Advertisement Section

Rumah Kertas: Buku-buku dalam Satu Buku

“Pada musim semi 1998, bu dosen Bluma Lennon membeli satu eksemplar buku lawas poems karya Emily Dickinson di sebuah toko buku di Soho, dan saat menyusuri puisi kedua di tikungan jalan pertama, ia ditabrak mobil dan meninggal.” (hlm. 1)

Itu adalah paragraf pertama yang ditulis oleh Carlos Maria Dominguez dalam bukunya yang berjudul La casa de papel atau Rumah Kertas dalam versi bahasa Indonesia. Buku kecil setebal 76 halaman ini mampu memberikan kesan yang ciamik kepada saya, pembaca.

Tulisan Dominguez rupanya menarik hati penerbit Marjin Kiri sehingga mereka menciptakan versi bahasa Indonesianya. Togamas menjual buku ini setengah harga dari kuota internet yang biasa saya beli, kira-kira Rp30.000 (lebih sedikit).

Siapa sangka buku mini ini menyajikan gagasan yang maksi. Dominguez, yang merupakan penulis fiksi sekaligus jurnalis ini menyajikan dua kebolehannya. Dalam buku ini, ia menyajikan tulisan semi jurnalistik  yang dikemas dengan fiksi. Benar, antara fiksi dan nonfiksi—keduanya ada di sini. Teman saya yang pertama kali membaca buku ini berkeyakinan bahwa ini adalah esai sastra. Sebenarnya tidak demikian, seperti yang saya katakan bahwa buku ini adalah novel jurnalistik yang singkat.

Kembali ke awal paragraf, pembaca seperti dibelokkan kepada pertanyaan: Bluma mati karena tertabrak atau Bluma mati karena buku puisi? Ini tentang sebuah takdir yang dipikul mereka yang gemar membaca buku. Pertanyaan lain tentang apa yang menjadi penting bagi pembaca adalah: buku yang dibaca Bluma atau kematian Bluma yang penting?

Tidak adil rasanya bila yang saya paparkan kekurangan dari novel ini adalah bahasanya yang berhamburan. Barangkali yang bermasalah adalah penerjemah dan editornya. Bagaimana pun, saya suka dengan gagasan dan cara Dominguez bercerita melalui tokoh “aku” yang tidak ia sebutkan namanya.

Rumah Kertas yang dimaksud adalah sesungguh-sungguhnya rumah yang terbuat dari kertas: buku-buku yang ditumpuk sehinga membentuk bangunan. Setelah si “aku” menggantikan posisi Bluma, ia mendapat paket kiriman berupa buku berjudul La Linea de Sombra, terjemahan Spanyol The Shadow-Line karya Joseph Conrad, yang memiliki bercak semen. Dominguez memang menuliskan awal dan akhir novel ini demikian, “untuk mengenang Joseph sang adiluhung”. Barangkali memang sebenar-benarnya Joseph Conrad-lah yang ia maksud.

“Aku” mencari tahu siapa orang yang mengirimkan paket itu (buku)—yang ditujukan untuk Bluma. Setelah melakukan investigasi, ditemukanlah bahwa pemilik buku itu adalah Carlos Brauer yang merupakan blibiofili (penggila buku yang bukan sekadar pencinta). Ia menghabiskan setengah harinya untuk membaca buku. Sehingga Brauer memiliki ribuan buku-buku.

Singkatnya, setelah Brauer mengalami masa-masa sulit, ia memboyong bukunya menuju pesisir pantai, menuju daerah terpencil di Uruguay. Ia menyusun bukunya menjadi sebuah tembok lalu melapisinya dengan semen. Perlakuan brauer seperti ini didasarkan terhadap obsesinya yang aneh, yakni ingin buku-bukunya dapat melindunginya dari angin. Ia menyuruh kuli menjadikan buku-buku sebagai ganti batu bata. Benar, sebagai batu bata!

“….Ia mengulurkan ke si kuli  sejilid Borges buat dipaskan di bawah kusen jendela, Vallejo untuk pintu, Kafka di atasnya, dan di sampingnya Kant, serta edisi sampul tebal Farrewel to Arms-nya Hemingway, juga Cortazar dan Vargas Llosa, yang selalu menulis karya tebal-tebal; Valle-Inclan dengan Aristoteles, Camus dengan Morosoli; dan Shakespeare lengket selamanya dengan Marlowe kena adukan semen; dan semuanya ditadirkan untuk mendirikan tembok…” (hlm. 53)

Dari hal inilah akhirnya tokoh “aku” bisa mengerti mengapa buku yang dikirim Brauer pada Prof Bluma memiliki noda berupa kerak semen. Apakah Brauer kelak membongkar rumah bukunya untuk mengambil dan mengembalikan sebuah buku yang diberikan Blauma padanya? Jawabannya ada di bagian akhir dari novel ini.

Saya akan mengutip bagian Rumah Kertas sebelum menutup resensi yang saya buat.

“Orang-orang ini (bibliofil) ada dua golongan….pertama, kolektor, yang bertekad mengumpulkan edisi-edisi langka…..edisi pertama buku-buku Borges sekalitus artikel-artikel di majalah-majalah; buku-buku yang dicetak oleh Colombo, disunting oleh Bonet, sekalipun mereka tak pernah membuka-bukanya selain untuk melihat-lihat halamannya, seperti orang-orang mengagumi sebuah objek indah.

Lainnya, ada para kutu buku, pelahap bacaan yang rakus, seperti Brauer itu, yang sepanjang umurnya membangun koleksi perpustakaan yang penting. Pecinta buku tulen, yang sanggup mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk buku yang akan menyita waktu mereka berjam-jam, tanpa kebutuhan lain kecuali untuk mempelajari dan memahaminya.” (hlm 17)

Kamu termasuk yang mana? kolektor atau kutu buku?

Baca RESENSI di lppmkreativa.com atau tulisan Nursaid lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Berubah Bukan Berarti Salah Langkah
Next post GOR saat PKKMB Melampaui Kapasitas