Pergeseran Budaya Masyarakat Jogja: Suatu Kebutuhan atau Gaya Hidup
Yogyakarta adalah kota yang sarat dengan filosofi. Untuk sebagian besar warga masyarakatnya, Jogja adalah kota yang kaya akan esensi tersendiri. Ada suatu magnet yang menarik dalam kota ini hingga membuat orang betah berlama-lama di sini.
Hal itu dapat dilihat dari semakin banyaknya orang yang datang ke Jogja. Alasan itu terlihat baik dari segi budaya, keramahan masyarakat, murahnya biaya hidup, maupun hal lain yang mungkin menjadi alasan orang-orang untuk berkunjung atau bahkan menetap di Jogja.
Budaya yang sangat kental memang terlihat di setiap sudut kota ini. Keraton adalah salah satunya. Bangunan yang menjadi ikon kota Jogja ini masih kokoh berdiri hingga saat ini. Bentuk bangunannya memang tidak sama seperti kali pertama dibangun, namun hal ini tidak mengurangi esensi nilai yang terkandung di dalamnya.
Namun, banyaknya wisatawan maupun pendatang yang hilir mudik di kota ini cenderung memicu adanya pergeseran budaya. Pergeseran budaya ini tampak dari pesatnya pembangunan serta gaya hidup yang mulai mengikis kesederhanaan Jogja.
Jogja seakan kehilangan ‘kenyamanannya’. Pembangunan hotel dan mall serta pertumbuhan kendaraan bermotor yang semakin tidak terkendali menimbulkan permasalahan yang tidak bisa kita pungkiri.
Jogja adalah kota yang pernah dikenal sebagai kota sepeda. Dahulu, sepeda menjadi alat transportasi utama bagi warga masyarakat Jogja. Namun, penggunaan sepeda kian lama makin berkurang. Masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan bermotor dengan alasan efisiensi waktu.
Kendaraan pada masa ini memang menjelma menjadi kebutuhan primer yang tidak bisa lepas dari kehidupan kita. Jogja pun menjadi konsumen dari fenomena ini. Jalan-jalan penuh sesak dengan motor maupun mobil. Keramaian yang sering memicu kemacetan menjadi pemandangan lumrah di kota yang digadang-gadang sebagai kota pedestrian ini. Hingga timbul pertanyaan: apakah sebutan Jogja sebagai kota berhati nyaman masih berlaku?
Keruwetan kendaraan bermotor ini semakin diperparah dengan tidak adanya kesadaran dari masyarakat akan tertib lalu lintas. Tanpa peduli pengendara lain, banyak pengendara baik motor maupun mobil yang melanggar peraturan di jalan raya, membunyikan klakson saat lampu merah masih menyala, atau memacu kendaraan melebihi marka jalan.
Hal-hal seperti ini ialah efek dari semakin krusialnya kebutuhan masyarakat akan kendaraan bermotor. Masyarakat lebih menomorsatukan kecepatan daripada keselamatan.
Aspek pergeseran budaya juga dapat dilihat secara real, yakni dengan pembangunan mall yang terus-menerus. Dewasa ini Yogyakarta telah memiliki delapan mall yang masih akan mengalami penambahan hingga tahun 2018. Mall menjadi sebuah cerminan gaya hidup konsumtif serta gaya hidup instan yang menyusup dalam beberapa lapisan masyarakat. Sehingga, masyarakat mau tidak mau, suka tidak suka, telah dibiasakan dengan pola hidup konsumtif.
Yogyakarta seakan berubah dari kota wisata menjadi kota belanja. Warga masyarakat, khususnya yang berusia muda, cenderung menjadi bidikan mall-mall ini. Mereka yang mungkin tidak sadar akan fenomena ini hanya akan terus-menerus menjadi konsumen tanpa peduli efek lain yang ditimbulkan dari semakin menjamurnya mall.
Di sisi lain, adanya pendirian mall akan memicu permasalahan pengadaan air bersih. Pembangunan bangunan kelas menengah ini berakibat pada berkurangnya sumber air tanah yang dikuras untuk pendayagunaan mall. Bahkan pada saat tertentu sumber air tanah menjadi kering.
Pada dasarnya, gaya hidup memang tidak dapat dihilangkan begitu saja. Fenomena ini merupakan hak masing-masing individu. Akankah mengikuti arus atau tetap berjalan lurus. Namun jelas, tetap diperlukan pengurai permasalahan ini.
Tapi, jika pun budaya ini memang dianggap lumrah dengan segala keruwetannya, juga gaya hidup konsumtifnya, masihkah kota berhati nyaman tetap bertahan dengan julukannya? Jika dibiarkan, beberapa tahun lagi fenomena ini bisa saja merubah citra Yogyakarta menjadi kota metropolis.