Advertisement Section

Darurat Kemanusiaan: Kapan Sejatinya Destruksi Usai Bercokol?

Generasi dipelintir dengan teledor dan oleng, khususnya generasi muda. Ya, begitulah, dimensi kekhawatiran dan fobia terhadap kata “militan” yang terkadang itu menjadi suatu stigma yang dipandang negatif dan tercoreng bagi kalangan masyarakat dalam lapisan tertentu. Dewasa ini, kata “militan” merupakan asumsi/anggapan yang notabenenya kerap dikaitkan dengan tindak kejahatan/darurat kemanusiaan. Tak dapat dipungkiri, telah begitu banyak data dan catatan rentetan sejarah yang telah lalu akan hal itu (baca : militansi tindak terorisme/darurat kemanusiaan). Belakangan ini, ancaman insidental darurat kemanusiaan tak lantas menjadikan suatu kepedulian yang fundamental sebagai warga negara, masih banyak masyarakat yang abai terhadap tirani kemanusiaan tersebut, seakan faktafakta mengenai hal tersebut sudah terkuak dengan jelas, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian, masyarakat masih tetap saja cenderung abai dan acuh tak acuh dalam merespons terhadap arah militansi tindak terorisme yang identik dengan aksi destruksi dan pemberontakan.

Tidak diragukan lagi, bahwa geliat aksi militansi tindak terorisme dari kelompok yang militan dan menyempal ini, tentunya menyangkut keterkaitan identitas inklusif maupun eksklusif secara ideologis dan konstitusional. Bibit-bibit provokasi terorisme yang tendensius dan cenderung menyimpang pun seperti tak hentihentinya digaungkan dengan amat ambisius guna memuluskan aksi yang notabenenya merupakan tindakan melanggar hukum dan hak asasi manusia (HAM). Dan tentu saja, ini sangat bertolak belakang sekaligus bertentangan dengan tata aturan hukum yang ada di Indonesia. Korelasi antara terorisme dan hukum, sangatlah kentara. Maksud kentara di sini, yaitu mengingat terorisme itu tampak kentara dalam menggerogoti dan menikam entitas tata aturan hukum dengan kesewenangwenangan dan memenetrasi tata aturan hukum untuk dirombak sesuai dengan edannya kehendak versi mereka ini. Hal berbahaya tersebut jelas sangat menggoyahkan, meresahkan, dan mengacaukan. Militansi tindak terorisme memang harus ditindaklanjuti secara tegas dan tuntas, tetapi harus tetap dengan menjunjung tinggi pendekatan dengan instrumen/instruksi tata hukum yang autentik, sah, dan sesuai, seperti yang tercantum dan termuat dalam muatan komponen perundangundangan, yakni UU No. 5 Tahun 2018 tentang terorisme, sehingga tindak lanjut atas pemberantasan terorisme dapat terlepas/terbebas dari bentuk kontroversi dan memperoleh keterangan legitimasi ataupun legalitas penindaklanjutan.

Selanjutnya, sangat diperlukan dan ditekankan pula tindakan secara preventif (jangka panjang) yang proaktif, karena sangat menyangkut dengan pengejawantahan atas pertimbangan kemanusiaan, yakni dengan menempuh program pendekatan yang lebih mengedepankan interagensi (koordinasi), deradikalisasi, moderasi, dan memperkuat tingkat kewaspadaan lapisan masyarakat agar tidak mudah terseret pengaruh militansi tindak terorisme dan tidak menaruh simpati terhadap gerakan militansi tindak terorisme. Adapun bagi pemerintah sebaiknya menanggulangi akar masalah secara lokal (seperti yang terjadi belakangan ini, yakni bom bunuh diri oleh terduga pelaku teroris di lingkungan Gereja Katedral di Makassar, Sulawesi Selatan) serta menjalin relasi kerja sama dengan instansi terkait untuk meninjau daerah/wilayah dan masyarakat yang terpapar paham radikal/menyimpang untuk menetralisasi serta merehabilitasinya. Kemudian dalam bidang pendidikan, guna membentengi dari gempuran militansi tindak terorisme, sangat perlu pula digalakkan akan pentingnya pengayaan ataupun pola pembinaan kuat dalam kurikulum pendidikan keagamaan/moral, pendidikan pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan yang output-nya akan mampu mengarahkan dengan genjotan konsisten bagi generasi penerus bangsa untuk menjadi lebih terarah, berintegritas, dan tidak menyimpang dari falsafah aturan hukum yang sah dalam berbangsa dan bernegara.

