Belajar Ikhlas dari Bu Evi, Sang Pedagang Pisang
Evi (30), Ibu tangguh yang berjualan pisang di samping masjid Agung Assalam yang memiliki kisah kesabaran luar biasa. Sedari kecil hingga sekarang, pil pahit kehidupan sering ia telan, tetapi ia memandang baik kehadiran pil pahit untuk terus dekat dengan Sang Maha. Katanya, “Kalau kita tidak belajar bersyukur itu susah, sulit kita.”
Salah satu ujian yang menerpa Evi adalah dampak corona yang membuat suaminya dipecat dari pekerjaan sebagai petani karet. Seketika perut-perut yang lapar mencari tempat yang tepat untuk mengisi amunisi tubuh. Lubuk linggau menjadi pilihan keluarga mereka untuk berhijrah, mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan primer sebagai manusia.
Hidup berpindah-pindah untuk mencari peruntungan bukanlah hal baru bagi Evi. Jauh sebelum merantau meninggalkan kampung suami di Simpang Mambang, ia yang 9 tahun lalu masih gadis pergi mencari peruntungan sejauh 1.140,8 km dari tanah kelahirannya, Cilacap. Perempuan itu mengadu nasib, nasib terus ia cari bukan untuk kekayaan, tetapi untuk menyambung kehidupan di bumi manusia.
Ibu yang memiliki dua anak ini sangat pekerja keras. Ia bekerja dari pagi sampai maghrib hanya untuk melariskan berapa sisir pisang dan berapa bungkus kerupuk. Ia juga berjualan sembari mengasuh anaknya. Evi sebenarnya tidak tega melihat anaknya harus menemaninya berjualan, kadang sampai ia dan anaknya tertidur di kain spanduk. Tetapi ini semua dilakukannya demi keluarga, demi anak-anaknya. Apalagi saat ini suaminya sedang menganggur, jadilah ia mencari rezeki seorang diri.
Mendalami kisah Evi, tersibaklah duka di wajahnya tentang masa kecil. Di saat anak-anak bergelayut manja di lengan Ibu, maka Evi yang berumur 5 tahun sudah ditinggal Ibu. Ibunya meninggal dunia, meninggalkan 9 anak—6 perempuan dan 3 lelaki. Dikarenakan pengalaman yang pilu ditinggal Ibu, maka ia terus mempertahankan rumah tangga yang harmonis meski dalam kesulitan ekonomi seperti ini, “Aku tetap bersyukur punya suami seperti itu, kemarin-kemarin dia bekerja untuk kami. Ibaratnya harus saling menerimalah di saat kondisi suami sedang tidak ada kerjaaan, yang aku bisa aku lakukan.”
Baca Juga: Emansipasi dan Standar Perempuan di Masyarakat
Meskipun dalam kondisi sulit, sifat suka berbagi pada diri Evi tidak hilang. Ia suka berbagi ke panti asuhan, kepada anak-anak yang kehilangan orangtua. Baginya melihat anak-anak itu seperti melihat pengalamannya ketika ditinggal Ibu. “Walaupun jualan kayak gini, tapi alhamdulillah aku kadang bisa ngasih sedikit. Ya gak ngasih uang sih, tapi beli makanan untuk anak-anak panti asuhan. Kalau aku bisa ngasih kerupuk ya kerupuk. Apa yang aku bisalah, gak kayak orang yang berlebih, yang penting niatnya kepengen bisa berbagi meskipun gak seberapa.” (18/04/2021).
Semakin lama Ibu dari Deo dan Mia ini bercerita, semakin terkulik kehidupan masa kecilnya. Ia pernah berhenti sekolah saat kelas 5 SD dan menjadi pemulung, mengumpulkan paku-paku untuk dijual. Terkadang ada rasa menyesal dalam dirinya, apalagi ketika menginjak SMP melihat orang-orang pergi bersekolah. Seandainya hidupnya tak sekeras ini, sendainya Ibunya masih ada, seandainya dan seandainya. Maka ketika pilu menghampiri yang bisa ia lakukan adalah berandai-andai. Tapi ia mengerti bahwa itu masa lalu, ia harus melihat ke depan, “Kalau berpikir lagi semuanya sudah takdir kan. Kalau bisa sekarang aku berjuanglah untuk anak-anak aku.”
Evi memahami kehidupan ini sebagai tokoh yang menjalani garis takdir Tuhan, maka sebagai tokoh ia menuruti dengan ikhlas skenario apa yang ia mainkan. Tetapi ia ingin suatu saat anaknya memainkan tokoh yang berbeda dari dirinya. “Karena aku lahir dari orang gak punya ya, sudah tradisinya kehidupan rumah tangganya dalam keadaan susah. Aku belajar ikhlas karena sudah terlatih dari kecil. Cuma doa aku untuk anak-anakku, jangan sampai anak-anakku nasibnya sama dengan aku.”