Advertisement Section

Kenanga: Feminisme Oka Lawan Diskriminasi

Sebagai seorang pengarang yang hidup di tengah masyarakat Bali, Oka Rusmini tentu sudah cukup memahami keseharian, adat, dan tradisi masyarakat Bali. Melalui pengalaman hidupnya itulah karya sastra seperti novel Kenanga berhasil ia ciptakan. Novel ini menceritakan realitas masyarakat Bali yang masih memegang tradisi pembagian masyarakat berdasarkan kasta. Melalui tokoh-tokoh dan berbagai kasta yang menjadi latar belakang mereka, Oka dapat dengan lengkap memaparkan keresahan yang dialami masing-masing tokoh.  Setiap tokoh memiliki keresahan yang berbeda, tergantung kasta mereka. Tak jarang ditemui berbagai macam kebimbangan yang dialami tokoh terhadap berbagai persoalan hidup, seperti hubungan asmara, hubungan kekerabatan, hingga hubungan dalam keluarga.

Jika berbicara mengenai tradisi dan adat, tak lepas olehnya berbagai macam pantangan, hal tabu, dan larangan yang tentunya merupakan bagian dari adat tersebut. Hal inilah yang coba dimunculkan pengarang dalam novel ini. Berbagai persoalan yang tabu dan dianggap ‘melawan adat’ muncul beberapa kali, misalnya seperti tokoh Intan, seorang anak Sudra diperlakukan Kenanga layaknya kelas Brahmana. Ibu dan Ayah Kenanga tidak setuju dengan perlakuan Kenanga pada Intan. Mereka beranggapan Intan tak boleh merasakan hidup sebagai Brahmana. Mereka malu dan takut menjadi gunjingan tetangga yang bisa menurunkan citra kebangsawanannya. Namun, Kenanga yang mengasuh Intan tak setuju dengan pandangan orang tuanya. Kenanga menganggap apapun latar belakang Intan, ia tetap harus mendapat kasih sayang seperti anak Brahmana pada umumnya.

Baca Juga: The World of The Married Menyentil Dunia Patriarki

Selain itu, hal tabu juga dimunculkan dalam kisah asmara Rahyuda dengan bibinya, Jero Kemuning, yang usia keduanya tidak terlalu jauh. Kisah cinta ini timbul akibat Jero Kemuning, yang berasal dari kalangan wong jero (kelas bawah), terpaksa menerima perjodohan dengan suaminya yang berasal dari keluarga Bangsawan. Ia dijodohkan dengan paman Rahyuda di usia belia. Jero Kemuning diharapkan mampu meningkatkan status sosial keluarganya. Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Jero Kemuning terpaksa mengalami pengusiran dan penolakan dari keluarga paman Rahyuda.

Kedua persoalan tersebut mencoba memberikan gambaran bahwa sistem tradisi dalam masyarakat tak jarang menyiksa dan mengekang. Masalah tersebut tidak hanya muncul di kalangan bawah saja. Gadis yang lahir di keluarga bangsawan dipaksa harus mencari laki-laki yang sederajat dengannya, sedangkan laki-laki bebas menikahi perempuan manapun. Masalah ini dialami oleh tokoh Dayu Galuh, teman Intan. Dayu Galuh sangat iri pada kehidupan Intan yang lebih bebas. Ia merasa dirinya sangat tertekan akibat paksaan dari orang tuanya yang memintanya untuk menikahi laki-laki bangsawan.

Melalui berbagai masalah yang muncul dan juga karakter tokoh-tokohnya, Oka Rusmini berhasil memberikan contoh konkret bahwa sistem kelas tak seharusnya membuat masyarakat terkekang. Adapun yang mendasari pendapat tersebut adalah kuatnya gagasan feminisme yang dituangkan ke dalam novel ini. Gagasan-gagasan Oka terkait kebebasan perempuan tergambar jelas melalui karakter dan prinsip tokoh yang ia ciptakan. Di beberapa kesempatan, ia menyisipkan gagasan feminismenya pada dialog dan pikiran tokoh seperti Kenanga dan Dayu Galuh. Gagasan feminisme yang disisipkan menjadi oposisi yang baik terhadap pengekangan kebebasan individu, khususnya kaum perempuan, seperti yang terjadi di dalam novel. Gagasan tersebut terlihat kuat dalam diri Kenanga. Kenanga digambarkannya sebagai perempuan yang memiliki prinsip kuat, cerdas, mandiri, dan juga bertanggung jawab. Keempat karakter tersebut benar-benar ditampilkan dengan baik oleh Oka. Salah satu contoh prinsip kuat Kenanga adalah ketika ia dengan sangat tulus mencintai Intan layaknya seorang anak bangsawan. Kenanga tak pernah memedulikan pandangan orang tua dan adiknya, Kencana, yang menganggap kaum Sudra dan Wong jero tak akan pernah bisa bersatu dengan kaum bangsawan. Pandangan tersebut berusaha diubah oleh Oka melalui tokoh Kenanga.

Dalam novel ini, Oka Rusmini hendak menunjukkan bahwa gagasannya terkait feminisme dapat dijadikan alat untuk melawan segala diskriminasi yang terjadi akibat adat istiadat yang ada di suatu masyarakat. Ia juga hendak memberikan suatu perspektif bahwa sistem kasta dalam masyarakat Bali seharusnya tidak dapat dijadikan dalih diskriminasi terhadap individu atau kelompok. Alih-alih menghasilkan kesenjangan, sistem kasta diharapkan membuat masyarakat saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

One thought on “Kenanga: Feminisme Oka Lawan Diskriminasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Film: Keadilan untuk Seorang Disabilitas
Next post Derai Air Mata di Bulan Juli