Ormawa: Tempat Merenungkan Diri untuk Mahasiswa
Seorang ketua organisasi mahasiswa (ormawa), menuliskan kegelisahannya beberapa hari lalu. Ia menuliskan dilema ormawa, antara momong atau meningkatkan kualitas anggota dan ormawa itu sendiri.
Ia memberi contoh kasus dalam hal rapat event. Pun kita tahu, ormawa bukan sekadar event organizer, tapi proses dalam event dapat berdampak bagi keberlangsungan organisasi.
Menjadi ketua adalah hal berat, memang. Ketua ormawa adalah orang pilihan yang bertanggungjawab terhadap organisasi sekalian anggotanya. Ini menyita waktu, tenaga, dan pikiran yang tak sedikit.
Apalagi kalau organisasi yang dipimpinnya mengalami kelesuan, ketika anggotanya pada malas beraktivitas, dan hanya sedikit saja yang terlibat aktif dalam keberlangsungan ormawa. Kalau dipikir-pikir, kasihan juga, ya.
Setiap ormawa memang punya problem masing-masing. Tapi, sependek ingatanku, problem kemalasan anggota hampir selalu terjadi.
Mungkin ini gejala generasi sekarang—termasuk aku. Meski setiap orang berhak untuk malas, memang. Tapi bermalas-malasan bukanlah hal baik untuk dilakukan.
Ormawa bukan sekadar tempat untuk gagah-gagahan. UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, menjabarkan minimal empat fungsi dari ormawa.
Pertama, untuk mewadahi kegiatan mahasiswa dalam mengembangkan bakat, minat, dan potensi; Kedua, untuk mengembangkan kreativitas, kepekaan, daya kritis, keberanian, kepemimpinan, serta rasa kebangsaan; Ketiga, untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan mahasiswa; Keempat¸ mengembangkan tanggung jawab sosial melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
Di samping itu, ormawa memiliki banyak fungsi lain yang barangkali tidak kita sadari. Kalau ormawa tak berjalan dengan sehat, bagaimana ia bisa berfungsi dengan baik? Berjalannya ormawa sebenarnya bukan untuk ormawa itu sendiri.
Poin pentingnya adalah proses para anggota. Kita tahu, ormawa adalah subjek mati dengan anggota-anggota yang hidup di dalamnya. Ormawa ada sebagai wadah pengembangan diri anggotanya—dalam hal apa saja.
Heru Subekti, tetanggaku, pernah mengungkapkan pentingnya ormawa bagi mahasiswa. Ia menyarankanku untuk ikut organisasi ketika awal-awal aku masuk kuliah.
“Kalau kau tak ikut begituan, nanti yang rugi kau sendiri,” katanya. Setelah menjalani dua tahun masa studi, aku mengamini perkataan Heru.
Bagiku, ormawa menjadi jembatan menuju hal-hal yang tak kudapat di ruang kuliah. Ia memberi ruang untuk melakukan sesuatu dan merasa berguna.
Ormawa memberi ruang untuk berkarya. Hasilnya bisa kita lihat dari berbagai karya musik, sastra, jurnalistik, drama, dan masih banyak macamnya yang dihasilkan berbagai ormawa.
Dan tak hanya itu, ormawa menjadi tempat pengembangan soft skill yang lebih efektif dan menyenangkan dari ESQ. Soft skill penting untuk menjalani kehidupan sosial di masa depan.
Dengan ormawa, aku menemukan orang-orang yang berminat sama atau beririsan. Hal ini penting untuk pengembangan diri sesuai bidang yang diminati.
Kita menemukan identitas dan komunitas, menjadi percaya diri untuk bertungkus-lumus dengan jalan yang dipilih.
Dan karenanya kita tidak kesepian dan menyerah. Kalaupun tak ada bidang yang ditekuni, yang tak kalah penting, kita belajar jadi organisator. Siapa tahu, kau bisa jadi semacam Semaoen atau Soekarno di hari depan.
Lebih subtil lagi, ormawa menjadi ruang atau jembatan untuk praktik sebagai makhluk sosial. Di sana, kita belajar bersimpati, berempati, berinteraksi dengan manusia lain.
Lewat ormawa, aku menemukan teman ngobrol yang mengenalkanku dengan teman ngobrol yang lain. Kami mengobrol tentang banyak hal dan berkembang dari sana.
Mulai dari obrolan ringan seperti bagaimana cara berkenalan dengan normal, sampai hal rumit semacam determinisme basis-suprastruktur dalam konteks hegemoni negara. Intinya, kita belajar sekaligus praktik dalam dialektika manusia.
Memang, terkadang organisasi membikin kita capek dan menuntut energi-pikiran yang tidak sedikit. Ia ada sebagai ruang untuk kita melakukan sesuatu.
Kalau organisasi itu tak ada, kita mau ngapain? Kalau kita punya hal untuk dilakukan di luar organisasi, ya baguslah. Tapi kalau tak ada?
Tentu tak ada keharusan untuk berproses dalam ormawa. Tapi, seperti hal-hal yang kubilang di atas, bergiat dalam ormawa adalah bermanfaat. Minimal, kita mengasah kepekaan.
Kalau ada kawan yang kesulitan, hendaknya dibantu. Apalagi kalau sudah digariskan dalam struktur, kita bertanggungjawab harusnya.
Ormawa membuat kita belajar sejak hal subtil semacam itu. Tentang tanggung jawab, kepekaan, dan kerja sama.
Selain itu, pengalaman dan relasi yang didapat tak kalah penting dengan ijazah. Sepengamatanku, ijazah hanya jadi prasyarat administratif saja.
Kemampuan, pengalaman, dan relasi lebih menentukan dalam kehidupan kita. Pengalaman dan kemampuan menjadi bekal kita menjalani hidup yang—katanya—kejam ini. Relasi bisa diandalkan untuk membantu atau berkolaborasi di kemudian hari.
Ormawa memang bukan jaminan masuk surga. Tapi ormawa memberi ruang, jembatan, dan acuan untuk bekerja keras demi pengembangan diri.
Memang pada akhirnya, secara personal, kita harus bekerja keras pada jalan masing-masing. Dan memanglah mahasiswa sudah dituntut seperti itu sejak menginjakkan kaki di kampus. Dituntut untuk mandiri secara personal, dan punya tanggung jawab sosial, tanpa perlu dimomong.
Memang, sesekali bermalas lumrah adanya. Asal bukan jadi pemalas. Menjadi pemalas adalah cara buruk menjalani hidup. Aku pernah menjadi pemalas dan rasanya tidak menyenangkan, efeknya pun buruk.
Aku masih ingat perkataan Zen Rachmat Sugito, yang terus digaungkan dari generasi ke generasi, dan sepertinya relevan di ormawa mana pun: “Kalian boleh menjadi apapun, kecuali jadi pemalas.”
Sumber gambra: Brilio.net