Advertisement Section

Setitik Bayang Cahaya yang Terkenang

Pada penghujung malam yang dingin kali ini. Di atas balkon rumah temanku yang sepi dengan beralaskan kursi yang kususun memanjang bak tempat tidur yang nyaman yang telah ku buat. Aku terbaring sendirian, menikmati angin malam yang berhembus begitu dinginya menusuk ke tulang tanpa selimut ataupun jaket yang menghangatkan tubuhku. Hanya sendiri, benar-benar sendiri menikmati sepinya malam, menatapi langit malam berhiaskan bintang bintang yang berkilauan menghiasi langit, bulan emas yang tinggal separuh seperti melengkungkan senyuman yang manis kepadaku menambah indahnya suasana langit malam itu. Semakin malam, mata ini tak henti hentinya menatap langit itu, memandangi dengan lembut indahn lengkung cahayanya bulan yang memanjakan mata.

Bulan itu seakan ingin mengungkapkan sesuatu kepadaku melalui bentuk indahnya yang menyenangkan jiwa dan hati, sebagai penghias langit malam dan teman dikala malam sepiku. Entah apa yang membuatku sangat menyukai cahaaya keemasan pada malam itu. Diriku mulai curiga dengan keanehan yang aku rasakan pada malam itu. Diriku sendiri seperti halnya telah  terkena hipnotis dari cahaya indah itu.

Seperti layaknya ilusi yang membingungkan akal sehat, cahaya itu dengan sendirinya mendatangkan jutaan bahkan milyaran hasrat kenangan yang begitu membekas dan menggodaku untuk memliki begitupun menyimpannya di tempat yang mahkluk bumi tidak akan tau kecuali aku dan Tuhan.

Baca juga: Awal Menjadi Seniman: Belajar Untuk Bisa Bertanya
Resah dan risau menyertai seluruh darah yang mengalir ditubuhku, saat semua kenangan-kenangan itu dengan tidak sopannya masuk menembus pori-pori kulitku yang tipis, menyebar ke seluruh sel-sel tubuhku yang dingin, lalu akhirnya berhenti merasuki badan menggerogoti tubuhku, hingga akhirnya  jiwaku yang harus dikorbankan.
Tak bisa aku mencegahnya. Tak dapat pula melawannya dan Tak dapat juga kuenyahkan semuanya itu.
Seolah kenangan yang telah kusimpan itu menghujamku lebih sadis paling sadis melebihi dari sayatan pedang, pukulan golem, bahkan senapan ataupun meriam sekalipun.

Suhu saat itu benar benar ingin membunuhku, dingin yang tak terhingga serasa merobek hati ini. Tubuhku kaku seolah membeku bagai bongkahan es yang sulit di pecahkan, tak sadarkan diri, lalu mati dalam pelukan kenangan yang selalu menghantui.
Teramat mengerikan sekali jika kenyataanya harus mati dalam kenangan yang mencekam sukma.

Tiada angin tiada hujan. Tiba-tiba datang tanpa diundang setitik cahaya membuat rasa penasaran hati ini muncul kembali. Setiap hitungan detik, setiap hitungan menit cahaya itu kian membesar dan semakin membesar, sebesar harapan yang belum pernah tersampaikan. Membentuk sebuah raga manusia biasa.

Rasa ini semakin membingungkan, bertanya tanya kepada diriku sendiri karena tak ada orang lain di sana, kecuali aku? Hanya aku? Benar-benar aku sendiri? Apakah cahaya itu sebenarnya?
Cahaya itu mendekatiku, perlahan mendekat, begitu dekat, dan semakin mendekat. Berbisik dengan lembutnya tepat di telinga kananku. “Bangun. Bangunlah, Nak. Tak perlu kau berhenti terperangkap mati dalam kenangan ini. Bangun. Cepatlah bangun, ada seseorang yang mencintaimu tulus dan menunggumu di realitas yang nyata. Aku akan benar benar membantumu keluar dari dimensi ini.”

Bisikan suara itu perlahan-lahan mulai samar dan tak jelas sama sekali, beriringan dengan cahaya itu yang kian memudarkan sinarnya lalu menghilang dengan sangat cepat, secepat kedipan mata yang tak bisa dibayangkan oleh akal sehat. Entah kemana. Aku tidak tau tapi aku sangat menginginkan cahaya itu kembali dengan sejuta kenangan yang pernah ada waktu itu.
Sekalipun rasa penasaran itu muncul kembali terhadap cahaya dan bisikannya. Aku kembali merenung dan termenung dalam kematianku aku pun masih bertanya-tanya perihal cahaya itu. Apakah cahaya itu? Apakah malaikat? Apakah bidadari yang akan menyelamatkanku dari jurang kenangan? Ataukah kematian? Entahlah apapun yang terjadi.

Tiba-tiba aku tersadar dan terbangun kembali, keluar dari dimensi yang mengerikan waktu itu. Kali ini aku keluar dengan jiwa yang tenang. Perasaan yang lebih lega dari biasanya. Tubuh yang lebih ringan dari biasanya. Tak lagi sedang terikat dengan kenangan yang merisaukan . Seolah-olah aku sudah terbebas. Benar-benar bebas dan aku hidup kembali layaknya bayi yang baru lahir dari rahim ibunda.

 

Ilustrator: Afifah Azzahra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Previous post Eksistensi HAM dalam Kacamata Dunia
Next post Memories: Aurora dalam Kegelapan