Advertisement Section

Kematian Chairil dalam Puisi “Yang Terhempas dan Yang Putus”

“Manusia mencapai keutuhannya adalah kematian. Dia kemudian kehilangan potensinya untuk menjadi. Tidak akan ada yang lebih luar biasa dalam diri manusia, semuanya sudah selesai, pasti baginya. Dia tidak lagi berada di sana. Kematian adalah transisi manusia dari [Dasein], ke tidak lagi sebagai [Dasein]. Kematian adalah hilangnya [Dasein].

 (Martin Heidegger)

Konsep kematian menurut Martin Heidegger pada teks book Being in Time yang dikutip di atas, merupakan sebuah ujung dari potensi manusia. Kematian juga menghilangkan sesuatu yang mestinya hadir menjadi sebuah ketiadaan. Ketiadaan pada manusia mencapai hakikatnya ketika [dasein] “yang berada” menjadi ketiadaan [dasein]. Setiap orang yang mengalami kematian, maka akan mengalami transisi dan hilangnya potensi entitas.

Kematian pencipta karya sastra hanya akan berpengaruh pada wujud si penyair, tetapi tidak pada karya yang telah ia ciptakan. Karya sastra bukanlah hal yang alami layaknya batu dan tanah, yang termasuk wilayah bumi tetapi memiliki komponen kosmik yang terus menerus berubah dan puncaknya berhenti pada suatu keadaan [tidak lagi ditulis si empunya; meninggal]. Walau begitu, karya sastra akan tetap abadi dibaca dan dinikamti oleh pembacanya walau penulis yang telah menciptakannya telah menghadapi kematian.

Membaca kematian maka mata kita diarahkan pada sebuah puisi berjudul Yang Terempas dan Yang Putus [selanjutnya YTdYP]  karya Chairil Anwar. Di sisa hidupnya, puisi itu menjadi bukti kesiapan Chairil menghadapi kematian.

“Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang.”

Warna kelam, gelap, sunyi, dan sepi makin terasa ketika kita membaca YtdYD. Chairil Anwar tampaknya punya semacam firasat tentang keberadaannya di dunia tidak akan lama lagi, sehingga ia akan memiliki tempat baru yang akan menjadi peristirahatan terakhirnya.

“di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin”

Penggalan larik di atas merupakan wasiat terakhir Chairil Anwar untuk dimakamkan di Pemakaman Tanah Bivak Karet yang sampai saat ini menjadi tempat terakhirnya, (daerahku y.a.d) bermakna daerahku yang akan datang. Dengan penambahan akronim tersebut Pemakaman Tanah Bivak Karet, Jakarta seakan telah memanggilnya. Dan Chairil telah melihat rumah barunya.

Menjelang akhir hidupnya Chairil Anwar selalu mengigau dengan menyebutkan nama “Tuhanku.. Tuhanku..” sampai akhirnya ia meninggal pada jam setengah tiga sore tanggal 28 April 1949 di RSCM, dalam usia yang masih terbilang muda yakni 27 tahun dengan diagnosa, TB, Tifus, dan Pecah Usus. Chairil bukan hanya berjuang, bertahan hidup, menunda maut, dan bertarung terhadap rasa sakitnya, tetapi ia juga berjuang terhadap  makna dan kata.

Di masa hidupnya, Chairil Anwar banyak menggoreskan kegetirannya lewat sajak-sajak tentang cinta, perjuangan, tanah air, kematian, religi/keyakinan, dan fragmen hidupnya di Ibu Kota. Chairil menurit Marco Kusumawijaya merupakan seorang (Arsitek yang banyak menulis tentang isu arsitektur dan kota) yakni manusia modern, yang membentuk dan terbentuk di Jakarta, kota yang punya peranan tinggi terhadap modernitas dalam dirinya. “Chairil mengubah bahasa, sehingga mampu menangkap gejala-gejala modernitas.”

Sementara di akhir masa hidupnya, Chairil menuliskan sebuah sajak tanpa judul di dalam selembar kertas. Kritikus sastra Indonesia asal Negara Belanda, A Teeuw mengatakan bahwa “Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat pada puisi berjudul Yang Terempas dan Yang Putus.”

