Mendung yang Tak Kunjung Usai

Mendung melindungi tubuh nada dari teriknya siang itu. Telapak kaki Nada mengetuk-ngetuk permukaan tanah. Sekarang, ia sedang berada di lapangan olahraga sekolahnya. Menatap salah satu dari beberapa pemain yang sedang berlatih sepak bola.

Manik matanya begitu fokus pada satu objek. Dia … Dana, teman atau lebih tepatnya seorang pria yang pernah memiliki sahabat terdekat Nada. Iya, sahabat.

“Visi misi lo kesini apa, sih?” Eliona menyeka keringatnya. Sebagai sahabat Nada selama beberapa bulan–bahkan hampir setahun ini– ia tentu tidak ingin Nada melakukan hal bodoh.

“Lo tau, enggak perlu nanya lagi lah.” Mata Nada tak teralih dari objek yang ia perhatikan sejak tadi. Jika teralih pun hanya karena ia berkedip.

“Nyokap minta gue nemeni dia belanja bulanan. Gue tinggal sendiri gapapa?” Eliona mengelus lembut pundak Nada yang dibalut sweater merah hati.

“Gapapa” Nada tersenyum, senyum pilu yang sudah hampir setahun ini dibelikan.

“Yakin? Atau lo mau ikut gue aja?” Eliona tak bisa memungkiri bahwa ia sedikit khawatir pada Nada.

“Enggak papa, El. Gue sendiri aja.” Nada tersenyum lebih wajar kali ini, bola mata sempat teralih untuk beberapa saat dari wajah Dana ke wajah bulat milik Eliona.

“Kalo gitu, gue pergi dulu, Nad. Kalo ada apa-apa langsung kabari,” ucap Eliona sambil berlari kecil.

Tinggalah Nada sendiri disana. Ia masih mengenakan baju seragam khas Sekolah Menengah Atas yang dibalut dengan tangan kanan dan tangan yang menggenggam sebotol air mineral. Ah ia tak sendiri, masih ada tas ransel merah jambu yang setia memeluk punggung mungilnya.

Hingga datanglah seorang gadis yang juga satu sekolah dengannya. Tapi, gadis itu sudah mengganti baju sekolahnya dengan rok kembang selutut dan kaos oblong merah jambu.

Dia Melani.

Mereka berdua duduk. Tak saling tegur bahkan enggan untuk saling melempar senyum. Sejujurnya sampai sekarang Nada masih merasa iri dengannya.

Beberapa menit kemudian, sesi latihan sepak bola untuk hari ini selesai. Dana lari ke pinggir lapangan menghampiri gadisnya.

BACA JUGA: Pengarang Jaim dan Pengarang Pemberani

“Hai, lama nunggu?” Dana menyapa dengan senyum khasnya.

“Belum kok, baru aja.”

Gadis itu memberi sebotol air mineral untuk Dana.

“Sayang, temani aku ke toko buku ya? Mau beli novel”

“Iya,” kata Dana sambil tersenyum dana mengacak singkatan kepala gadisnya itu.

Mereka pergi, berjalan santai melewati Nada yang sudah retak hati. Setiap tawa yang mereka ekspresikan layaknya seperti silet yang menyayat hati Nada.

Mereka pergi, dengan meninggalkan goresan luka perih bagi Nada.

Nada berdiri, ia melepaskan ganggamnya pada air mineral yang tadi ia pegang. Entah jatuh kemana ia tak peduli. Gadis berkusir kuda itu melenggang pergi, setiap rabu sorenya selalu seperti ini memang.

Ia tau ini salahnya, datang kemari tanpa diundang siapapun dengan harapan Dananya kembali.

Jika boleh mengulang waktu, ia menyesal pernah mengatakan hal itu pada Dana. Hingga akhirnya Dana pergi tanpa pernah kembali lagi. meninggalkan kesan mendung dalam hati.

“Aku cinta kamu, Dana” Nada pelan sangat.

Tapi lihat, kalimat yang membuat Dana menjauh darinya masih saja ia sebut, masih saja ia agung-agungkan.

Nada menjauh dari pinggir jalan ditemani gerimis yang entah kapan datang. Astaga langit seolah sehati dengannya.

Langit menangis, nada pun juga sama.

Langitpun ikut terluka dengan, mendung keabuanya disusul hujan.

Satu yang aku ingin. Nada hanya ingin mendung di setiap hari rabunya usai.

Itu saja.

 

 

Ilustrator : https://pin.it/3trX59F9

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Love Story Of Gavan: Cinta dan Luka
Next post Athirah: Perjuangan Wanita Berhati Surga