Dokter pun Juga Bisa Sakit
Sudah menjadi suatu kelaziman jika dunia kedokteraan dianggap sebagai profesi yang amat mulia. Bahkan orang-orang yang berada dalam dunia tersebut ikut menyandang predikat kemuliaan yang prestisius. Sehingga, tidak heran jika segala tabiat seorang dokter cukup sering disoroti, bahkan menjadi panutan.
Telah kita ketahui bersama bahwa dokter merupakan pemegang peranan terpenting. Melalui seorang dokter, terjadilah kontak pertama seorang pasien dengan masalah kesehatan yang tengah dialaminya. Di sinilah impresi seorang pasien terhadap dokter dimulai.
Lalu, bagaimana pandangan sastra terhadap seorang dokter? Mari kita sedikit menengok ke belakang. Tahun 1940, Pujangga Baru menerbitkan sebuah novel yang dengan tokoh seorang dokter. Novel tersebut adalah karya legendaris Armijn Pane yang berjudul Belenggu.
Novel itu berkisah tentang seorang dokter lulusan Geneskundige Hooge Scholl (Sekolah Dokter Betawi) yang beranama Sukartono (Tono). Ia beristrikan seorang wanita modern bernama Sumartini (Tini).
Profesi Tono sebagai dokter turut melatarbelakangi dinamika pernikahannya. Tini yang sewaktu remaja sangat populer tentu tidak mau sembarang bersuami. Terlebih ia cantik. Begitu pun Tono. Sebagai seorang dokter, sewajarnya ia memiliki istri yang elok parasnya.
Tidak hanya melatarbelakangi pernikahan saja, profesi Tono sebagai dokter mungkin terus berpengaruh terhadap kehidupannya. Hal ini dimulai dari hubungannya dengan Tini yang mulai merenggang.
Kesibukan Tono melayani pasien menjadikanya tidak punya waktu untuk istrinya sendiri. Tini kemudian lebih memilih berkegiatan di luar rumah dan lupa mengurus rumah tangga. Hal inilah yang menyebabkan perselisiahan mereka. Tono menginginkan istrinya setia menunggu di rumah, sedangkan istrinya tidak suka ditinggal-tinggal sendiri.
Perselisihan di antara mereka terus berlanjut, apalagi setelah Tono memiliki wanita lain. Wanita itu ialah Nyonya Eni, atau Tono biasa memanggilnya Yah. Pertemuan mereka, lagi-lagi, disebabkan pekerjaan Tono sebagai dokter.
Yah menghubungi Tono agar datang memeriksa tubuhnya yang kurang sehat. Dari pertemuan itulah mereka saling mengenal. Tono terus datang dengan alasan melihat perkembangan kesehatan Yah. Kemudian mereka menjain hubungan.
Dari kehidupan Tono di dunia fiksi, kita juga dapat melihat bagaimana orang-orang memperlakukan seorang dokter. Layaknya di dunia nyata, Tono juga amat dihormati. Ia diundang dalam berbagai acara, dan dipercayai sebagai juri dalam sebuah kontes.
Kehidupan pribadinya pun menjadi kepedulian banyak orang. Ketika Tono menikahi Tini, banyak wanita yang merasa cemburu. Ketika Tono dan Tini menghadiri sebuah acara, mereka juga akan menjadi perhatian dan bahan pembicaraan. Pun begitu ketika rumah tangga mereka retak.
Cerita Belenggu bergerak maju lantaran dinamika kehidupan seorang dokter. Bahkan, bisa dikatakan bahwa Belenggu pada dasarnya adalah pemeriksaan masalah kejiwaan atau psikologis sang dokter. Ya. Tono sang dokter pun bisa “sakit” juga, atau lebih tepatnya: frustrasi.
Frustrasi itu bukan hanya disebabkan oleh pekerjaan yang membuatnya mengabaikan Tini, tetapi juga oleh kenyataan bahwa keterampilan dan ilmunya tidak sepenuhnya bisa mencapai tujuan: ia gundah ketika salah satu pasien yang ia tangani meninggal dunia.
Satu hal yang ingin saya ingin katakan. Dalam novel Belenggu, Tono sering kali mengaitkan antara ilmu pengetahuan yang ia pelajari dengan kehidupannya. Pernah ia merasa telah kehilangan semua yang ia miliki karena ilmu tersebut.
“Benarkah kata ilmu kedokteran, benarkah apa yang diperbuatnya selama ini sebagai dokter? …. ….Patutlah cintanya menjadi kurban, untuk ilmu yang belum tentu benar itu?” ( hlm. 108)
Pun ketika Tono mendengarkan suara Yah melalui gramofon. Saat itulah ia menyadari bahwa ilmu yang telah dipelajari tidak sia-sia.
“Edison memang pintar, orang berilmu. Dalam hatinya tiba-tiba tentang ilmu. Berkat ilmu maka suara Yah akan selamanya terdengar, tidak akan hilang-hilang…”
Setidaknya, melalui novel Belenggu, banyak hal yang perlu diperhatikan dari perilaku Tono sebagai seorang dokter. Tentu, ada juga sisinya yang memang patut dipuji.
Tono adalah dokter yang melayani semua pasiennya tanpa terkecuali. Ia mau merawat pasien kurang mampu, tanpa memungut biaya. Bahkan dokter ini kerap mengunjungi rumah bekas pasiennya. Jika kebetulan lewat, ia akan mampir. Tak jarang ia juga datang ketika dipanggil untuk memeriksa saat malam-malam.
Perilaku seorang dokter mungkin menjadi panutan banyak orang. Akan tetapi, bukan tidak mungkin jika sang dokter tindakan menyimpang — dokter pun tetap manusia. Misalnya saja perselingkuhan seperti yang dilakukan oleh Tono. Sebab, seperti yang telah saya katakan: “Dokter hanyalah manusia biasa.”
Meskipun derajatnya dijunjung tinggi di masyarakat, namun dalam kehidupan pribadinya kerap kali sempat merasa jatuh juga. Seperti halnya Tono ketika ia harus berpisah dengan istrinya dan ditinggal pergi Yah. Juga ketika salah seorang pasiennya meninggal. Mungkin untuk lebih tepatnya, kita dapat memberi katakan “Dokter juga bisa sakit”.
Melalui penggambaran sosok Tono, saya pikir cukup menunjukkan bahwa karya sastra selalu mencoba untuk menghadirkan tokoh sebagaimana di dunia nyata, terlepas dari penggambaran itu berhasil atau tidak.