Awalnya goresan pena itu tanpa judul. Namun setelah kematian Chairil Anwar para sastrawan sepakat untuk memberikan judul “Yang Terempas dan Yang Putus” sebagai simbol bahwa Chairil telah terputus dari kehidupan dunia, tetapi karyanya tetap abadi dalam makna dan kata.

Membaca YTdYP pembaca juga akan dihadapkan pada makna-makna perspektif dalam kehidupan dan kematian yang berjalan secara dinamis. Terlebih tulisan ini mengacu pada hermeneutika Martin Heidegger yang berangkat dari kenyataan hidup sebagaimana adanya, yang bersifat historikal yang melampui statis. Heidegger memandang ciri-ciri keberadaan manusia sebagai eksistensi. Heidegger juga merumuskan definisi hermeneutika sebagai fenomenologi ujud manusia di dalam arti primordial/mula manakala ia menunjuk kesibukan menafsirkan. Fenomenologi bertugas menguak “ada” dan wujud manusia yang harus diteliti agar pertanyaan ontologis tentang “ada” dapat dihampiri. Hermeneutika adalah fenomenologi wujud manusia. Analitika struktur-struktur universal eksistensi tetap diabdikan bagi suatu hermeneutika, yang akhirnya berurusan dengan pertanyaan tentang arti ada sebagai “ada”. Dalam arti inilah hermeneutika bersifat ontologis. Melalui hermeneutika Heidegger bahasan tentang kandungan makna dan diksi pada YTdYP akan lebih mudah menemui titik terang.

Antara Kematian, Firasat, dan Puisi

Melalui puisi YTdYP kematian menjadi sebuah misteri. Kematian juga menjadi sebuah kepastian yang tidak bisa dihindari. Setiap manusia yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Bagi mereka yang bisa merasakan, kematian menjadi sebuah isyarat dan firasat dari sebuah akhir kehidupan. Bagi umat muslim meyakini setelah kematian, manusia akan beralih ke alam akhirat. Di mana hanya amal menjadi bekalnya. Setiap manusia, kematian itu akan datang di saat siap dan tidak siap. Dari YTdYP kita sadar bahwa Chairil adalah salah satu orang yang diberikan firasat tentang kematian. Diksi-diksi dalam puisi tersebut merupakan ungkapan terakhir dari penyair yang terkenal dengan julukan “si binatang jalang” itu. Selembar kertas, pena, dinding kamar, brankar, dan angin malam menjadi saksi bisu sekaligus saksi kematiannya yang sunyi tanpa kehadiran seorangpun kecuali Tuhan dan malaikat.

 “Kelam dan angin lalu mempesiang diriku, menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin”

Bayangan kita semakin jelas tatkala dalam keheningan Chairil menghadapi kematiannya sendiri [sangat sunyi], kiprahnya akan meneduh seiring hilangnya raga dan hanya karya-karyanya yang tak akan mati. Tapi bayangan tentang heningnya malam dalam detik-detik kematian. Bak hiruk pikuk dunia sirna karena kematian yang akan ia hadapi.

“malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu.”

Kisah kehidupan Chairil saat-saat dulu harus ia ikhlaskan pada Tuhan, dengan kisah baru yang kini tak bisa lagi tercatat dalam bait-bait sajak dan puisi. Di malam kematiannya itu Chairil hanya mampu menuliskan semata yang ia rasakan.

“dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu; tapi hanya tangan yang bergerak lantang.”

Pada puncaknya kematian membuatnya beku dan kaku, tanpa ditemani harta dan lain sebagainya. Bahkan segala histori dalam kehidupan akan berlalu sejalan dengan keberadaan manusia yang akan berlalu dengan batas waktu. Ketika kematian itu datang, tidak dapat berkehendak lagi terhadap otoritas tubuh kita sendiri. Hanya Tuhan yang akan berkehendak dan malaikat yang akan bertugas melaksanakannya.

“tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlaku beku.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Blacklist: Selamat Datang dalam Misi Rahasia Sekolah
Next post Kebakuan Berbahasa Indonesia dalam Media Cetak