Kisah Perempuan Filsuf Yang Melihat Kedangkalan Kejahatan
Hannah Arendt merupakan sebuah film drama biografi tentang seorang perempuan filsuf yang mungkin paling banyak dikutip pada abad ke-20. Film produksi A Heimat Production ini bercerita tentang Hannah Arendt setelah bermigrasi ke New York, Amerika, dan drama di sekitar liputannya yang kontroversial dalam pengadilan seorang anggota Nazi.
New York dan seluruh dunia digegerkan dengan penangkapan tersangka kasus kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh seorang pria Jerman bernama Adolf Eichmann. Berita di media massa menyebutkan bahwa Eichmann melarikan diri dari Jerman ke Amerika Selatan dengan paspor Palang Merah yang didapatkan dengan bantuan Vatikan.
Pelarian ini terus berlanjut hingga ia mendapatkan identitas dan paspor palsu di Jenewa, Swiss, untuk selanjutnya berlayar menggunakan kapal Italia menuju Buenos Aires, Argentina. Akhirnya, ia tertangkap oleh Mossad, dinas rahasia Israel, dan harus menjalani persidangan yang digelar di Jerusalem, Israel. Eichmann dipandang sebagai pembunuh keji yang menghabisi enam juta jiwa Yahudi di berbagai negara di Eropa.
Holocaust dinilai sebagai kejahatan genosida yang amat berat, sehingga Arendt tertarik untuk menghadiri proses persidangan dan menawarkan untuk memberikan hasil liputannya kepada The New Yorker, majalah yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat pada masa itu. Sang suami, Heinrich Blücher, sempat ragu akan keberangkatan istrinya ke Jerusalem. Namun, Arendt tetap meninggalkan New York.
Tiba di Jerusalem, Arendt bertemu dengan sahabat kecilnya, Kurt Blumenfeld, yang sejak lama mengidap penyakit jantung. Kurt adalah salah seorang tokoh Zionis yang bercita-cita mengembalikan bangsa Yahudi ke Tanah Yang Dijanjikan, dan berperan dalam pendirian negara Israel. Setelah sedikit bernostalgia, mereka membicarakan masalah persidangan Eichmann.
Persidangan yang menegangkan dihadiri oleh banyak pihak terkait. Eichmann menduduki kursi terdakwa yang diselubungi kaca karena dianggap membahayakan. Dalam dialog persidangan, ia menjelaskan bahwa ia hanya menerima perintah untuk kemudian ditindaklanjuti. Di sinilah Arendt merasa ada sesuatu yang ganjil.
Dari keterangannya, Eichmann diketahui hanya mengurusi transportasi yang diperintahkan oleh pemimpin Jerman dan mengikuti aturan yang memaksa tersebut. Hanya sebagian kecil yang Eichmann urusi saat kejadian. Sisanya diambil alih oleh departemen lain. Ia merasa sangat kesal karena tuntutan-tuntutan yang ditujukan atasnya itu tidak dapat dibuktikan dan menyebutkan bahwa dirinya tidak memusnahkan kaum Yahudi.
Pengakuan tersebut membuka mata Arendt mengenai sosok Eichmann yang sebenarnya. Ia mengambil kesimpulan bahwa Eichmann adalah seorang birokrat biasa yang netral terhadap Yahudi. Namun, pernyataan Arendt ditentang. Hampir semua orang di sekitarnya menganggap Arendt keterlaluan karena telah membela seseorang pembunuh kejam.
Setelah kembali ke New York, Arendt disibukkan dengan arsip-arsip penting mengenai pengadilan Eichmann untuk tulisan bersejarah yang kemudian akan dimuat The New Yorker. Namun, sang suami mengidap penyakit serius, sehingga Arendt harus menunda penulisan. Setelah sang suami sembuh, Arendt segera menulis.
Karena waktu yang tersisa segera menipis, pihak The New Yorker meminta Arendt untuk memecah tulisannya menjadi beberapa artikel. Sebelumnya telah terjadi perdebatan pihak New York Times atas tulisan Arendt tersebut. Mereka khawatir banyak pihak yang akan mengecam perusahaan akibat penerbitan tulisan Arendt yang dinilai membela pembunuh kejam, Eichmann. Namun, kepala penerbitan memutuskan untuk tetap menerbitkannya.
Artikel mengenai pengadilan Eichmann di Jerusalem mulai terbit. Hampir semua orang merasa keberatan dengan pemikiran Arendt yang tertuang di dalamnya. Tidak sedikit yang melontarkan kecaman dan tanggapan buruk pada sang penulis.
Akibat pemikirannya yang kontras dengan berbagai pihak, Arendt dinilai salah oleh teman-teman terdekatnya juga―kecuali suami dan sekretarisnya, Charlotte. Ia didatangi salah satu anggota Zionis Berlin, Siegfried, dan diminta untuk berhenti meluncurkan buku mengenai Adolf Eichmann, disertai ancaman keras. Arendt bersikukuh, tapi tetap bersedia ke Israel setelah diberi tahu bahwa Kurt sakit parah.
Namun, Kurt pun menilai Arendt salah menulis dan diminta untuk tidak usah menulis. Bahkan, para profesor di kampus tempatnya mengajar juga mengecam, dan memutuskan bahwa Arendt tidak boleh mengajar lagi. Arendt, sebagaimana biasa, bersikukuh untuk tetap mengajar.
Dalam sebuah forum publik, ia menjelaskan inti dari pengadilan Eichmann. Ia memaparkan penafsirannya tentang isu kejahatan genosida yang selama ini menjadi topik paling sensitif di Eropa dan menjadi dasar tulisannya di The New Yorker yang kontroversial. Termasuk, kesalahan para pemimpin Yahudi yang bekerja sama, secara tidak langsung maupun langsung, dalam pemusnahan kaum Yahudi di Jerman.
Yang lebih menohok, Arendt menyatakan bahwa di satu sisi, Eichmann adalah manusia normal pada masa yang keras itu, yaitu saat kekuasaan negara bersifat total. Kesalahan manusia normal seperti Eichmann hanya satu: menolak berpikir. Karena tidak mau berpikir, maka manusia tidak bisa membedakan kebaikan dan kejahatan. Sehingga, kejahatan yang dilakukannya pun terlihat sangat dangkal dan dapat dipahami.
Pemaparannya masuk akal, tetapi ia tetap dianggap menghina orang Yahudi. Hans, kawan lamanya sejak masih berguru pada filsuf Martin Heidegger, menganggap bahwa Arendt sudah sangat keterlaluan sehingga ia tak mau lagi menjalin pertemanan dengan Arendt.
Film yang disutradarai Margarethe von Trotta ini berhasil menggambarkan peristiwa nyata yang semakin intensif dengan sinematografi yang mumpuni. Gambaran tentang ruang dan lingkungan masyarakat di negara-negara terkait yang dikisahkan dalam film ini terlihat detail. Tak heran jika Deutscher Filmpreis memberikan apresiasi penuh dan menjadikannya sebagai film Jerman terbaik pada 2013.***