Advertisement Section

Pemindahan Ibu Kota: Menguntungkan atau Merugikan Masyarakat?

Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Timur, Kalimantan Timur, secara resmi ditunjuk oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), pada tahun 2019 menjadi ibu kota negara (IKN). Pemindahan ini masih menjadi pro kontra bagi sebagian masyarakat. Bagi warga Kaltim, ini merupakan berkah, sedangkan sebagian menganggap pemindahan ini hanya pelarian dari polemik permasalahan yang cukup kompleks di Jakarta.

Isu-isu banyak bermunculan, ada yang mengatakan, pemindahan ini untuk menghindari tenggelamnya sang Kota Metropolitan, penyegaran lokasi baru, jauh dari hingar bingar polusi yang selama ini menjadi pemandangan di Jakarta. Terlepas dari itu semua, pemindahan ibu kota Negara sebenarnya sudah ada sejak zaman pemerintahan Soekarno yang saat itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama, meskipun zaman Bapak Proklamator tersebut, ibu kota Negara sempat pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada Januari 1946, akibat situasi agresi militer yang tidak menentu.

Setelah lama tidak terdengar kabar, akhirnya presiden ke 7 tersebut, berani memindahkan lokasi ibu kota Negara ke Kaltim, yang terkenal dengan sebutan Banua Etam. Jokowi beranggapan pemilihan ibu kota menjadi di Kalimantan Timur itu karena letaknya yang berada di tengah-tengah Indonesia serta diadakannya kajian-kajian yang mendalam perihal lokasi. Yang pertama risiko terjadinya bencana alam seperti banjir, karena lokasi yang memiliki dataran tinggi sehingga dapat mencegah adanya bencana banjir, kemudian gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan maupun tanah longsor dan gunung berapi, karena yang kita tahu bahwa Kalimantan tidak dilewati Ring of Fire.

Untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, maka Undang Undang nomor 29 tahun 2007 harus diubah pula. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian telah menyampaikan usulannya tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020-2024. Setelah diresmikan untuk pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan Timur, kini berita itu seolah lenyap di tengah hantaman pandemi Covid-19 ini.

Khalayak pasti bertanya-tanya tentang wacana pemindahan tersebut? Apakah pemerintah tetap melanjutkan untuk memindahkan ibu kota atau tidak?

Jika menarik ulur waktu sebelum terjadinya pandemi, adanya wacana pemindahan lokasi ibu kota ke Kalimantan Timur ini banyak sekali sambutan yang positif, terutama bagi warga Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Harga tanah melambung tinggi, jika sebelumnya hanya kisaran Rp 3 juta perkapling, saat ini bisa menyentuh angka Rp 15 juta. Tergantung dari lokasi lahan yang dimiliki oleh masyarakat.

Angin segar di tengah badai Covid-19, perekonomian diharapkan membaik, lesunya harga batu bara juga berdampak pada pendapatan masyarakat lingkar tambang. Dengan adanya rencananya pembangunan skala nasional di dua kabupaten tersebut, tentu bisa dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Dengan harapan, tidak ada mafia tanah yang memanfaatkan situasi saat ini.

Untuk tanah yang berada di daerah ibu kota Negara dikatakan sangat mahal dari yang sebelumnya dan sudah terdata bahwa tanah di sana sudah bertuan semua, selain milik Negara melainkan milik perorangan. Tapi untuk mendapatkan tanah di sana bisa dikatakan cukup susah karena untuk penjualannya sendiri pun tidak bisa semaunya saja. Untuk meminimalisir persoalan setelah penjualan lahan, bupati setempat sudah menerbitkan aturan tentang pengetatan penjualan lahan, sehingga semua transaksinya wajib diketahui bupati guna mendapat persetujuan atau tidak, jadi tidak bisa seenaknya menjual tanah.

Tidak hanya untuk harga tanah saja, tapi untuk akses jalan pun, yang dulunya jalanan tidak begitu baik, akibat adanya wacana pemindahan ibu kota, kini jalanan untuk menuju Penajam Paser Utara sudah membaik. Meskipun tidak dapat dipungkiri, di beberapa kawasan masih banyak jalan yang babak belur.

Dengan adanya wacana pemindahan ibu kota, banyak perusahan swasta atau pun negeri yang mulai membangun di daerah tersebut. Otomatis menjadi mata pencaharian bagi warga sekitar untuk mendapatkan pekerjaan sembari membangun ibu kota tempat mereka tinggal.

Adanya truk dan alat berat yang mengangkut batu dan semen untuk pembukaan lahan di kawasan proyek bendungan. Untuk progress pembangunan pusat untuk saat ini belum berjalan, entah dikarenakan belum adanya putusan dari kepala Negara untuk mulai memproses pembangunan atau menunggu pengesahan regulasi dari DPR RI.

Untuk dampak negatifnya, mungkin akan ada banyak polusi yang disebabkan oleh truk yang mengangkut batu, semen dan alat berat untuk pembukaan lahan, kemudian jika hujan melanda lokasi jalanan setempat pasti akan berlumpur sehingga jalanan akan terlihat kotor dan mengganggu. Belum lagi, bisa dipastikan, jumlah kendaraan akan meningkat pesat. Mengingat, Kaltim akan menjadi ibu kota Negara, pusatnya para pejabat tinggi.

Untuk dampak negatif lainnya, warga jadi susah dalam pengurusan surat tanah, karena tidak seperti biasanya lagi. Dengan adanya Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 22 Tahun 2019 tentang Pengawasan dan Pengendalian Transaksi Jual Beli dan Peralihan atas Hak Tanah di lokasi ibu kota Negara Kabupaten PPU. Untuk itu diberlakukannyalah Perbup agar menekan terjadinya permasalahan yang mungkin terjadi pada masa mendatang, bupati setempat mengambil keputusan tersebut untuk upaya antisipasi.

Di media sosial, terdapat satu postingan, yang mengunggah soal peletakan batu pertama istana presiden di Kaltim yang akan dilaksanakan tahun ini. terlintas sejenak masyarakat adat yang kemungkinan akan menjadi korban, namun disisi lain, dengan adanya ibu kota Negara di Kaltim, tidak menutup kemungkinan akan membawa Kaltim ke era emas di mana berbagai sektor bisa bangkit, terlebih, Kaltim terkenal dengan surganya pariwisata, baik di darat dan lautnya. Semua lukisan Tuhan terpampang jelas di Kaltim. Bahkan, salah satu pulau terluar di Indonesia yakni Maratua, Kabupaten Berau, diprediksi akan menjadi pusat pariwisata internasional.

Namun, dengan ibu kota Negara di Kaltim, masyarakat banyak berharap tidak merusak sumber daya alam (SDA) yang ada. Tidak membuat satwa khas Kaltim punah. Semua berharap kemajuan, tanpa ada pengrusakan.

Kirim tulisan kamu ke Kreativa, syarat dan ketentuan ada di sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Darurat Kemanusiaan: Kapan Sejatinya Destruksi Usai Bercokol?
Next post UU ITE: Bentuk Kebebasan yang Bias Makna