Resensi Novel “Sang Pemimi” Karya Andrea Hirata
Judul : Sang Pemimpi
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal Buku : 266 halaman; 20.5 cm
Tahun Terbit : 2023 (cetakan ke-50)
“Sang Pemimpi” adalah novel kedua dalam tetralogi Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata. Novel ini diterbitkan pada tahun 2006, dan cetakan terakhir yaitu cetakan ke-50 pada tahun 2023, setelah kesuksesan besar novel pertamanya, “Laskar Pelangi”. “Sang Pemimpi” mengisahkan tentang perjalanan hidup dua sahabat kecil dari Belitung, Ikal dan Arai, yang memiliki impian untuk mencapai kesuksesan dan menjadi orang-orang besar. Mereka memiliki keinginan yang kuat untuk melanjutkan pendidikan mereka meskipun menghadapi berbagai rintangan dan hambatan.
Awal perjalanan dikisahkan seorang Arai yang hidup sebatang kara karena ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, dan ternyata masih memiliki hubungan saudara dengan Ikal. Ayah Ikal lalu pergi untuk menjemput Arai ke sebuah tempat yang lumayan jauh. Melihat kehidupan Arai di perkebunan tebu, hidup sendiri, dan hanya beratap gubuk, membuat hati Ikal mencelos. Mendegar cerita dan kisah Arai selama di sana membuat Ikal dan ayahnya tertegun. Novel ini menceritakan petualangan Ikal, Arai, dan Bron yang penuh warna mulai dari awal mengenyam pendidikan SMP hingga lulus SMA. Beruntungnya mereka bisa menamatkan bangku SMA, sementara ayahnya hanyalah seorang kuli tambang yang hampir di-PHK. Perjalanan berlanjut hingga mereka bisa ke kota besar, Jakarta. Kehidupan yang tidak pernah terbayangkan oleh Arai dan Ikal, kehidupan yang keras dan penuh perjuangan. Meskipun menghadapi berbagai kesulitan dan cobaan, Ikal dan Arai tetap bertekad untuk mengejar impian mereka. Mereka belajar bahwa perjalanan menuju kesuksesan tidaklah mudah, tetapi dengan tekad dan kerja keras, impian itu dapat terwujud. Bekerja serabutan hingga hanya makan satu kali sehari pernah mereka jalani, bahkan keduanya gagal ujian beasiswa lebih dari tujuh kali. Beruntungnya ujian terakhir yang mereka harapkan ternyata membuahkan hasil. Perjalanan baru dimulai. Arai dan Ikal berhasil melanjutkan pendidikan mereka ke luar negeri, hingga mereka bisa mengelilingi benua Eropa, seperti peta yang sudah digambar Ikal dan ditempelkan di dinding kos mereka semasa SMA. Hipotermia hingga malaria menyerang satu persatu dari mereka, hingga Ikal dan Arai menemukan lukisan alam yang luar biasa.
Novel “Sang Pemimpi” karya Andrea Hirata adalah lebih dari sekadar sebuah cerita fiksi. Melalui kisah Ikal, Arai, dan Jimbron, Andrea Hirata berhasil menyuguhkan sebuah narasi yang begitu inspiratif dan membekas di hati pembaca. Di balik kesulitan pasti ada jalan selagi kita mau berusaha. Itulah garis dari kisah ini, tiga tokoh utama Ikal si pemimpi yang penuh semangat, Arai si jenius yang cerdas dan bijaksana, dan Bron, si kuat yang setia, digambarkan dengan sangat lugas. Sifat dan karkter dikemas secara menarik dan psikologis hingga cerita semakin membuat pembaca terhubung dengan karkter. Latar belakang cerita yang mengambil tempat di Belitung turut memperkaya pengalaman membaca, Penempatan latar yang diceritakan secara detail, menambah artistik dan imajinasi dari pembaca.
Dari kompeksitas cerita, pasti terdapat ketidaksempurnaan. Dalam novel “Sang Pemimpi” , terdapat beberapa bagian cerita yang mengulang topik serupa, sehingga terkesan sedikit monoton. Pengulangan topik kehidupan di Belitung yang sederhana, meskipun sarat makna, terkadang terasa berulang dan mengurangi kejutan bagi pembaca. Selain itu, alur cerita novel ini tergolong lambat, terutama di bagian awal. Meskipun demikian, penggambaran kehidupan sehari-hari tokoh dan keindahan alam Belitung yang detail mampu mengimbangi kelemahan tersebut, sehingga pembaca tetap dapat menikmati perjalanan cerita.
Simpulan akhir novel “Sang Pemimpi” adalah sebuah karya yang menggugah semangat dan menyentuh hati. Kisah perjuangan tiga sahabat ini tidak hanya menghibur, tetapi juga membuka mata kita tentang pentingnya mimpi, pendidikan, dan persahabatan. Tidak ada kata tidak bisa selagi kita mau mencoba dan tidak ada kata tidak mungkin selagi kita berjuang, Meskipun terdapat beberapa kekurangan, novel ini tetap menjadi salah satu karya sastra Indonesia yang membekas dan layak untuk dibaca.
Penulis: Ghiovita Fatika Putri
Editor: Hana Yuki