Eksistensi HAM dalam Kacamata Dunia
Hak Asasi Manusia (HAM) sudah seharusnya menjadi hal yang kita junjung tinggi eksistensinya. Setiap orang berhak diperlakukan dengan manusiawi tanpa memandang suku, agama, maupun warna kulit. Di mana pun mereka berada dan apa pun status sosialnya, mereka berhak hidup dengan layak tanpa penindasan. Namun, dengan adanya perang berkepanjangan, invasi politik, dan operasi militer, mengajak kita untuk berpikir ulang tentang gagasan HAM dalam kacamata international. Pendirian kita diuji sebagai manusia beradab dan bernurani. Apakah isu HAM hanya omong kosong semata? Mungkinkah perdamaian dunia cuma gurauan belaka?
Invasi yang dilakukan Rusia terhadap negara tetangganya, Ukraina, tengah menjadi sorotan utama di seluruh penjuru dunia. Rusia diduga melakukan serangan militer setelah Ukraina, sebagai negara bekas wilayah Rusia, berencana untuk bergabung dengan aliansi militer barat, yaitu NATO. Aliansi militer ini dibangun oleh Amerika Serikat untuk membendung pengaruh komunisme Rusia pada saat perang dingin.
Serangan militer yang dimulai pada 24 Februari 2022 telah berlangsung selama 8 hari dan telah menewaskan korban sebanyak 2.000 orang. Sementara itu, 560 ribu penduduk dilaporkan mengungsi. Mereka mengungsi ke negara tetangga, terutama Polandia. Sebagian besar warga yang mengungsi yaitu wanita dan anak-anak. Sementara itu, laki-laki berusia 18-60 tahun diinstruksikan oleh pemerintah untuk menetap dengan tujuan membantu pasukan militer.
Selain serangan militer, pendapat media dan cara mereka meliput perkara ini juga menjadi sorotan. Media barat dinilai terlalu berlebihan saat meliput berita Ukraina. Pada saat yang sama terdapat negara-negara bagian dunia lain yang mengalami kondisi serupa dengan Ukraina, tetapi media malah menutup mata akan kejadian tersebut. Sebut saja Palestina dan Afganistan yang telah dilanda konflik bersenjata dalam waktu sangat yang lama. Sayangnya, kedua negara tersebut tidak terlalu mendapat sorotan karena tidak terafiliasi politik dengan negara barat.
Baca Juga: Jurnalis Kritis Prestasi atau Kontroversi
Salah satu contohnya adalah tanggapan koresponden senior CBS News di Kyiv, Charlie D’Agata. Pernyataan yang membandingkan Ukraina dengan negara lain di Timur Tengah ini menimbulkan kontroversi.
“[Ukraina] bukanlah sebuah tempat, dengan segala hormat, yang seperti Irak atau Afghanistan yang sudah menyaksikan konflik selama beberapa dekade. [Kyiv] relatif beradab, relatif Eropa—saya harus memilih kata-kata itu secara hati-hati—kota di mana Anda tak mengharap adanya perang atau sama sekali tak pernah mengharap itu terjadi,” ujar Charlie pada Jumat.
Selain itu juga terdapat beberapa pernyataan yang menjuru ke rasisme dan eropasentris. Seperti liputan dari presenter ITV News Inggris, Lucy Watson, yang juga menjadi sorotan. Dalam liputannya di Polandia, ia melaporkan sebagai berikut: “Yang tak terbayangkan telah terjadi. [Ukraina] bukan negara ketiga dan berkembang. Ini Eropa!”
Tanggapan media barat tersebut mengindikasikan bahwa mereka tidak menganggap masalah jika penindasan dan gencatan senjata terjadi di Timur Tengah, Afrika, atau negara yang lainnya. Namun, jika hal tersebut terjadi di negara Eropa atau negara dengan basis penduduk kulit putih, tentu hal tersebut menjadi tidak layak dan tidak manusiawi.
Standar ganda dan rasisme yang sebenarnya tidak manusiawi. Rasa superior terhadap bangsa sendiri menimbulkan ketidakpedulian terhadap kepentingan, bahkan nyawa orang lain. Hal tersebut sangatlah miris karena terjadi dalam basis yang masif. Keberpihakan media terhadap negara barat bukanlah hal sepele karena mengorbankan kemanusiaan dan mengesampingkan HAM.
Dunia memang sedang tidak baik-baik saja. Alangkah baik jika kita dapat bahu-membahu dan saling membantu untuk mengikis krisis kemanusiaan. Mulailah dengan menghilangkan prasangka dan chauvinisme sebagai cara kita berkontribusi dalam keadaan. Siapa tahu suatu saat nanti kita dapat mengubah dunia ini menjadi tempat yang lebih baik.
Ilustrator: Afifah Azzahra