Jangan Bunuh Mimpi-mimpimu!
“Sekeras-kerasnya kita pukul, sedalam apapun hanya kita kubur, mimpi tidak akan bisa mati, ia akan pingsan dan bangkit di usia tua dalam bentuk penyesalan.”
Kalimat ini saya dapat dari seorang komedian ternama, Pandji Pragiwaksono, melalui unggahan video di kanal Youtube–nya. Terkesan personifikasi atau metafor, tetapi jika kita resapi kalimat ini sesungguhnya menyimpan glamor. Komedian itu bercerita tentang ayahnya, sosok laki-laki enam puluh tahun yang baru saja merilis mimpi baru. Ia ingin menjadi seorang penulis buku yang bisa hidup dari tulisannya sendiri. Cerita yang diringkas sesingkat-singkatnya ini berujung nahas. Hingga akhir hayat sang ayah, tidak ada satu pun penerbit yang bersedia menerbitkan bukunya. Alasannya cukup absurd, sang ayah selalu menolak jika maha karyanya diusik oleh tangan-tangan editor.
Pandji menceritakan ihwal sang ayah yang meminta tolong kepadanya untuk membantu menerbitkan buku. Hal itu membuat ia harus puas dijejal pertanyaan yang sama karena hampir setiap hari ayahnya menelepon dan menanyakan apakah bukunya sudah diterbitkan. Hingga suatu waktu, telepon dari sang ayah sengaja tidak dihiraukan dengan dalih ia sudah kenyang makan pertanyaan semalam. Selang beberapa jam, Pandji mengetahui kalau telepon tadi bukan untuk menanyakan pertanyaan yang sama. Telepon itu kemungkinan adalah permintaan tolong dari sang ayah yang sedang berjuang melawan serangan jantung.
Sang komedian merasa khilaf, ayahnya telah berpulang dan meninggalkan tulisan bersama rongsokan mimpinya. Detik itu juga, Pandji dijalari trauma yang dalam oleh perasaan bersalah. Ia berasumsi bahwa perasaan itu hanya akan mereda jika mimpi ayahnya berhasil terwujud. Masih menjadi keyakinannya, mimpi sang ayah tinggal satu-satunya hal yang masih hidup hingga sekarang dan apa pun caranya harus diwujudkan.
Pandji lantas membawa naskah almarhum ayahnya ke Penerbit Bentang Pustaka. Tentu penerbit besar seperti Bentang Pustaka tidak mau jika harus menerbitkan naskah yang terbilang amburadul (isinya tidak linier) tanpa ada proses editing. Dengan tidak diberi pilihan lain, Pandji pun mengiakan jika buku alamarhum ayahnya harus diedit terlebih dulu. Setelah bukunya terbit, ia membawa naskah yang asli dan meletakkannya tepat di atas makam sang ayah sebagai bukti perwujudan mimpinya.
Baca Juga: Self Healing Bagi Korban Trauma
Berakar dari pengalaman tersebut, Pandji kemudian mencetuskan kalimat indah melalui unggahan video di kanal Youtube-nya “Pandji Pragiwaksono” dengan title “Jangan Bunuh Mimpimu”. Unggahan tersebut hingga kini sudah dibanjiri 49 ribu like. Seolah 49 ribu ini mengartikan banyak yang setuju dengan statement bahwa mimpi tidak akan pernah bisa mati. Dari sini kita akan berbicara perihal ‘mimpi’ dan mencoba mencari kesimpulan dari kalimat Pandji Pragiwaksono.
Siapa dari kita pernah bermimpi? Atau mungkin baru saja menyusunnya dan ditempel rapi di dinding dekat jendela? Jawabannya adalah aku dan mungkin kalian yang membaca ini. Di antara kita mungkin pernah berpikir bahwa bermimpi sama dengan bermain api, kecil jadi teman, besar jadi lawan. Jadi, jangan bermimpi terlalu besar, kalau perlu tidak usah bermimpi. Kata orang, hidup sudah enak kok dibuat susah, tinggal mengikuti alurnya saja. Kataku, hidup yang semestinya adalah hidup yang diresapi dan satu-satunya cara adalah bermimpi!
Jangan salah juga mengartikan mereka yang leha-leha bilang hidup mengalir saja. Mereka bukan tidak punya mimpi, ada beberapa kemungkinan jika boleh menerka. Pertama, mimpinya sudah terpenuhi dan berhenti untuk menyusun mimpi-mimpi lainnya. Kedua, mimpinya telah dipukul dan dikubur sedalam-dalamnya. Kalimat ‘hidup mengalir saja’ mungkin ibarat tanah yang menutup rapat kuburan mimpi mereka.
Mimpi bukan sesuatu untuk diangan-angankan, ia entitas yang hidup untuk diperjuangkan. Lelah? Sah-sah saja, kita frustrasi dan ingin membunuh mimpi-mimpi yang melelahkan itu. Akan tetapi, suatu hal yang pakem bahwa sekeras-kerasnya kita pukul, sedalam apa pun kita kubur, kalau mimpi itu sudah hidup ia tidak akan pernah mati. Ia hanya akan tumbuh lagi dalam bentuk penyesalan di masa tua. Kesimpulan yang bisa dipetik adalah kita boleh bermimpi, harus bermimpi, dan apa pun mimpi kita yang terpenting jangan pernah menyerah untuk mendapatkannya.