Kala Tanggal Telah Ditentukan
Aroma kopi hitam memenuhi ruangan. Sekeliling cukup ramai untuk senja kini. Aku terpaku pada sudut ruangan ini, tampak sepasang sejoli bermesraan bagai ini dunianya. Ingin aku alihkan perhatianku itu, hanya saja hatiku merindukan masa itu. Hampir lupa aku bagaimana rasanya belaian itu. Tepatnya setahun yang lalu. Tanganku masih digenggamnya. Hubunganku dengan kekasih hatiku berlansung dua tahun.
“Mungkin tak banyak kasih dan sayangku untukmu, Din. Tapi sungguh aku ingin meminangmu, Din”, terang Johan padaku saat ia melamarku.
“Sebegitu besarkah percayamu padaku, Jo? Menaruh masa depanmu kepadaku?” tanyaku padanya yang sebenarnya lebih untuk diriku sendiri.
Tak terduga apa yang Johan lakukan padaku saat itu. Hatiku terasa meledak. Tak sanggup aku menahannya seorang diri. Kudekap tubuh kekasihku itu penuh rasa haru. Persiapan selanjutnya aku lakukan bersamanya hingga tanggal suci untuk kita tercetus.
Namun semua sirna dalam semalam. Aku ditugaskan bekerja di Malang dalam seminggu. Sebelum keberangkatanku, Johan tak mengijinkanku pergi. Meski Johan belum menjadi suamiku, tapi sudah menjadi tabiatku untuk mendapatkan ijinnya. Johan pun mengerti dengan tanggungjawabku kepada kantor. Di bandara, aku tak sengaja melihat sekelebat seorang gadis. Nampaknya aku pernah melihatnya. Aku berusaha berpikir keras mengingat siapa gadis itu.
“Aku ingat sekarang, dia sepupu Johan”, aku hampiri gadis itu. Sebelum aku sempat memanggilnya datang seorang pria dan langsung melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu. Aku tak peduli dengan pemberitahuan bahwa pewasatku akan segera take off. Aku benar-benar mengenali detail badan pria itu. Terdengar olehku keduanya berbicara mesra. Kedua orang itu memandang ke luar jendela yang gelap.
“Rembulan malam ini tampaknya sedang redup. Kamu tahu kenapa? Karena cahayanya pindah di matamu, Ran”, goda Johan pada gadis berparas cantik itu.
“Mas bisa aja goda-goda aku, hehe”, sahut gadis itu dalam pelukan hangat Johan.
Tak kusadari menetes air mataku ini mendengar percakapan mereka. Gemetar badanku menyadari siapa pria itu. Tak sanggup aku mendekati sepasang manusia itu, kubalikkan badanku. Makin banyak air mata mengalir di pipiku. Aku hanya mampu menyebut namanya dalam hati. Johan.
Rahastri Fajar Puspasari