Advertisement Section

Presiden Itu Bernama Birokrat

Tidak diperbolehkannya penggunaan nama Presiden dalam pemerintahan Republik Mahasiswa (selanjutnya dibaca Rema) UNY, menimbulkan polemik baru dalam perpolitikan kampus di UNY. Seolah gesekan yang terjadi, dalam Organisasi mahasiswa di kampus UNY, belumlah cukup untuk membuat elemen di dalamnya merasa jengah, masalah baru justru ditimbulkan oleh birokrasi kampus. Alih-alih ikut duduk bersama, mencari solusi atas permasalahan yang terjadi antara Organisasi mahasiswa akhir-akhir ini, pihak birokrat malah membuat keputusan yang mengundang kontroversi, yaitu melarang pemakaian nama Presiden dan wakil Presiden dalam pemerintahan Republik mahasiswa di UNY.

Hal ini tentu akan menjadi sebuah kesempatan bagi Organisasi mahasiswa, yang sedari awal menolak sistem pemerintahan Republik kembali diberlakukan oleh BEM Universitas Negeri Yogyakarta. Pasalnya, dengan tidak adanya Presiden dalam pemerintahan republik akan menimbulkan kerancuan, mengenai kedalaman pemahaman yang dimiliki oleh orang-orang yang memberlakukan kembali sistem republik. Apalagi tidak adanya nama Presiden, dalam pemerintahan BEM Rema UNY, dikarenakan oleh adanya intervensi pihak birokrat yang tidak menghendaki pemakaian nama Presiden BEM.

Bagaimanapun seyogyanya dalam pemerintahan republik diperlukan adanya seorang yang menyandang peran presiden. Apakah presiden menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam struktur pemerintahan, atau menjadi semacam pihak yang bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan, layaknya Demokrasi Parlementer, dimana kepala negara bertanggung jawab terhadap parlemen. Melakukan hal yang demikian pun rasanya makin tidak mungkin. Melihat masih kurang tertatanya lembaga pemerintahan BEM Rema UNY yang masih mengalami kerancuan antara fungsi lembaga Eksekutif, dengan Legislatif. Kedua lembaga tersebut masih sering melakaukan tukar guling fungsi di pemerintahan. Adalah tindakan yang kurang bijak apabila mengadopsi sistem Demokrasi Parlementer, dalam praktek menjalankan roda pemerintahan. Masalahnya tentu pada siapakah kepala pemerintahan, yang akan bertanggung jawab kepada parlemen? juga lembaga manakah yang bisa dikatakan sebagai lembaga parlemen dalam pemerintahan Republik mahasiswa di UNY ini.

Hal itu semakin diperparah dengan tidak adanya badan atau lembaga yudikatif, yang menjadi syarat untuk berdirinya sebuah pemerintahan Republik yang berasas pada trias politica (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif), masalah ini menambah daftar pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh BEM Rema UNY, apabila masih menghendaki sistem Republik mahasiswa. Penggunaan sebuah sistem dalam pemerintahan, tentunya telah melewati tahapan pertimbangan yang matang. Sehingga dalam penerapannya, tidak akan lagi ditemukan masalah-masalah yang disebabkan oleh ketidaktahuan kita terhadap sistem yang kita gunakan.

Tidak perlu berharap terlalu muluk untuk dapat belajar berpolitik. Seperti yang  lumrah berlaku di negara yang menganut sistem demokrasi, dimana setiap warganya mampu membentuk partai, dan memiliki kebebasan untuk berfikir. Pada kenyataannya mahasiswa tidak dididik untuk menjadi seorang politikus. Mahasiswa hanyalah seorang yang belajar berpolitik, dan memiliki beban tanggung jawab kepada kampus untuk menyelsaikan studi dengan baik. Mahasiswa dalam pemerintahan (Organisasi red-) hanyalah seorang amatir dalam politik, maka yang harus kita ingat adalah; bahwa mahasiswa merupakan individu atau kelompok yang melakukan social control dalam masyarakat, dan bukan sebaliknya. (Suntama)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Saat Kata Tak Perlu Berjarak
Next post Menimbang Puisi Menimbang Bahasa