong—tanpa cokelat—terhidang di meja favorit mereka, di kantin sekolah. Gelas itu sekosong pikirannya, tak ada yang tahu apa yang ia pikirkan dalam kekosongan itu.

Sejak lelakinya meninggalkannya, hujan menjadi pertanda akan turunnya air mata. Air mata yang akan membuat lelaki manapun mengusapnya.

“Di mana ….” sesekali ia usap air matanya yang seperti rintik hujan di jendela kamar. Air matanya baru berhenti saat hujan mulai reda.

Novita juga menyukai warna ungu. Saat sedih, ia akan menggambar bulan berwarna ungu.

Ungu, seperti bulan yang dilihat Jane saat di Manhattan. Lalu tertawa seperti tawa Jane yang dimabuk martini. Namun di kamarnya tak ada Marno dengan segelas scotch. Membuat Ia bersedih lagi.

Seandainya Marno ada di sana, ia—mungkin saja—akan bertanya demikian, “Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”

Ooo … Novita tak pernah mewarnai langit tanpa kekasihnya. Dan mendung, sudah menjadi pintu kesedihannya.

Semoga November—Desember bisa ia lalui seorang diri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Hijau (Hima Jawa) Gelar Pentas Kolaborasi Sebagai Wujud Apresiasi Seni
Next post Pahlawan di Jalanan