
Lampu kuning

Lampu kuning temaram di ruang tengah menyala pukul lima subuh. Aku tahu, itu pasti Abang yang baru pulang setelah semalaman tadi pergi melaut dengan Pak Sukir. Air mukanya tampak lelah, tanpa mengucapkan sepatah kata, aku yakin dia pasti merindukan kasur tipis di kamarnya secepat mungkin.
“Abang sudah pulang dari tadi?” tanyaku sambil mengikutinya ke dapur untuk memasak sarapan kami berempat nanti.
Kepalanya menggeleng, “Baru saja.”
Ia ulurkan uang berwarna biru dan hijau ke hadapanku. “Kasih 50 ribu ini ke Arum, dia bilang mau pergi ke museum dan kolam renang pekan depan. Sisanya boleh untuk Lira dan Nuha”
Aku tahu cerita ini, Arum mengatakan hal yang sama tentang rencananya mengikuti tur angkatan di sekolahnya. Aku mengangguk untuk menerima uang dari Abang sambil mengucapkan terima kasih. Di dalam hati, aku bisikkan doa agar hidupnya penuh bahagia dan sehat.
“Abang istirahat sebentar. Kamu nanti berangkat sekolahnya hati-hati ya.” Abang lalu melangkah ke bilik kamarnya. Kulihat punggung Abang basah karena keringat di kaos hijau lumut yang dipakainya. Mungkin juga basah karena terpercik air amis setelah menjual tangkapan ikan lepas melaut tadi.
Abang adalah laki-laki paling bertanggung jawab yang aku dan adik-adik pernah temui. Ia terkesan pendiam dan canggung, tapi siapa yang tahu jika itu terjadi sebab ia terlalu tertuju pada kami. Kisah hidup Abang berbeda dengan kebanyakan anak laki-laki seumuranya, dia tidak ada waktu untuk bermain ke warnet atau sekedar berkumpul bersama teman-temannya. Hidup Abang dia habiskan untuk bekerja siang dan malam agar aku, Arum, dan Nuha bisa terus makan dan melanjutkan sekolah.
Dulu, aku masih ingat ketika Abang harus pergi ke toko Koh Bing setelah pulang sekolah agar bisa mendapat upah. Sekarang, ia harus terjaga di malam hari untuk pergi melaut dan menjual tangkapan ikan sebelum fajar merekah. Siang menuju sore ia akan bekerja di dermaga sebagai kuli angkut barang kiriman kapal-kapal besar.
Jika nelayan seperti Pak Sukir ataupun yang lainnya tidak pergi berlayar, maka Abang tidak akan pergi juga sebab tidak ada ajakan kerja. Gantinya, ia akan pergi menjala ikan-ikan kecil dengan sampan tua dan dayung kayuh peninggalan Abah. Demi tiga adik perempuannya, ia lakukan itu semua.
Baca lainnya: Sebuah Ensiklopedia Hidup di Tengah Kota Metropolis
Abang tidak pernah betul-betul hidup untuk dirinya sendiri.
Abang yang tiba-tiba bisa menimang Nuha sambil meniru suara burung pengantar tidur. Abang yang mengerjakan tugas prakarya Arum. Abang yang pergi ke sekolahku untuk menjadi wali ketika penerimaan rapot. Seiring waktu Abang menjelma menjadi sosok Ayah yang pelindung dan pekerja keras. Abang juga menghadirkan kembali sosok Ibu lewat gurat senyum yang serupa.
Kulihat kembali uang pemberiannya yang kini tergenggam di tangan kananku. Aku tebak Abang merelakan waktu istirahatnya demi bisa menyisihkan sejumlah uang yang nominalnya cukup besar untuk kami. Mungkin juga, ia mencoret dayung kayuh berbahan kayu jati dari daftar keinginan yang ingin dibelinya bulan ini. Aku pernah melihat iklan barang itu di potongan koran yang ia tempel di dekat nakas tempat tidurnya.
Malam harinya, aku dan adik-adik sedang belajar di ruang tengah ketika Abang pamit untuk mencari ikan dengan sampan kayunya. Malam ini, entah kenapa angin berhembus lebih kencang dari biasanya. Namun, yang kami lakukan adalah mengangguk dan berkata agar Abang terus berhati-hati.
Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam ketika aku terbangun sebab suara angin terdengar. Sebetulnya, aku tidak benar-benar terlelap sejak tadi sebab ada perasaan mengganjal di benakku. Aku hanya terus menyangkalnya dengan mencoba memikirkan hal lain.
Derit ranting pohon ketapang yang tertanam di belakang rumah kami terdengar nyaring karena sapuan angin. Cukup kencang tiupan angin itu hingga sekian detik setelahnya aku dibuat terlonjak karena suara ranting jatuh dan mengenai asbes rumah bagian belakang.
Arum dan Nuha sama-sama terbangun dan melempar tatap penuh takut. Aku bawa tubuhku untuk melihat asal suara berdebum tadi. Dahan pohon setebal toples gula masuk melewati atap samping kamar mandi hingga hawa dingin dari angin terasa menusuk di dalam sini. Hal ini jelas adalah suatu masalah. Namun otakku memikirkan kemungkinan masalah yang lebih besar. Apakah Abang baik-baik saja?
Aku raih ember di dekatku untuk menadah air ketika hujan mulai turun. Selanjutnya yang bisa Aku lakukan adalah menenangkan Arum dan Nuha seraya mengajak mereka berdoa agar Tuhan menjaga Abang dari angin dan hujan malam ini. Namun badai datang sesudah itu. Hujan lebat dan angin kencang semakin membuat kami secara liar menduga-duga kondisi Abang saat ini.
“Lira, bangun! Abangmu tergulung ombak!” Seru seseorang di luar sambil mengetuk pintu. Jantungku berhenti sedetik kemudian. Aku berusaha untuk berlari menghampiri suara tersebut dengan langkah kaki yang gemetar.
“Aku sudah coba tarik dia ke perahu kami, tapi ombak lebih cepat datang. Habis itu dia tidak terlihat lagi.”
Aku dan adik-adik tidak bercanda ketika kami berdoa untuk keselamatan Abang. Tapi yang baru masuk ke telingaku sekarang terdengar seperti lelucon bodoh. Sungguh, aku mencoba untuk tidak memercayainya namun banyaknya orang yang mendatangi rumah kami seperti menguatkan kebenaran dari berita buruk tadi. Sekarang, kami hanya bisa berjalan mondar-mandir sambil merapal doa agar Abang bisa pulang dengan selamat. Kecil harapannya jika melihat dari besarnya badai yang datang malam ini. Tapi mana tahu Tuhan mau mengabulkan permohonan kami.
Baca lainnya: Gelora Muda dan Merangkai Cerita Sebagai Langkah Pertama PKKMB FBSB 2025
Kami hampir tidak punya asa lagi saat menyadari fajar hampir tiba. Setelah sudah lebih dari lima jam dari badai datang, kini sapuan anginnya tidak terlalu besar. Sekali lagi kulangitkan doa agar keajaiban datang dan membawa Abang kembali ke sini dengan nyawa yang utuh. Mungkin Tuhan tahu seberapa dalam kepalaku tertunduk sambil menangis saat memohon keselamatan Abang sebab setelahnya derit langkah dan ketukan kayu terdengar dari halaman rumah. Pintu terbuka dan tampaklah wajah yang membayangi kepala kami semua sejak larut malam tadi.
Abang berdiri di sana, di ambang pintu. Rambutnya basah, lengan bajunya miring, buku jarinya tampak biru. Di tangannya terdapat dayung tua yang masih terus dipakainya menyusuri lautan lepas.
“Abang pulang.” Ia berkata sambil tersenyum lemah dan manatap dengan sorot mata sayunya.
Aku, Arum, dan Nuha berlari untuk memeluk Abang seerat mungkin. Giginya bergemeletuk dan dingin tubuhnya terasa menyetrum. Tentang bagaimana Abang bisa selamat akan kutanyakan nanti. Saat ini, hanya syukur yang bisa kulirihkan setelah melihatnya kembali pada kami.
Satu yang aku tahu pasti, Abang adalah jiwa paling hebat di muka bumi ini. Terlalu hebat hingga ia taklukkan gelombang laut dengan dayung kayu rapuh yang tak ubahnya seperti dari besi di tangannya.
Satu hal lain yang aku tahu juga, aku tidak bisa meminta lebih dari keberadaan saudara-saudariku.
Penulis: Heppi Rachma
Editor: Nabila Rizqi Laila Azzahr