Advertisement Section

Federic Chopin: Cinta dalam Imaji Komposer Romantis

lppmkreativa- Friederick Chopin yang tengah memimpin orkestra dalam Sonata in B flat Minor tiba-tiba pergi meninggalkan panggung, saat pertunjukkan musik yang ia pimpin belum selesai. Hal itu pun membuat penonton yang tengah menikmati alunan musik Chopin, terkejut, termasuk seorang kritikus musik yang menulis peristiwa tersebut kepada Guardian.

George Sand, seorang novelis Perancis yang dekat dengan Chopin, menyebut kekasihnya itu kerap mengalami halusinasi. Dalam sebuah surat pada tahun 1848, kepada George Sand, Chopin menceritakan peristiwa yang ia saksikan saat memimpin orkestra dalam pertunjukkan Sonata in b flat minor.

“Ia [Chopin] melihat hantu,” kisah George Sand dalam biografinya yang dikutip Manuel Vazquez Caruncho dan Francisco Branas Fernandez dalam penelitiannya.

Hal tersebut, menurut Caruncho & Fernandez dalam The Hallucinations of Frederic Chopin, sebagai halusinasi yang dialami oleh orang yang mengidap skizofrenia dan keadaan disasosiatif yang biasanya berbentuk suara.

Selain skizofrenia, keadaan disasosiatif dapat dialami oleh orang yang menderita migran (sering merasakan sakit pada sebagian kepalanya saja). Madam Streicher, salah satu murid Chopin, dalam penelitian yang sama menjelaskan bahwa gurunya memang sering mengalami sakit di sebagian kepalanya.

Namun, keadaan disasosiatif yang diakibatkan oleh sakit di sebagian kepala biasanya dialami oleh orang-orang yang berusia di atas 50 tahun. Sementara Chopin, sudah sering mengalaminya sejak muda dan meninggal pada usia 39 tahun.

Banyak Melahirkan Karya-Karya Romantis

Terlepas dari kisah-kisah misterius yang ia alami sepanjang hidupnya, Frederic Chopin, tetap seorang komposer besar yang melaahirkan karya-karya yang banyak ditiru oleh generasi setelahnya. Spring Waltz, salah satu karya Chopin yang dimainkan dengan kecepatan nada dan intonasi disebut-sebut sebagai puncak romantisme laki-laki kelahiran Warsawa, Polandia tersebut.

Dalam Cueng Musical Emotions: An Empirical analysis of 24-Piece Sets by Bach and Chopin Documents Parallels when Emotional Spech yang ditulis oleh Matthew Poom & Michael Schultz, menyebut bahwa karya-karya Bach dan Chopin, mengandung kebahagiaan dan romantisme. Baik Bach maupun Chopin, menerjemahkan bahasa sehaari-hari ke dalam komposisi yang mereka buat.

Poom dan Schultz, menggunakan gagasan bahwa ucapan sehari-hari sebagai jembatan untuk memahami “isyarat” yang disampaikan oleh seseorang ke dalam karyanya. Jika mendengarkan musik-musik Chopin, maka lebih dominan nada dengan tempo cepat dan tinggi.

“Untuk menyampaikan emosi dalam beberapa komposisi mereka yang paling terkenal. Persepsi ucapan manusia – gagasan bahwa “ucapan bahagia” untuk manusia cenderung lebih tinggi dalam nada dan lebih cepat dalam tempo, sementara “ucapan sedih” lebih rendah dan lebih lambat,” tulis Poom dan Schultz.

Pola yang sama ini tercermin dalam nuansa halus musik Chopin dan Bach. Bahkan, sebelum Poom dan Schultz, melakukan penelitian tersebut, seorang penikmat musik Chopin, sudah merasakannya saat menyaksikan pertunjukkan sang Maestro musik romantis dalam sebuah pertunjukkan Chopin di Manchester.

Dalam sebuah dokumen arsip yang diterbitkan oleh Guardian tersebut ia menggambarkan pertunjukkan Chopin pada 1848, sebagai pertunjukkan yang megah. Sealin itu, ia menggambarkan Chopin, sebagai komposer luar biasa, meski tampak gugup saat memimpin pertunjukkan.

“Saya melihat dia sangat limbung [di panggung], dan ada suasana lemah yang hampir menyakitkan dalam penampilan dan gaya berjalannya. [namun] semua itu lenyap ketika dia duduk memegang instrumen, di mana tampaknya untuk saat ini ia menyerap perhatian [di dalam gedung pertunjukkan] dengan sempurna,” tulis arsip tersebut yang tidak diketahui penulisnya.

“Musik Chopin dan gaya kinerjanya mengambil bagian dari karakteristik utama yang sama – penyempurnaan daripada kekuatan – elaborasi halus, daripada komprehensivitas sederhana dalam komposisi – sentuhan yang elegan dan cepat, daripada sentuhan yang kuat dan gugup dari instrumen,” tambah laporan yang sama.

Namun, meskipun melahirkan karya-karya yang romantis dan identik dengan kebahagian tak dapat membuat Chopin berumur panjang. Hidupnya tuntas dalam usia 39 tahun, akibat kesehatan jasmani dan rohaninya yang terus menurun.

Halusinasi yang dideritanya semakin parah. Fisiknya semakin menurun karena ia juga menderita epilepsi lobus temporal, yang semakin memperparah halusinasinya. Kendati demikian, sampai saat ini penjelasan mengenai penyakit yang diderita oleh komposer berkebangsaan Polandia itu belum dapat dipastikan.

“Kami ragu bahwa diagnosis lain yang dilakukan akan membantu kita memahami dunia artistik Frédéric Chopin. Tap,i kami yakin bahwa mengetahui kondisi ini dapat membantu memisahkan sang legenda yang romantis dari kenyataan dan memberikan cahaya baru untuk lebih memahami pria dan hidupnya,” tulis Caruncho & Fernandez dalam The Hallucinations of Frederic Chopin.

BACA KOLOM atau tulisan Permadi Suntama lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Mengangkat Budaya Lokal Melalui Ransel Panji
Next post Deaf Republic: Dunia Sunyi Ciptaan Ilya Kaminsky