Advertisement Section

CANDIK ALA 1965: SUDUT PANDANG KELAM DARI MATA SEORANG ANAK

 
Judul                    : Candik Ala 1965
Penulis                 : Tinuk R. Yampolsky
Penerbit               : KataKita
Tahun Terbit        : Cetakan pertama Juni 2011
Tebal halaman     : 222 halaman
ISBN                   : 978-979-3778-66-2
Kepolosan dan keluguan dari seorang anak merupakan suatu hal yang menarik. Masa anak-anak yang penuh dengan keingintahuan menjadi suatu yang dapat dikatakan sebagai ciri dari masa anak-anak. Melalui novel Candik Ala 1965, Tinuk R. Yampolskymemaparkan peristiwa menakutkan yang terjadi pada tahun 1965 dari sudut pandang seorang anak.
Tahun 1965 menjadi sebuah tahun yang sangat kelam bagi rakyat Indonesia. seperti yang kita ketahui, tapi jujur saja setelah membaca novel ini, saya baru mengetahui apa yang terjadi pada tahun 1965. Pencidukan dan penumpasan para anggota PKI atau oknum-oknum yang diduga terlibat dalam gerakan PKI terjadi pada tahun 1965.
Peristiwa pencidukan para anggota PKI dalam novel ini dipaparkan melalui sudut pandang seorang anak kecil yang bernama Nik. Peristiwa pencidukan itu terjadi di kota Solo tempat tinggal Nik dan keluarganya. Nik masih berusia 7 tahun, ia menjadi saksi mata peristiwa kelam tanpa mengetahui persisnya apa yang sedang terjadi. Yang diketahuinya hanyalah para tentara menciduk tetangga-tetangganya satu per satu dan akhirnya mendengar bahwa akhirnya mereka dibunuh. Ia pun mendengar kabar kalau salah seorang temannya yang bernama Sarjono dijauhi dan disingkirkan oleh teman-temannya, karena keluarga Sarjono terlibat dalam PKI.
Ketidaktahuan Nik yang masih polos terhadap peristiwa penumpasan anggota PKI tersebut ternyata terbawa hingga ia dewasa. Lambat laun Nik akhirnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa penumpasan anggota PKI pada waktu ia masih kecil. Peristiwa kelam yang dialaminya pada waktu kecil digambarkan seperti candhik ala  di senja hari di mana ada rasa sedih dan sepi.
Candhik Ala adalah ungkapan Jawa yang berarti langit kuning kemerahan menjelang senja. Judul ini seakan ingin mengatakan bahwa tahun-tahun itu langitpun pun ikut memerah karena di bumi banyak darah tertumpah.  
Menggunakan sudut pandang seorang anak kecil yang masih sangat polos dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, menjadi sebuah keunggulan. Isi cerita menjadi lebih nyata dan apa adanya. Apa yang dirasakan dan dialami oleh seorang anak kecil lebih menggambarkan kelamnya situasi saat itu, ada ketakutan, kecemasan, kebencian dan ketidakbebasan.
Novel ini ditulis menggunakan bahasa yang halus, jelas, sederhana dan mudah dipahami. Pilihan kata yang dipakai dalam novel ini sangat menarik pula. Latar belakang penulis sebagai orang Jawa mendorong adanya menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa dalam novel ini mendukung latar tempat cerita di Solo. Namun, dalam novel ini tidak dilengkapidengan catatan kaki yang menunjukkan definisi dari istilah-istilah Jawa tersebut. Hal ini membuat para pembaca non Jawa kesulitan untuk memahami isi novel ini. (ovityas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Aksara Mei 2015
Next post Himasik: Alat Musik Kurang, Kami Harus Pinjam