Advertisement Section

Intoleransi: Penyebab Toleransi Terdegradasi

Kata toleransi mungkin tidak asing dan sering kita dengar, bahkan mungkin pernah kita ucapkan. Akan tetapi apakah kita paham makna toleransi itu sejatinya apa? Ataukah kita hanya sekedar mengerti rangkaian hurufnya tetapi tidak dengan maknanya?

Toleransi secara bahasa berasal dari bahasa Latin “tolerare”, yang berarti sabar dan menahan diri. Kemudian toleransisecara etimologi adalah sikap saling mengizinkan dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Dan secara terminologi adalah suatu sikap atau sifat dari seseorang untuk membiarkan kebebasan kepada orang lain sertamemberikan kebenaran atas perbedaan tersebut sebagai pengakuan hak-hak asasi manusia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diketahui makna toleransi adalah bersifat toleran. Lebih jauh dijelaskan, sifat toleran merupakan sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Sedangkan intoleransi adalah sebuah paham atau pandangan yang mengabaikan seluruh nilai-nilai dalam toleransi yaitu perasaan empati kepada orang atau kelompok lain yang berasal dari kelompok, golongan, atau latar belakang yang berbeda dan menjadi kebalikan dari toleransi.

Sebagian dari kita pasti beranggapan toleransi merupakan hal yang sederhana karena intinya adalah kita bisa menenggang pendirian orang lain meskipun berbeda dengan pendirian kita. Namun sebentar, riset dari Maykel Verkuyten dan Kumar Yogeeswaran pada tahun 2017 menjelaskan bahwa toleransi bukan hal yang sesederhana itu, melainkan toleransi merupakan suatu hal yang cukup kompleks. Tiga komponen yang dijelaskan Maykel dan Kumar terkait hasil risetnya tentang toleransi adalah objection, acceptance, dan rejection.

Objection yang dimaksud merupakan sikap seseorang dalam memaknai toleransi. Sedangkan untuk acceptance (penerimaan) berkaitan dengan reaksi seseorang mempertimbangkan adanya suatu kelompok tertentu. Terakhir tentang rejection, berkaitan erat dengan perilaku seseorang yang ditunjukkan untuk menunjukkan penolakan.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kemerdekaan Indonesia 76 tahun lalu didapat dengan menjunjung tinggi toleransi masyarakatnya, akan tetapi akhirakhir ini inti penting suatu keutuhan negara tersebut seakan terluka karena toleransi seperti sudah terdegradasi. Bukan tanpa sebab, kerap kali kita disuguhkan dengan kasus intoleransi yang sepertinya tidak pernah usai. Contohnya yang baru-baru ini menjadi topik di media massa indonesia yaitu peristiwa ledakan bom di depan Gereja Katedral Makassar, Minggu (28/3/2021) walaupun fokusnya terhadap teorisme dan radikalisme akan tetapi hal tersebut tidak luput juga membawa kaidah dari toleransi beragama.

Jangankan hanya sebuah kota di dalam sebuah provinsi, negara Indonesia yang dengan gagah menyematkan moto “Bhineka Tunggal Ika” dengan harapan walaupun berbeda tetap satu jua saja masih sangat rentan terjadi krisis toleransi.  Kasus intoleransi yang marak terjadi di Indonesia rasanya menambah daftar panjang terdegradasinya sikap toleransi di negeri ini. Percuma saja sang Garuda menjepit pita “Bhineka Tunggal Ika” jika hal tersebut dibiarkan.

Seharusnya Indonesia adalah rumah dengan ragam kesatuan yang diharapkan bisa selaras serta harmoni. Keragaman ras, suku bangsa, budaya, adat istiadat, dan polemik politik menjadi bumbu yang pas apabila disajikan dengan porsi yang tepat. Namun sayangnya, saat ini ibu pertiwi seperti sedang merintih, menahan perih akibat ulah anaknya yang tidak pikir panjang dan semaunya sendiri. Saat ini toleransi di Indonesia rasanya sedang dinodai, sehingga terdegradasi secara perlahan namun pasti.

Perlu kita cermati bersama bahwa munculnya intoleransi di Indonesia adalah bentuk nyata dari dominasi oknum pelaku terhadap ruang publik. Oknum pelaku yang acap kali bertindak dengan tidak lagi diam-diam seharusnya membuat kita sadar bahwa intoleransi dekat dengan kita dan tanpa disadari terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian ada lagi yang disayangkan, bahwa intoleransi seperti direstui. Dengan kita membiarkan mereka berkembang biak setiap hari mengambil oksigen toleransi dengan gagah berani. Menyeruak masuk tanpa permisi, menyalakan ambisi, menunjukkan diri bahwa merekalah aktornya.

Baca Juga: Emansipasi dan Standar Perempuan di Masyarakat

Apabila terjadi kasus kriminalitas, serempak publik menyimpulkan adanya motif dendam, cemburu, dan spontanitas kejadian. Namun anehnya, netizen yang maha benar akan sepakat bahwa terjadi intoleransi apabila kebebasan beragama diusik dan simbol-simbol dirusak. Padahal apa bedanya kedua kasus tersebut? Fakta menunjukkan, apabila kriminalisasi terjadi aparat akan secepat kilat mencari motif, menemukan bukti, dan tergesa-gesa menampilkan ke publik. Hal ini berkebalikan saat negara ini terjadi pembubaran diskusi, pelarangan pendirian tempat ibadah dan aktivitasnya. Mengapa demikian? Dari sinilah kita mengetahui karakter masyarakat Indonesia yang impulsif, enggan berfikir, dan menggemari spontanitas yang tak berlandas.

Tanpa mengesampingkan polemik agama dan politik yang merupakan topik segar untuk dibahas, sejarah ibu pertiwi sudah kenyang dengan adu domba juga monopoli politik yang menempuh jalan dari segala arah. Banyak referensi bacaan yang harusnya dibaca, namun sepertinya kita terlalu suka membaca referensi milik negara lain sehingga kita kenyang akan pengetahuan dari negara lain akan tetapi lapar dengan pemahaman di negara sendiri. Menilai benar dan salah suatu tindakan berdasarkan pemahaman setiap insan dan kelompok tertentu, lupa bahwa yang menilai benar dan salah adalah tugas Tuhan.

Singkatnya kita selalu membahas tokoh utama dalam intoleransi adalah agama, tapi kita tidak pernah sadar kriminalitas juga mempunyai peran penting dalam kasus tersebut. Dan pada akhirnya entah itu permasalahan agama maupun kriminalitas selalu akan menghasilkan dampak buruk bagi toleransi di Indonesia.

Kemudian apakah ada hal yang bisa menguatkan toleransi di Indonesia tidak
terdegradasi?

Jony Eko Yulianto, seorang psikolog sosial yang pergerakannya fokus pada masalah intoleransi menawarkan dua ide untuk mewujudkannya. Dengan melakukan kegiatan lintas kelompok lebih luas, baik lintas agama, lintas ras, lintas partai politik, maupun lintas lainnya. Dimaksudkan untuk menciptakan kategori sosial yang baru.Sedangkan upaya kedua yaitu dengan menggandeng serta media. Media memiliki peran penting dalam memunculkan kisah keharmonisan antar suku yang erat, tentang agama yang taat, dan tentang politik yang dinamis. Sehingga kita tidak lagi disuguhkan dengan perpecahan antar bangsa sendiri setiap hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Emansipasi dan Standar Perempuan di Masyarakat
Next post Resmi Tamat, Attack on Titan Sudah Berakhir Sesuai Semestinya