Advertisement Section

Rape Jokes: Candaan atau Pelecehan?

7Pernahkah kalian mendengar lelucon atau bahkan melontarkannya? Pasti pernah bukan?

Lelucon adalah suatu hal yang telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya lelucon akan bersifat menghibur dan membuat kita tertawa. Akan tetapi, kadangkala kita juga mendengar lelucon yang bersifat merendahkan dan membuat kita merasa kurang nyaman. Salah satunya adalah lelucon yang menyasar bagian tubuh atau seksualitas seseorang.

Rape jokes atau lelucon pemerkosaan merupakan lelucon yang merujuk ke bagian tubuh seseorang dengan konteks “seksual” sebagai bahan candaan. Orang-orang yang melontarkan rape jokes menganggap hal ini lucu bahkan dipandang sebagai bentuk pujian tanpa memikirkan perasaan para penyintas. Lelucon ini biasanya dilontarkan secara eksplisit sebagai ‘guyonan’ bagi para pelaku.

Sangat disayangkan bahwa saat ini rape jokes tidak lagi dianggap sebagai hal tabu dan bahkan cenderung diwajarkan. Yang lebih menyedihkan, orang-orang pelontar rape jokes adalah orang terdekat yang menganggap hal ini sebgai cara menunjukkan keakraban. Kata-kata seperti “Cantik, mau abang temenin gak?”; “Pelecehannya udah diapain? Kehormatannya masih ada gak”; atau “Cewek pasti mau diperkosa sama yang ganteng”; dan kata-kata lain yang berkonotasi seksual dan merendahkan. Seseorang yang mendapatkan kata-kata tidak pantas seperti itu wajar jika merasa tidak nyaman, namun beberapa orang akan mengatakan jika orang tersebut terlalu “baper” dan menyanggah bahwa hal tersebut merupakan salah satu dari “kebebasan berpendapat.”

Munculnya rape jokes tidak lain karena kuatnya akar budaya patriarki yang berkembang ditengah masyarakat. Budaya ini menempatkan perempuan berada di posisi nomor dua dan hanya dipandang sebagai “objek”. Bias gender yang “berat sebelah” dan meletakkan kekuasaan laki-laki diatas perempuan membuat mayoritas penyintas adalah seorang perempuan.

Baca Juga: Fenomena Doxing pada Era Digital

Hal tersebut tidak lepas dari pola pikir yang terbentuk. Jika sejak awal sudah memiliki pemahaman dan kepercayaan yang salah tentang gender, maka apa yang dimengerti oleh mereka akan memengaruhi sikap dan perilaku. Misalnya, orang yang memiliki kepercayaan bahwa perempuan yang berpakaian seksi adalah perempuan yang “minta” untuk dilecehkan, maka tindakan tersebut akan dinormalisasikan.

Rape jokes yang menjulur ke perilaku seksis yang akan menciderai kesetaraan gender. Dalam piramida budaya pemerkosaan, lelucon seksual berada di urutan paling bawah sehingga besar peluangnya tindakan-tindakan tersebut dilakukan.

Rape jokes yang diwajarkan akan menumbuhkan sikap tak acuh dan menimbulkan normalisasi terhadap pelecehan atau kekerasan seksual di masyarakat. Tak jarang dari yang awalnya berawal dari guyoyan berujung pelecehan. Korban kasus pelecehan hingga pemerkosaan menjadi ketakutan dan tidak ingin melaporkan kejadian yang mereka alami. Bayang-bayang masyarakat yang akan menyalahkan, menghujat, dan berprasangka buruk akan terus melintas di pikiran korban atau penyintas. Sikap masyarakat yang menutup mata atas kasus-kasus seperti itu akan menimbulkan ketidakpedulian dan berefek panjang bagi psikologis penyintas.

Tidak hanya dilingkungan, rape jokes juga sangat sering dilontarkan di media sosial. Banyak warganet yang memberikan komentar-komentar seksis dan mengarah ke pelecehan seksual di beberapa postingan yang diunggah twitter, instagram, tiktok, maupun youtube. Tidak berbeda dengan lelucon yang dilontarkan secara langsung, bahkan di media sosial rape jokes yang dilontarkan lebih berani dan lebih kejam. Tanpa mereka sadari, yang mereka anggap sebagai lelucon adalah pisau tajam yang menyakiti para penyintas.

Dimanapun, kapanpun, dan siapapun dapat menjadi korban rape jokes. Dampaknya pun tak hanya dirasakan oleh para korban dan penyintas, namun juga masyarakat dan lembaga yang menangani kasus kekerasan. Maka dari itu, edukasi terhadap topik ini menjadi salah satu langkah penting untuk menghentikan kultur ini.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Previous post Tepa Selira: Silakbar dan Sarasehan Membina Guyub Rukun
Next post Resensi Novel Jalan Tak Ada Ujung