Ras, Etnis dan Bias Gender dalam Pemilihan Kepala Sekolah di Amerika
Ras, etnis, dan gender ternyata masih menjadi perhatian untuk memilih seorang pemimpin di Amerika. Contohnya adalah bidang pendidikan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di University of Texas at Arlington College of Education, isu ras, etnis, dan jenis kelamin masih menjadi tiga faktor utama seseorang dipilih sebagai kepala sekolah di Amerika. Dalam penelitian tersebut, ras dan seks masih menjadi perhatian publik ketika seorang guru sekolah umum mencalonkan diri sebagai kepala sekolah.
Bradley Davis, salah seorang asisten profesor dalam Professional Standards for Educational Leaders (PSEL) di University of Texas at Arlington (UTA), menerbitkan sebuah penelitian berjudul “Persiapan menjadi Kepala Sekolah: Sebuah Analisis Perjalanan Karir Seorang Guru dengan Jabatan Kepala Sekolah” di American Educational Research Journal. Davis sebagai penulis, bersama dengan Mark Gooden, seorang profesor University of Texas Austin, dan direktur Principalship Program dan Koordinator Professional Standards for Educational Leaders (PSEL), Alex Bowers, seorang profesor Educational Leadership di Teachers College, Columbia University.
“Kami menemukan bahwa lima sampai tujuh tahun setelah memperoleh sertifikasi, merupakan waktu yang paling tepat bagi seorang guru untuk menjadi kepala sekolah,” kata Davis. “Kami menemukan bahwa orang kulit putih,akan memiliki jalan yang lebih mudah dan berpeluang lebih besar dan lebih mungkin dibandingkan perempuan atau laki-laki dari ras atau etnis yang berbeda. Kami melihat ini sebagai bukti bias sistemik dalam seleksi kepala sekolah.”
Penelitian yang menggunakan data hampir 11.000 pendidik lebih dari 17 tahun akademik dalam konteks yang beragam. Studi ini meneliti jalur karir guru untuk menentukan apakah dan bagaimana perjalanan mereka sampai menjadi seorang kepala sekolah. Studi ini menggabungkan berbagai sejarah peristiwa analisis untuk menentukan bagaimana ras individu, etnis, gender dan kombinasi ketiganya berkontribusi dalam perjalanan karir setiap orang.
Para peneliti menemukan bahwa: ketika seorang individu mampu mengendalikan karakteristik pribadinya, terdapat jalur profesionalisme dimana seseorang dipilih berdasar pengalamannya. Akan tetapi, jalur itu berada di sekitar ras dan bias gender yang seringkali merusak dan membuatnya tidak terlihat.
“Ada keadaan lain yang berbeda dengan hasil penelitian ini yang berasal dari luar cakupan makalah ini tentunya, tetapi jika Anda bertanya kepada saya, seorang yang sering datang ke dewan sekolah dan pemimpin daerah akan lebih nyaman dalam berkomunikasi,” kata Davis. “Kenyamanan adalah ukuran subjektif dan sering mengakibatkan pemegang kekuasaan mempekerjakan atau mempromosikan orang-orang yang terlihat dan bertindak seperti mereka.”
Teresa Taber Doughty, dekan College of Education, mengatakan studi Davis’ menggambarkan tantangan sistemik di sektor pendidikan.
“Studi ini tentu memberikan suara kepada yang kurang terwakili,” kata Doughty. “Studi ini menunjukkan ketidakadilan ras, etnis dan jenis kelamin yang serius.”
Davis mengatakan penelitian pada semester baru ini akan menunjukan ada tidaknya, suatu kesenjangan hak untuk memiliki kesempatan telah menyempit dari waktu ke waktu.
*Artikel ini pertama terbit di Science Daily, pada 27 Februari 2017.
Kalau memang minoritas itu tidak mampu atau tidak kompeten, kenapa juga dipaksakan untuk menerimanya sebagai kepala sekolah?
Jujur saja, minoritas sering “play victim” untuk hal-hal yang sulit direbut oleh mereka. Padahal, dengan kekuatan kemauan, aturan main seberat apa pun bisa ditaati dan jabatan penting bisa diraih — tanpa harus merengek dengan menyebut diri sebagai minoritas.
betul sekali saudara @Wanderingjava, mungkin ras, etnis dan gender tidak ada hubungannya dengan jalan seseorang mencapai sebuah jabatan, tetapi berdasar penelitian yang dilakukan Davies, mayoritas sekolah di Amerika dipimpin oleh seorang kulit putih dengan jenis kelamin laki-laki.