Advertisement Section

Pada Dusta Aku Percaya

Sebenarnya tidak ada yang berbeda dari malam ini. Langit masih hitam pekat berbintang, temaram lampu menyambutnya di sepanjang jalan. Tak terlalu ramai memang, tapi masih dijumpainya riuh suara bahagia dan juga pendar yang terpancar dari setiap netra insan yang menarik perhatiannya. Tak luput juga pelukan duka atau isakan lirih menggaung di telinga. Semua itu beradu dengan suara lonceng yang menggema seantero stasiun kecil itu, pertanda bahwa kereta akan segera berlalu.

Gadis itu berdiri sumringah di pagar besi sambil memandangi peron, menunggu kereta yang sedari tadi ditunggunya dengan wajah tak luput dari senyuman khasnya. Kakinya bergerak-gerak tidak sabar.

“Aku akan kembali tiga tahun lagi. Tunggu saja aku di stasiun saat bulan purnama tengah sempurna bersinar”.

Setelah ratusan malam ia lalui, mungkin ini akan menjadi akhir penantiannya. Akhir dari segala kerinduan yang sudah ia pupuk selama ini. Katanya rindu itu seperti celengan, membutuhkan temu untuk bisa memecahkannya.

Beberapa menit kemudian sebuah kereta muncul di jalur pertama. Gadis itu mengecek kembali penampilannya. Gaun selutut berwarna kuning cerah dan dipadu dengan sepatu selop berwarna putih gading. Ah, sudah cukup manis ia rasa. Matanya bergerilya mencari satu cocok di antara ratusan orang yang berdesakan keluar dari gerbong kereta.

Hanya butuh beberapa detik sampai matanya menemukan satu sosok yang sedari tadi dinantinya. Sosok itu memandanginya masih dengan sorot mata teduh dan senyum manis yang mengembang. Laki-laki itu berjalan pelan mendekat dengan tas ransel tersampir dibahu kanannya.

“Hai, menemukanmu masih semudah mencari bunga matahari diantara sekumpulan bunga mawar. Yang paling terang dan cerah.”

Gadis itu tertawa. Baginya meski waktu telah berlalu panjang namun semua hal masih terasa sama. 

***

Alun-alun kota masih saja panas meskipun deretan pohon beringin dan pohon palem menghias di setiap sudut. Angin berembus semilir menggoyang-goyangkan rambut sebahu milik gadis bertubuh mungil itu.

“Kau ingat, dulu kita pernah duduk disana lalu ada seorang anak kecil yang menangis karena boneka kesayangannya hilang.”

Sang laki-laki dengan  senyum kecil mengangguk. Memperhatikan interaksi setiap orang yang memadati alun-alun hari ini. Matanya menerawang seperti tengah merasakan sesuatu. Baginya alun-alun kota telah banyak berubah dari yang terakhir dilihatnya beberapa tahun lalu.

“Iya, lalu kau membantunya mencari. Tapi, ternyata boneka itu sudah rusak terinjak lalu lalang mobil dijalan. Lalu kau membelikannya dengan boneka yang baru.”

“Ah, itu karena sang anak terus-terusan menangis. Aku kasihan pada ibunya yang bersusah payah menenangkannya.”

Sang gadis tersenyum simpul. “Setelah itu kau mendatangi toko kecil barang bekas milik kakek tua yang ada diujung jalan sana. Lalu, membelikanku buku kuno yang tak kukenal penulisnya. Namun, aku suka ceritanya.”

Buku? Buku apa itu? Sang laki-laki menoleh ke arah gadis itu. Matanya menerawang sekali lagi. Entah sudah berapa kali ia berpikir. Disembunyikannya pelik pikirannya saat ini. Ia masih saja mendengar dengan setia sang gadis.

“Bicara tentang boneka itu, setiap tahun aku selalu takut kalau kau juga hilang dan tak bisa ku temukan.”

Laki-laki itu terhenyak. Ia menunduk sekilas.

“Nyatanya aku tidak hilang dan aku kembali.”

“Ya, berjanjilah padaku kau tidak akan pergi lagi.”

Laki-laki itu tak kunjung membalas. Ia terdiam beberapa saat. Ia melirik sekilas gadis yang berjalan pelan di sebelahnya. Lalu, sebagai jawaban ia hanya mengangguk perlahan. Ia hanya berharap sang gadis tak tahu apa yang ia risaukan. Karena ada satu rahasia yang gadis itu tak pernah tahu.

***

Tempat ini masih sama seperti ketika terakhir kali ia datangi, tiga tahun yang lalu. Air yang tenang dan sebuah pohon mangga yang kian lebat daunnya. Laki-laki itu berdiri dengan tenang di tepi danau. Ia menghirup udara dalam-dalam di sana. Ia pergi sendiri kali ini, sengaja untuk mengunjungi tempat terakhir kalinya ia bertemu dengan saudara identiknya.

“Aku sudah menemuinya. Ia memang gadis yang ceria. Namun, aku tidak yakin aku bisa melakukannya seperti yang sudah kau lakukan. Seharusnya saat itu aku tidak mengizinkanmu pergi kalau aku tahu pesawatmu akan jatuh.”

Laki-laki itu tersenyum nanar dengan pendar mata yang redup. Namun, janji tetaplah janji.

Baca KOLOM di lppmkreativa.com atau tulisan Viking Brilianti lainnya

4 thoughts on “Pada Dusta Aku Percaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Memilih dengan Waras
Next post Tumbuh Bersama Sastra Buka Pintu