Saat Kata Tak Perlu Berjarak
De Sausure dalam teorinya mengatakan bahwa bahasa berkaitan dengan signifie dan signifiant yang memiliki ciri arbitrer. Salah satu karakteristik arbriter adalah mana suka, yang mana pemahaman terhadap bahasa disepakati oleh penutur dan mitra tutur.
Dalam beberapa dekade belakangan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan teknologi informasi yang berjalan dengan pesat ini sejalan dengan pesatnya laju perkembangan media sosial. Hal tersebut nyaris menjadi satu kebutuhan pokok baru bagi kalangan masyarakat modern, selain sandang, pangan, dan papan. Produk-produk jejaring sosial menjadi komoditas baru yang menyasar tidak hanya gaya hidup, melainkan juga komunikasi, dan eksistensi.
Salah satu media sosial yang mengalami kenaikan pengguna cukup pesat adalah instagram. Berbeda dengan media sosial lain yang banyak mengandalkan tulisan dan juga fitur obrolan, instagram justru mengandalkan layanan posting foto bagi penggunanya. Sasaran dari produk ini tentu generasi narsistik. Berdasarkan data yang diambil dari Kompas, 24 September 2015, pengguna instagram di seluruh dunia mencapai empat ratus juta pengguna. Angka ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan seluruh penduduk Indonesia.
Instagram memiliki salah satu fitur yang sering kali digunakan oleh instagramer (sebutan untuk pengguna instagram). Fitur tersebut adalah hastag atau tagar dalam bahasa Indonesia. Awalnya tagar difungsikan untuk mempermudah para pengguna instagram menemukan foto-foto dengan topik yang sama. Tagar biasa diawali dengan tanda pagar (#) dan apabila terdiri dari dua kata atau lebih, maka tagar dituliskan tanpa jarak (spasi). Salah satu contoh kasus, apabila kita mencari topik #jalanjalan, maka berbagai foto dari seluruh dunia dengan tagar #jalanjalan akan muncul dalam hasil pencarian. Dengan kata lain, fungsi tagar layaknya kata kunci.
Penggunaan tagar oleh pengguna instagram atau jejaring sosial lain (termasuk twitter dan facebook) mampu menunjukkan keefektifan berbahasa seseorang dalam menarik perhatian lini masa. Pada instagram sendiri sebenarnya sudah memiliki tagar-tagar khusus yang bisa digunakan oleh pengguna, misalnya #qotd (question of the day, untuk menandai pertanyaan yang ingin kita lontarkan terhadap pengguna instagram lain), #ootd (outfit of the day, untuk menandai pakaian yang kita kenakan hari itu), #f4f (follow for follow, untuk meminta pengguna instagram mengikuti intagram seseorang dan akan diikuti balik), dll. Artinya semakin pengguna instagram, menggunakan kata-kata yang umum digunakan dan mudah dicari, maka secara otomatis, kemungkinan pengguna instagram tersebut masuk dalam radar pencarian pengguna instagram yang lain sangat besar.
Sayangnya implementasi penggunaan tagar ini sekarang sudah beralih fungsi. Tagar bukan lagi difungsikan untuk mencari dan menandai topik yang sama, melainkan sebagai ajang unjuk kekinian dan aktualisasi diri. Seringkali, tagar tidak lagi berupa satu dua kata melainkan sebuah kalimat yang panjang. Penggunaan tagar seolah-olah tak dapat tergantikan oleh kata-kata dalam caption postingan. Tak mengherankan, jika kemudian di instagram atau facebook kita menemukan tagar panjang semacam #guemahgituorangnya atau bahkan, terkadang tagar bermetamorfosis layaknya teks samping pada naskah drama, misalnya tagar #senyuminajasambilmakankuaci.
Hal di atas kaitannya dengan pemahaman bahasa tentu tidak ada masalah. Kembali lagi pada pemahaman bahwa bahasa bersifat arbriter. Orang tidak akan kesulitan membaca tagar tersebut karena sudah mengetahui susunan bahasa yang digunakan. Namun kaitannya dalam kaidah penulisan, tentu kemunculan tagar-tagar tersebut menyalahi aturan, bahkan cenderung terdapat upaya destruksi. Pengguna media sosial untuk menandai pergantian kata pada tagar biasanya menggunakan huruf kapital, misalnya #AnakGaulKota. Pembiasaan penulisan tagar ini dikhawatirkan akan berimbas pada kemampuan menulis seseorang sesuai dengan kaidah yang berlaku. Terlepas dari persoalan tulisan dan wujud fisik kata-kata tersebut, kita harus menyadari bahwa bahasa diciptakan untuk membangun sebuah komunikasi yang efektif. Jika awal mula lahirnya tagar tersebut digunakan untuk memudahkan pencarian data, lalu apa yang terjadi jika kita justru menciptakan tagar-tagar yang ajaib? Bukankah ini berarti kita justru melakukan hal yang kontraproduktif dalam sebuah kultur komunikasi?
Bahasa mencerminkan personaliti pemakainya. Penggunaan bahasa yang baik bisa jadi meningkatkan status dan kelas seseorang. Satu yang harus diingat, orang yang berkelas mampu menunjukkan kelas dan attitudenya melalui cara mereka berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Ketika kata tak lagi berjarak, bukan berarti kita bisa semena-mena merusak! Kreativitas berbahasa hendaknya diikuti itikad baik untuk tetap mempertimbangkan kaidah berbahasa.
*Okta Adetya
Maniak medsos dan guru bahasa Indonesia di SMA Negeri 10 Purworejo.