Pahlawan di Jalanan
“Pahlawan Kemanusiaaan Bernama Relawan”, itulah judul dari sebuah tulisan di kolom dialog surat kabar Republika edisi Jumat, 09 November 2018. Begitu membacanya, tak tahu mengapa, hati saya tergerak untuk menuliskan peristiwa kecelakaan yang saya temui beberapa hari yang lalu.
Malam belum larut ketika saya menjumpai kecelakaan di seberang Indomaret Poin, jalan kecil ke arah utara menuju UNY (Kamis, 9/11). Saat berboncengan bersama salah satu kawan, setiba di jalan remang itu kami terhadang oleh tubuh perempuan yang terkapar di tengah jalan. Saya bergidik ketika kawan saya memutuskan memberhentikan motor untuk turut menolong si perempuan.
“Aku takut…aku takut…” jawab saya ketika kawan saya mengajak menghampiri si perempuan.
Solah benar-benar paham kalau yang sedang bersamanya adalah orang yang tidak bisa melihat darah, kawan saya berkata, “Kamu jaga motorku.” Cepat-cepat ia berlari menyongsong perempuan yang telah dikerubuti orang.
Dari tempat berdiri kemudian saya lihat sejumlah pengendara motor meminggirkan kendaraan mereka. Mata saya menangkap seorang laki-laki berjaket hijau, jaket ojek online, yang sejak perempuan itu jatuh tidak beranjak. Dugaan saya, ia lah yang menabrak perempuan itu.
Ketika kawan saya mengambil motornya untuk mencari kotak P3K bersama seorang laki-laki berseragam olahraga, saya pun memaksa diri untuk mendekat ke arah si perempuan. Ada sekitar tiga orang yang masih mengerubungi si perempuan. Tiga orang itu kemudian saya ketahui adalah seorang satpam UNY dan dua orang pengendara ojek online. Perempuan berambut pirang panjang itu sadar, meski hidungnya berdarah dan kedua lututnya terkelupas.
Laki-laki berjaket ojek online yang dari awal saya lihat, sibuk menelpon. Dari percakapannya, saya bisa memastikan, ia meminta tolong sesama rekan kerjanya untuk membawa si perempuan ke rumah sakit. Tetapi ketika si perempuan memberi isyarat bahwa ia tidak kuat berjalan, laki-laki berjaket hijau itu segera berinisiatif memesankan taksi online.
Salah besar! Saya keliru menduga. Kawan saya bercerita jika perempuan itu jatuh karena seekor kucing. Dan laki-laki yang saya dakwa dalam hati itu ternyata menolong bukan sebagai bentuk pertanggungjawaban. Melainkan sebagai bentuk penawaran ketulusan.
Entahlah, peristiwa kecelakaan tunggal beberapa hari yang lalu mengingatkan pada kisah Syahrul Eko, relawan yang meninggal saat mengevakuasi jenazah korban Lion Air JT 610. Bukankah tukang ojek online dan orang-orang yang menolong perempuan pada Kamis malam itu tidak berbeda jauh dengan almarhum Syahrul?
Jika almarhum Syahrul diberi gelar “Pahlawan Kemanusiaan” maka tukang ojek online dan beberapa orang yang Kamis malam saya temui juga layak diberi gelar tersebut bukan? Rasanya tidak berlebihan jika gelar “Pahlawan Kemanusiaan” disematkan pada mereka yang tanpa perhitungan kerap mengulurkan tangan pada pihak yang membutuhkan.***