Humor Polisi: Mulai dari Kucing hingga Kekerasan Seksual
Di akhir Januari lalu, viral sebuah unggahan dari pemilik akun instagram dengan username @soniarizkikarai yang menceritakan peristiwa pemenggalan kucing peliharaannya. Peristiwa ini berawal dari pencarian Tayo (kucing peliharaannya) yang telah menghilang selama dua hari. Warga sekitar mengatakan kepadanya bahwa kucing yang ia cari terlihat dimasukkan ke dalam sebuah karung goni oleh seorang pria. Usut punya usut, Sonia menemukan fakta bahwa orang tersebut memang sering mengambil kucing untuk dibunuh lalu dijual dagingnya seharga Rp70.000 per kilogram. Sonia pun memberanikan diri untuk mendatangi rumah tersangka. Ia menemukan sebuah karung yang awalnya disangkal dengan alasan karung itu berisi anjing, tetapi pendamping Sonia, Ibu Wulan menemukan banyak kepala kucing setelah mendapatkan izin untuk membuka karung tersebut. Fakta yang sangat mengejutkan, terdapat banyak jenis kucing di dalam karung tersebut. Bahkan, kucing yang sedang hamil pun turut menjadi incaran si tersangka. Hal yang paling menyedihkan dan mengiris hati saya adalah Sonia menemukan Tayo. Betul sekali. Kepala Tayo.
Sonia mengaku telah mengusahakan pelaporan kasus ini dengan mendatangi polsek. Namun, usaha ini tidak membuahkan hasil, tanpa kejelasan, dan bahkan ditertawakan. Padahal, orang awam pun tahu bahwa tidak sepatutnya hal ini ditertawakan, Bukan? Pasal penganiayaan terhadap hewan masih terpampang jelas di dalam undang-undang. Salah satunya dalam Pasal 302 KUHP tentang perlindungan hewan. Banyak sekali pasal yang dapat mendasari pelaporan dan tuntutan korban sehingga menurut hati nurani saya yang paling dalam, ini bukanlah bahan tawa mereka. Saya pun berpikir, apa saya saja yang berlebihan? Namun, dengan hati nurani seorang manusia meskipun pandangan hidup saya tidak terlalu hebat, tetapi saya manusia yang berprinsip dan bernurani. Masa hal seperti ini masih harus dikritik sih, Aparat?
Pengalaman yang berkesan lainnya juga dialami oleh banyak orang terdekat saya beberapa tahun lalu. Peristiwa yang dialami memang beda dari peristiwa sebelumnya. Teman saya mengalami pelecehan seksual. Pelecehan yang terjadi merupakan pelecehan fisik yang ia alami di sebuah transportasi umum. Dengan rasa trauma yang masih terlihat dari gemetarnya tangan teman saya, ia mendatangi kantor polisi setempat untuk melaporkan pelaku yang sudah tertangkap.
Menurut anda, apa yang pertama kali terucap oleh polisi tersebut? Keadaan korban? Kronologi kejadian? atau Tempat kejadian? Faktanya tidak satupun perkataan yang saya sebutkan tadi terucap olehnya.
“Cuma dipegang doang, Mba. Berbekas juga enggak, ini banyak juga yang numpuk”, ucapnya sambil menunjuk tumpukan kertas di sampingnya.
Saya mengikuti berbagai seminar dan bahan diskusi mengenai masalah pelecehan seksual ini. Banyak yang di antaranya malah disalahkan atas kejadian yang pastinya korban tidak ingin hal itu terjadi kepadanya. Korban kasus apa pun memang selayaknya mendapatkan pelayanan dan ketenangan kepada pihak yang memiliki kewajiban untuk menjamin itu. Korban memberanikan diri, mendatangi pihak yang ia kira dapat menolongnya, tetapi hasilnya nihil. Dalam peristiwa yang saya sebutkan tadi, tidak ada salahnya pihak kepolisian terlebih dahulu memberikan ketenangan seperti menanyakan keadaannya atau menghargai keberaniannya. Ini bukan sekadar ‘dipegang’, ya, Aparat. Peristiwa ini dapat menyebabkan trauma, PTSD, gangguan kecemasan, dan masalah lain yang entah sampai kapan berlangsung. Mungkin ini alasan sekitar 65% kasus pelecehan seksual tidak dilaporkan ke polisi. Laporan tersebut tidak membuahkan ketenangan, rasa aman, dan perlindungan bagi korban. Hal ini menyebabkan banyak korban yang sulit untuk mendapatkan pertolongan yang dibutuhkan. Dan, ya. Kasus semakin meningkat tanpa ada jalan keluar dan keinginan introspeksi dari semua pihak.
