
Demokrasi
Kedaulatan rakyat, yang dikukuhkan dalam ide demokrasi dari zaman ke zaman, adalah sebuah kerinduan akan keadilan—yakni keadilan yang dimanifestasikan dalam kesetaraan –Goenawan Mohamad
Pada tahun 507 SM, Cleisthenes bersama warga Athena mendirikan sebuah pemerintahan yang menjadi cikal sistem demokrasi. Akan tetapi, demokrasi di bawah Cleisthenes yang ada di Athena sebenarnya masih jauh dari definisi demokrasi, bila kita membayangkan sebuah pemerintahan demokratis seperti yang kita pahami sekarang.
Memang benar bahwa negara Athena pada masa itu telah menggunakan konsep pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi definisi rakyat dalam sistem sosial masyarakat Athenalah, yang membuat konsep pemerintahan Athena keluar dari demokrasi yang dikenal banyak orang di zaman modern.
Sebab definisi rakyat adalah orang-orang merdeka, berusia 20 tahun dan laki-laki. Orang-orang yang tidak memenuhi tiga syarat dasar sebagai rakyat di atas, tidak memiliki hak politik dan suara dalam pemerintahan. Demikianlah, sosiokultural masyarakat memiliki hubungan yang kompleks dengan pemerintahannya.
Demokrasi adalah Demokrasi. Ia adalah kata yang mengandung pengertiannya sendiri. Ia tidak datang lewat pengakuan dan kesaksian orang, bahwa pemerintahannya adalah pemerintahan yang demokratis. Lebih dari itu, demokrasi lahir dengan sendirinya di dalam masyarakat.
Ia muncul begitu saja di dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan dalam negara yang Monarki sekalipun, sebuah demokrasi bisa saja tercipta. Ketika Kerajaan dipimpin oleh seorang Raja, tetapi rakyatnya dapat memilih pemimpinnya sendiri, kecuali Raja. Misalnya memilih kepala wilayahnya sendiri dan sebagainya.
Itu lebih demokratis bila dibandingkan dengan sebuah negara Republik yang memakai sistem pemerintahan demokrasi, tapi dalam prakteknya tidak ada suatu gambaran demokrasi hadir di dalamnya. Mereka hanya seolah merayakan demokrasi, tetapi sebenarnya tidak ada suatu kebebasan ada di dalamnya.
Agar lebih keren, saya meminjam istilah Soe Hok Gie, Kita seolah merayakan demokrasi, tapi memotong lidah mereka yang ingin bersuara.
Bukankah yang demikian itu pernah terjadi di dalam kehidupan rakyat Indonesia? Keadaan yang seharusnya masih lekat dan selalu ada dalam ingatan. Pada sekali waktu, orang-orang yang tinggal di negara demokratis tersebut kehilangan kebebasan untuk bersuara.
Dan, sekali waktu yang panjang itu telah membuat masyarakat yang terlibat di dalamnya mulai belajar lagi untuk memahami demokrasi. Pada akhirnya, masyarakat mulai paham dan berupaya untuk merayakan demokrasi yang sesungguhnya.
Akan tetapi, setelah semuanya berhasil dicapai, orang-orang justru mulai lupa. Bahkan orang yang memperjuangkannya pun turut melupakan yang pernah mereka perjuangkan.
Sebuah demokrasi model lama mulai muncul kembali. Demokrasi yang sebelumnya ditentang dan telah diruntuhkan mulai kembali membangun pondasi baru.
Mirisnya, pondasi tersebut justru muncul di lingkungan intelektual. Tempat orang-orang seharusnya dapat menelaah dan memahami segala hal dengan baik. Kalaupun ada kesalahan, seharusnya kesalahan tersebut bukanlah terjadi tanpa disengaja.
Kalau sesuatu yang salah dilingkungan intelektual terjadi secara sengaja, bisa jadi masyarakat kita sedang bersama-sama berjalan mundur ke belakang.
Sumber Gambar: Ancient Origins