Bukan Negara Agraris, tapi Sekadar Desanya yang Agraris
Apa makna agraris jika pangan masih bergantung pada negara lain? Lumbung padi negeri yang sering dengan bangga disebut negara agraris ini tak senantiasa terisi. Kebutuhan hajat orang banyak dipenuhi dengan pasokan padi impor. Pak Tani – sang tokoh utama pertanian negeri – berkerut kening saat pemerintah lebih mengutamakan beras impor.
Bayangkan: negeri yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian petani dan mampu memenuhi hajat dalam negeri. Di desa-desa, warga bekerja sebagai petani, kanan-kiri rumah sawah, suara erek maupun penggiling padi berselang-seling dengan ramainya suara TV. Masih lekat suasana pagi melihat orang memakai caping di kepala sambil memanggul cangkul di bahu.
Mari menengok sebentar pada sebuah desa kecil di Kabupaten Ngawi. Petani di desa ini masih menaati tradisi leluhur yang ngayom-ayemi (saling membantu) dan siap bergotong-royong. Selain itu, mereka masih memegang teguh pandangan hidup orang Jawa yang kosmo-magis, atau menganggap alam sekitar mempunyai kekuatan dan berpengaruh terhadap kehidupan. Karena kepercayaan masyarakat inilah warisan tradisi leluhur tak pudar.
Pelestarian tradisi leluhur tecermin dalam ekspresi verbal maupun nonverbal dalam menyikapi kehidupan lahir-batin. Tradisi masyarakat yang mituhu (setia) kepada tradisi leluhur dianggap sebuah prinsip mulia. Bahkan, menjadi sebuah pamali jika anak cucu di daerah tersebut menjalani pekerjaan nonpetani, misalnya berdagang, menjadi pegawai, atau apa pun — selain petani.
Apakah mereka kekurangan? Tidak. Hajat mereka terpenuhi, dengan padi dan pangan hasil olahan sendiri. Masyarakat desa ini adalah gambaran masyarakat mandiri, jarang kita dengar istilah jajan di kamus hidup mereka. Layaknya ingin makan nasi, ya harus nanam padi tak perlu beras impor dari negara lain.
Sikap mituhu dan mandiri seorang petani desa sama seperti cerita dalam novel Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam novel ini, mereka tak perlu bersusah-payah mencari pangan. Cukup mengisi perut dengan nasi atau gaplek. Seperti yang tampak dalam penggalan ini: “Syukur, Pagi ini kami seisi rumah makan nasi padi bengawan simpanan terakhir buat benih kami tumbuk. Apa boleh buat kami sudah sebulan makan nasi gaplek, hari ini kami menanak nasi.”
Suasana desa memang lekat milik petani. Aroma dan kebiasaan hidup sehari-hari memiliki kekhasan yang sederhana. Kehidupan berjalan terus-menerus dengan siklus yang sama. Penggambaran tersebut juga diceritakan ulang dalam novel ini:
“Dukuh Paruk mulai hidup, dentum lesung berisi gaplek yang ditumbuk. Bunyi minyak panas di wajan yang dikenai adonan tepung pembungkus tempe bongkrek. Bila anak-anak dukuh Paruk sudah lari keluar dan menyobek sehelai daun pisang, berarti sarapan pagi telah siap.”
Selain itu, hal ini menegaskan bahwa masyarakat Jawa, termasuk desa di Ngawi yang kami sebut di atas, masih mengenal dan menghayati pandangan kosmo-magis. Hal ini dipotret dengan presisi oleh sebuah artikel menarik dalam bunga rampai berjudul Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Ekologi dan Multikulturalisme: aja dilalekne, mula bukane adat kanggo sarengat (jangan dilupakan (tradisi leluhur), sejak awal tradisi telah menjadi pedoman).
Hal yang sama juga diungkapkan dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam novel ini, pernyataan sepaham untuk tidak melupakan tradisi leluhur bekerja sebagai petani juga diungkapkan penulis: “Namun selamanya, Dukuh Paruk menurut pada alam. Orang-orang dewasa tetap bekerja di ladang atau sawah.”
Kesetiaan terhadap pedoman leluhur untuk tetap bertani hanya dimiliki masyarakat pedesaan. Penduduk kota yang sebagian besar adalah pekerja industri tidak mungkin menganut pedoman leluhur. Penduduk kota tentunya lebih rasional pemikirannya dibanding penduduk desa. Mereka akan lebih berpedoman pada akal dan pikiran, bukan ucapan luhur yang belum pasti benar atau tidaknya.
Ketika pekerja-pekerja industri semakin meningkat, pertanian semakin tergerus secara besar-besaran. Kemajuan teknologi mendorong perkembangan industri di negara agraris ini. Persawahan yang awalnya membentang luas di setiap daerah mulai terkikis, tergantikan oleh pabrik-pabrik.
Masyarakat pun ikut saja dengan perkembangan teknologi. Dunia industri yang lebih kuat pengaruhnya dan memberikan gaji lebih menjanjikan membuat masyarakat kepincut.
Pemerintah seperti tak pernah ingin ambil pusing dengan keadaan. Lahan industri pun dengan mudahnya dibangun di sana-sini. Tak ada aksi pembatasan lahan industri oleh pemerintah. Pertanian Indonesia kecepit, harga pangan melonjak, dan petani gulung tikar serta enggan menanam kebutuhan pangan. Pemerintah memberi jawaban dengan impor saja. Solusi untuk membuat masyarakat tenteram, tapi lupa bahwa petani menderita.
Pada zaman yang semuanya serba canggih, banyak yang lari mengikuti gemerlapnya duniawi, tanpa memperhitungkan kemampuan diri. Pedoman masyarakat berubah menjadi kerja apa pun mau asalkan jangan petani. Alhasil, negara lupa mana yang perlu digali potensinya. Jadi, sebutan negara agraris sepatutnya hanya untuk desa yang mengutamakan mata pencaharian petani, bukan keseluruhan negeri ini.