Advertisement Section

“The World of the Married” Menyentil Dunia Patriarki

“Feminisme bukan mengenai bagaimana cara membuat wanita semakin kuat. Wanita sudah menjadi sosok yang kuat. Feminisme adalah cara merubah pandangan dunia untuk menerima eksistensi kekuatan tersebut.” – G.D Amderson

Di tengah kebosanan pandemi seperti ini, masyarakat tentu sudah tidak asing dengan serial drama korea yang selalu menguras emosi, The World of the Married. Pada minggu lalu drama ini mendapat rating tinggi mengalahkan Sky Castle yang berjaya pada masanya.

Lalu apasih pelajaran yang dapat kita petik dari viralnya drama ini?

Unhealthy Marriage yang Merugikan Perempuan

Drama ini bukan sekadar drama yang menunjukan kisah “perebut laki-laki orang ” biasa. Drama yang menyuguhkan kisah unhealthy marriage tersebut menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rugi. Rugi dalam segala aspek.

Tapi kan istrinya kaya?

Istrinya kan banyak duit, jadi dia tidak tertindas dong

Wong istrinya lebih sukses kok

Patriarki menyentil semua jenis perempuan. Termasuk perempuan yang dianggap memiliki segalanya. Pepatah mengatakan “ada asap, ada api”. Mengapa si suami dapat melakukan perselingkuhan? Sedangkan sang istri lebih memiliki segalanya?

Perhatikan kata “lebih”. Ya, karena si istri terlalu dianggap lebih dalam segala hal. Lebih sukses, lebih pintar, lebih kaya, bahkan lebih sempurna. Laki-laki patriarkis yang mempunyai fragile masculinity akan cenderung menghindari perempuan jenis ini. Maskulinitasnya akan tersakiti jika pasangan lebih unggul dalam beberapa aspek karena dunia patriarki selalu menekankan keyakinan bahwa perempuan adalah “the second sex“. Perempuan dalam “the second sex” seolah tak punya “kehadiran”, sebab yang memberi “makna” adalah lelaki.

Karma Tidak Selalu Ada

Di sisi lain, drama ini juga menyuguhkan bagaimana nasib sang istri yang selalu disalahkan ketika suaminya selingkuh.

Perempuan tidak bisa mengurus suami!

Rawat penampilan dong, biar suamimu tidak tergoda perempuan lain!

Jadi istri ngapain aja? Tidak becus mengurus rumah tangga!

Sedangkan bagaimana kondisi suami yang berselingkuh? Senang-senang saja bersama selingkuhannya. Jauh dari kata kritikan atau penilaian masyarakat. Mengapa? Karena lingkungan sosial terlalu fokus dengan kesalahan pihak perempuan yang bahkan kesalahan itu juga tidak logis sama sekali.

Apa langkah yang diambil oleh perempuan? Meminta cerai? Tentu tidak semudah itu, di sini pandangan baru akan muncul [lagi].

Menyandang status janda di bumi patriarki bukan perkara mudah, kecuali siap menerima pergunjingan yang luar biasa, stigma jahat akan selalu ada di benak masyarakat. Belum lagi banyak yang akan menyalahkan si perempuan atas perceraiannya. Saat si wanita berstatus janda, maka selentingan negatif akan mulai nampak seperti debu-debu yang berterbangan. Sulit dibersihkan!

Stop sexualisasi janda. Kalau duda? Santai saja, wara-wiri sambil ngopi. Lalu di mana letak karma yang konon katanya hukum tabur tuai itu berlaku dan akan selalu ada? Dunia patriarki akan selalu menyantuni, ketika semua elemen masyarakat tetap dibubuhi ide-ide inferioritas terhadap perempuan. Mirisnya, ketika standar perempuan dianggap murah, rendah, hingga sampah. [redaksi/Astria]

Baca RESENSI di lppmkreativa.com atau tulisan Feby lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Previous post Mengunjungi Pelabuhan Kecil Chairil Anwar
Next post Sesudah Zaman Tuhan: Dukungan Penyair di Tengah Pandemi