Dalam membedung militansi tindakan terorisme harus mempertimbangkan tinjauan secara hukum, sosial, dan kebudayaan/kearifan lokal, karena bila tidak justru akan menciptakan kondisi yang cenderung kontradiktif, bahkan akan menimbulkan chaos. Karena tidak semua tindak kekerasan, termasuk militansi tindakan terorisme dapat dicegah dengan hanya sebatas melalui tindak kekerasan saja. Namun penanggulangan terhadap militansi tindakan terorisme juga membutuhkan imbauan kebijakan yang komprehensif dan menyeluruh secara penerapan/penegakkan. Begitu pula pada dasarnya, penanggulangan militansi tindak terorisme tidak hanya terkait dengan sebatas melalui penindakan saja, tetapi juga terkait aspek lain yang diolah guna melibatkan jajaran instansi/badan kelembagaan yang terkait dan lapisan/kalangan umum dalam kemasyarakatan secara bersinergi.

Tentu saja, berbagai cara harus diupayakan dengan tujuan menyadarkan dan memahamkan bahwa tindakan teroris itu memang mutlak tidak dibenarkan oleh ajaran agama secara umum, sehingga tidak ada lagi lontaran unsur kebencian terhadap ras, agama lain, aparat, lingkungan, dan warga sipil, serta bangsa lain. Tampaknya tidak ada pilihan lain, selain melaksanakan pendekatan secara komprehensif dan menyeluruh dalam menyelesaikan, mencegah, serta mencanangkan penanggulangan terhadap militansi tindak terorisme. Pendekatan secara komprehensif dan menyeluruh ini yang mungkin akan mampu menjawab serta memaknai pertanyaan, yaitu lantaran apa militansi tindak terorisme itu muncul/marak terjadi di Indonesia dan bagaimana pula cara menghadapinya. Implementasi dan orientasi dalam membendung militansi tindak terorisme harus dilakukan pula dalam bentuk sosialisasi, integrasi, dan sekaligus menanamkan keteladanan bahwa langkah pemerintah itu senyatanya tidaklah bersifat diskriminatif. Dan penumpasan terhadap terorisme adalah kebutuhan yang begitu krusial dan mendesak untuk melindungi seluruh WNI sesuai dengan tujuan nasional yang diamanatkan dalam muatan UUD 1945.

Oleh karena itu, semestinya apabila tidak ingin terlibat dalam militansi tindakan terorisme, maka hindarilah dan tinggalkanlah segala hal yang berhubungan dengan bibitbibit radikalisme, ekstremisme, dan tentunya terorisme itu sendiri. Dan apabila juga ingin mampu dalam membentuk tatanan kehidupan yang aman, damai, guyub rukun, dan tenteram, maka marilah saling giat hormatmenghormati, menghargai (toleransi/tenggang rasa), menjaga, dan tetaplah gigih dalam mengutamakan sekaligus menghayati esensi nilainilai kemanusiaan secara umumkhusus.

Kirim tulisan kamu ke Kreativa, syarat dan ketentuan ada di sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Kriminalitas: Ragam Imbas Sosial Masyarakat Akibat Covid-19
Next post Pemindahan Ibu Kota: Menguntungkan atau Merugikan Masyarakat?