Kembali lagi dengan kelanjutan peristiwa teman saya tersebut. Pelaku dan saksi sudah hadir dalam ruangan itu. Namun, dengan pandangan aparat yang terlihat bahwa korban tidak terlalu penting, mereka menanyakan alat bukti. CCTV tidak aktif, kasus pun ditutup. Pelaku biadab itu entah bagaimana kelanjutannya, karena saya juga tidak dapat mengawasinya. Namun, yang saya tahu, teman saya masih terpuruk menghadapi trauma itu sendirian.
Saya tahu bahwa Indonesia belum punya tonggak hukum yang berorientasi melindungi korban atau penyintas kekerasan seksual. Bahkan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal istilah pelecehan seksual, tetapi perbuatan cabul. Perkosaan juga dimaknai sebatas penetrasi penis ke vagina. Namun, hal ini bukan alasan bagi para aparat di Indonesia bagian mana pun untuk menganggap rendah peristiwa yang dilaporkan ini. Sangat penting untuk mempercayai dan mendukung korban kekerasan seksual yang menceritakan kisahnya. Semua orang harus memahami dampak yang ia alami, dan berusaha memenuhi fasilitasi kebutuhan-kebutuhannya. Salah satu kebutuhan yang paling penting adalah keamanannya. Apalagi jika korban telah mempercayai aparat sebagai tempat ia bercerita. Apakah hati nurani tidak dapat terbuka?
Kasus-kasus ini merupakan salah satu dari beribu bahkan berjuta kasus yang membuktikan tingginya selera humor bapak-bapak bercelana coklat ini. Satu hal yang membuat saya tersenyum manis sore ini adalah akun resmi mereka yang dengan keramahtamahannya mendorong kami untuk melaporkan berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat. Bagaimana ingin melaporkan, bencana yang dirasakan korban saja masih dianggap sebagai bahan candaan. Keadaan psikologis korban tidak dipikirkan; rasa kekecewaan, ketakutan, dan kesedihan korban tidak dihiraukan; canda tawa mereka semakin dinyaringkan.
Di tahun ini, Indonesia sudah genap 76 tahun berdiri. Masalah seperti ini yang menyangkut hajat orang banyak sayangnya masih mengecewakan. Tugas utama sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat apakah dianggap sebagai jargon saja? Apakah gelar hanya sebagai pelengkap nama saja? Apakah menunggu kasus terkenal terlebih dahulu agar pelayanan dapat memberi keuntungan? Kalau seperti ini caranya, sepertinya menjadi selebgram juga bisa, Aparat yang terhormat.
Oh, saya lupa menekankan bahwa ini bukan bentuk generalisasi, tetapi hanyalah keprihatinan orang awam terhadap kurangnya sikap bijaksana dan sikap profesional beberapa aparat kepolisian. Sangat memprihatinkan jika pelatihan bertahun-tahun hanya menghasilkan bentuk manusia seperti mereka.
Jika masalahnya adalah mereka menanggung banyak beban, saya sebagai orang awam juga memiliki banyak beban, kok. Meskipun beban saya sekadar mengukur air untuk memasak nasi sampai garis pertama telunjuk. Namun, tetap saja semua orang pasti memiliki beban. Hal yang membedakan kualitas semua orang ini adalah bagaimana mereka menyikapi beban tersebut, ‘kan? Setiap langkah pasti sudah kita pikirkan konsekuensi dan akibatnya. Jika banyak permasalahan yang akan dihadapi di kepolisian, bukankah memang konsekuesi bahkan tugas utamanya? Sepertinya bukan hanya saya yang tahu akan hal tersebut.
Saya sebagai orang sangat awam hanya berharap para aparat yang menanggung tanggung jawab yang sangat besar ini cepat bertaubat. Semua orang tidak akan tahu peristiwa yang akan dialami kedepannya. Saya bukannya mendoakan keburukan. Memang itu faktanya. Tidak ada salahnya berbuat baik. Tidak ada salahnya menambah sedikit bumbu bernama empati ke dalam kehidupan. Tugas kita memang untuk saling menjaga satu sama lain, ‘kan?
Saya tidak lupa dengan para aparat yang sudah berbuat baik, yang menghargai segala peristiwa yang telah terjadi kepada para korban, yang telah memberikan rasa aman kepada para korban, yang telah memperjuangkan tenaga dan waktunya untuk para korban. Terima kasih dan semoga sehat selalu. Tidak lupa; untuk yang belum mengimplementasikan arti dari pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat; silakan pintu taubat ada di sebelah sana. Jangan bekerja hanya untuk menebus pengorbanan sawah saja. Salam!
Kirim tulisan kamu ke Kreativa, syarat dan ketentuan ada di sini