Penyampaian Aspirasi Mahasiswa Melalui Bahasa dan Seni, Salah?
Mahasiswa adalah pembelajar di tingkat yang lebih tinggi dibandingkan siswa. Di mana, pada tingkatan ini, mahasiswa dituntut untuk bisa belajar lebih dari sebelumnya. Jika, ketika TK sampai SMA sistem pembelajarannya adalah didulang, atau disuapkan oleh guru, dan siswa cenderung pasif. Maka, di tingkatan ini, mahasiswa harus lebih aktif, mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam pikirannya, dengan sendirinya. Tidak menunggu dosen memberi, atau mendulang.
Ketika mahasiswa hanya mengandalkan dosen, dapat dipastikan bahwa mahasiswa itu tetap akan menjadi siswa, bukan mahasiswa. Apalagi, saat ini ada kurikulum yang menyatakan bahwa mahasiswa harus aktif, harus mengerti apa yang dibutuhkan, dan mencarinya. Dosen hanya bertindak sebagai pembimbing, yang tidak harus serba tahu apa yang dibutuhkan mahasiswanya. Karena yang terpenting adalah mahasiswa dapat menemukan dirinya sendiri, memahami dirinya sendiri, sehingga semua kebutuhan akan dirinya dapat ia cari sendiri pula, dan dosen cukup mengawasi, member sedikit masukan, mengevaluasi, dan memberikan nilai akhir.
Untuk itulah, bermunculan beberapa mahasiswa dengan berbagai identitasnya. Ada yang tampil sebagai diri yang aktivis, ikut terjun dalam kepengurusan lembaga-lembaga kampus. Ada yang tampil sebagai diri yang peduli lingkungan, ikut terjun dalam pemberdayagunaan lingkungan. Ada yang tampil sebagai diri yang agamis, ikut aktif dalam kegiatan keagamaan.
Demikian pula di kampus yang berbasis bahasa dan seni, beberapa identitas mahasiswa muncul dengan karakter unik setiap individu. Mahasiswa mencoba menjalankan apa yang harus dijalankannya, mencari identitasnya sendiri. Sehingga, meski terkesan aneh dan ambrul adul, mahasiswa yang berpenampilan nyeni itu tetaplah sah-sah saja. Hal demikian adalah proses pencarian jati diri yang diyakini mahasiswa itu, sebagai salah satu cara yang dapat ditempuh.
Selain itu, beberapa mahasiswa juga aktif dalam menyampaikan pendapat, dengan caranya masing-masing. Ketika mahasiswa itu tumbuh di lingkungan berbasis bahasa dan seni, tidak ada yang salah apabila penyampaian pendapat itu melalui bahasa dan seni. Bahasa yang disampaikan dalam bentuk tulisan, gambar, patung, tarian, ataupun musik. Tentu, ini menjadi hal yang menarik. Karena selain berproses mencari jati diri, mahasiswa yang demikian juga melatih diri menerapkan ilmu yang didapat dari meja perkuliahan.
Jadi, apakah hal demikian adalah salah? Tentu ini hanya masalah sudut pandang, cara memandang hal itu. Mahasiswa yang menjalankan itu, akan menjawab tidak salah. Tapi, seorang dosen, bisa saja menjawab salah, karena hal itu dianggap merusak citra kampus. Itu sah-sah saja, toh, semua bebas berpendapat.
Jadi, inilah yang mendasari mahasiswa dalam proses pencarian jati diri yang terkesan aneh dan ambrul adul, dan dalam penyampaian aspirasi yang terkesan nyeleneh. Sebagai warga negara Indonesia yang bebas berpendapat, mahasiswa menyampaikan aspirasinya, haknya bersuara. Sebagai mahasiswa yang tumbuh di lingkungan berbasis bahasa dan seni, dalam penyampaian aspirasi mahasiswa cenderung melalui karya, dengan pemanfaatan bahasa dan seni. Seperti misalnya, melalui karya puisi, cerpen, patung, tarian, atau musik, yang dapat mewakili suara tersebut.
Dengan demikian, patutlah jika kita kembali meminjam kalimat Amartya Sen, bahwa identitas adalah ilusi. Identitas ada, tapi tidak perlu diunggul-unggulkan. Saling menghargai satu sama lain. Saling mendukung satu sama lain. Sehingga tercipta suasana yang harmonis di lingkungan berbasis bahasa dan seni ini. (Andrian)