Advertisement Section

Dibalik Pintu Kelenteng Gondomanan

Foto Bangunan Kelenteng Gondomanan.

Di tengah kesibukan Jalan Brigjen Katamso, berdiri sebuah bangunan yang memancarkan ketenangan. Atap tersusun dengan ornamen naga, warna merah dan kuning yang tak lekang oleh waktu, serta aroma hio yang mengepul lembut. Inilah Kelenteng Fuk Ling Miau, atau yang akrab disapa masyarakat Jogja sebagai Kelenteng Gondomanan. Bukan hanya sekadar tempat ibadah, kelenteng ini juga adalah saksi bisu perjalanan panjang harmoni antarbudaya di tanah Mataram.

Nama Fuk Ling Miau menyimpan makna mendalam. Fuk berarti berkah, Ling berarti tiada tara, dan Miau artinya kelenteng. Ketika disatukan, Fuk Ling Miau bermakna “kelenteng penuh berkah yang tak terhingga”—harapan yang terpancar dari setiap dupa yang dinyalakan.

Baca lainnya: Titik Seimbang Mahasiswa: Mengapa Mahasiswa Harus Cerdas Mengelola Diri di Ruang Digital dan Dunia Nyata?

Hadiah Sultan untuk Sang Permaisuri

Menurut cerita abdi dalem Keraton Yogyakarta, Fuk Ling Miau awalnya merupakan rumah buatan Sultan Hamengku Buwana II untuk permaisurinya yang berasal dari Tiongkok. Kelenteng ini pertama kali didirikan pada 1846 oleh masyarakat Tionghoa di Yogyakarta. Bangunan yang kita lihat sekarang baru dibangun pada 1900 di atas tanah pemberian Sri Sultan Hamengku Buwono VII—simbol toleransi beragama yang bertahan hingga kini.

Perkawinan Dua Peradaban

Bangunan Kelenteng Gondomanan merupakan kombinasi unik arsitektur Cina-Jawa. Nuansa Cina tampak dari kaligrafi, patung dewa, dan gambaran bentang alam Tiongkok. Sementara nuansa Jawa terletak pada atap sumur langit, elemen khas arsitektur tradisional Jawa.

Kekhasan yang paling mencolok ada pada sepasang patung naga di bubungan atap. Keduanya saling berhadapan, membuka mulut sambil mengangkat ekor tegak lurus, menatap tajam mutiara api di tengah mereka. Cat merah dan kuning melambangkan keharmonisan—nilai yang dijunjung tinggi dalam budaya Tionghoa maupun Jawa.

Baca lainnya: From Trash to Cash: Olahan Sampah menjadi Sebuah Wayang Seni

Dua Kepercayaan, Satu Atap

Kelenteng Gondomanan menjadi warisan budaya Yogyakarta sejak tanggal 15 April 1999. Keunikannya terletak pada pembagian tempat ibadah: bagian belakang menjadi Vihara Buddha Prabha untuk umat Buddha, sementara bagian depan untuk umat Kong Hu Cu. Dua kepercayaan, satu atap—bukti nyata bahwa keberagaman bisa hidup berdampingan dengan damai.

Setiap hari pada pukul 06.00-21.00 WIB, kelenteng ini membuka pintunya untuk siapa saja. Tidak hanya untuk beribadah, tetapi juga bagi mereka yang ingin merasakan ketenangan atau mengagumi keindahan arsitekturnya.

Fuk Ling Miau bukan sekadar bangunan tua, bangunan ini adalah monumen hidup tentang bagaimana dua budaya bisa saling menghormati, berpadu, dan menciptakan sesuatu yang indah. Di tengah gemuruh modernitas Yogyakarta, kelenteng ini tetap berdiri tegak—mengingatkan kita bahwa berkah sejati datang ketika kita mampu merangkul perbedaan.

 

Penulis: Khansa Zhahira Fajri

Editor: Dean Farrel Wiramada Abdullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post From Trash to Cash: Olahan Sampah menjadi Sebuah Wayang Seni
Next post Kebudayaan dalam Museum Sonobudoyo: Pengaruh Agama Hindu, Budha, dan Islam di Indonesia