Opini: Tren “Marriage is Scary” menjadi Kekhawatiran Anak Muda untuk Menikah
LPPM Kreativa – Akhir-akhir ini tren “Marriage is Scary” ramai diperbincangkan di media sosial. Sebuah pernikahan yang terikat janji suci justru menjadi kekhawatiran terbesar bagi anak muda, terutama para wanita. Kebanyakan yang mengikuti tren tersebut adalah wanita yang telah menjadi istri dan menyesal menikah dikarenakan mendapat perlakukan buruk dari pasangan ataupun lingkungan sekitarnya.
Pernikahan, yang dulu dianggap sebagai salah satu pencapaian hidup, kini semakin banyak dipandang dengan keraguan dan ketakutan oleh generasi muda. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, terutama mengingat kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang semakin marak dan terbuka ke publik, seperti yang baru saja dialami oleh mantan atlet anggar, Cut Intan Nabila.
Generasi muda Indonesia saat ini semakin terbuka dalam mengakses informasi melalui internet, sehingga mereka lebih mudah mendapatkan gambaran mengenai berbagai permasalahan yang dapat muncul dalam pernikahan: termasuk masalah keuangan, komitmen jangka panjang, hingga masalah KDRT.
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 68,29% anak muda Indonesia berstatus belum menikah dari total jumlah pemuda Tanah Air pada Maret 2023. Angka pernikahan dini di Indonesia juga mengalami penurunan yang bisa jadi merupakan indikasi bahwa semakin banyak anak muda yang menunda atau bahkan menghindari pernikahan.
Salah satu kasus yang menguatkan kekhawatiran ini adalah yang dialami oleh Cut Nabila. Mantan atlet anggar ini menjadi sorotan publik setelah mengungkapkan bahwa dirinya mengalami kekerasan fisik dari pasangannya. Kasus ini mengguncang masyarakat dan memicu diskusi lebih luas mengenai realitas KDRT di Indonesia, yang seringkali tersembunyi di balik dinding rumah tangga.
Kasus Cut Nabila membuka mata banyak orang, khususnya anak muda, bahwa pernikahan tidak selalu berakhir bahagia. Meskipun mungkin tidak semua pernikahan berujung pada KDRT, ketakutan akan kemungkinan ini menjadi faktor signifikan yang mempengaruhi keputusan mereka. Ini juga mencerminkan ketidakpercayaan yang semakin besar terhadap institusi pernikahan, terutama ketika kasus-kasus seperti ini terus muncul di media.
Baca Juga: Transformasi Diri di Bawah Tekanan Sosial: Menghadapi Quarter Life Crisis
Dalam masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai patriarki, banyak perempuan yang merasa terjebak dalam pernikahan yang penuh kekerasan, tanpa jalan keluar yang jelas. Hal ini menambah ketakutan bagi anak muda, terutama perempuan, dalam memutuskan untuk menikah.
Meskipun tren “Marriage is Scary” mencerminkan kekhawatiran yang valid, penting untuk melihatnya dalam konteks yang lebih luas. Pendidikan dan penyuluhan mengenai pernikahan yang sehat, serta penegakan hukum yang lebih kuat terhadap pelaku KDRT, dapat membantu mengurangi ketakutan ini.
Pernikahan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi juga tidak boleh diambil secara sembarangan. Penting bagi anak muda untuk memiliki pemahaman yang jelas tentang apa yang mereka harapkan dari pernikahan, dan bagaimana mereka dapat melindungi diri mereka sendiri dan pasangan mereka dari risiko-risiko yang ada.
Tren “Marriage is Scary” seharusnya menjadi pemicu untuk diskusi lebih lanjut mengenai bagaimana kita sebagai masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi pasangan yang memutuskan untuk menikah. Dengan demikian, pernikahan dapat kembali menjadi pilihan yang baik, bukan ditakuti.
Baca Juga: Harapan dan Hambatan: Suara Mahasiswa Kampus Mengajar Angkatan 7
Penulis: Alkalimatul Hidayah
Editor: Hana Yuki