Advertisement Section

Resensi novel “kambing dan hujan” karya Mahfud Ikhwan

 

Judul:  Kambing dan Hujan

Penulis: Mahfud Ikhwan

Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun Terbit: 2015, Edisi Pertama, Cetakan Pertama

Jumlah Halaman: 379 halaman

LPPM Kreativa – Novel “Kambing dan Hujan” karya Mahfud Ikhwan menggambarkan dinamika lokalitas keagamaan dalam format roman. Kisah ini menyoroti perbedaan antara Organisasi Masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang menjadi titik fokus konflik dalam cerita ini.

Diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada Mei 2015 untuk edisi pertama dan cetakan pertama, novel ini meraih gelar pemenang Sayembara Novel DKJ tahun 2014. Selain mengangkat tema asmara, cerita juga mengaitkan masalah masa lalu keluarga, khususnya melalui dua sahabat kecil, Moek (Pak Fauzan) dan Is (Pak Kandar), yang terpisah karena tujuan pendidikan yang berbeda. Mereka mencerminkan perbedaan praktik antara NU dan Muhammadiyah, yang kemudian memicu konflik yang merenggangkan hubungan mereka.

Sebelum kelahiran Mif dan Fauzia, tokoh utama yang kemudian menjadi sepasang kekasih, orang tua mereka Pak Kandar (ayah Mif) dan Pak Fauzan (ayah Fauzia) adalah sahabat karib yang bertemu dalam peristiwa menyelamatkan anak-anak dari wabah kolera pada tahun 1960-an.

Mereka hidup di sebuah desa terpencil. Is menggembala kambing milik Mbah Min untuk memenuhi kebutuhan hidup sambil gigih mengejar ilmu. Moek juga sering menemani Is dalam menggembala kambing. Mereka sering pergi ke Gumuk Genjik, tempat kesukaan mereka karna banyak rumput untuk kambing-kambing Is.

Setelah lulus dari sekolah dasar, Moek melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren, sementara Is yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya lebih memilih untuk terus belajar mandiri dengan buku-buku yang dibelinya daari hasil menggembala kambing.

Sejak saat itu Is dan Moek sudah jarang bertemu. Kisah masa kecil Is (Pak Kandar) dan Moek (Pak Fauzan) menggambarkan semangat belajar mereka yang tinggi, di mana hasil penjualan kambing digunakan untuk membeli buku-buku.

Beberapa tahun kemudian, Mif lahir sebagai anak Pak Kandar yang terikat dengan Muhammadiyah, sedangkan Fauzia adalah anak Pak Fauzan yang terkait dengan NU. Melalui plot cerita yang teratur dan alasan yang masuk akal, keduanya bertemu.

Sambil mempelajari sejarah keluarga masing-masing, hubungan mereka berkembang menjadi serius, dan mereka saling jatuh cinta. Komplikasi muncul dari status tokoh masyarakat kedua orang tua mereka di masing-masing organisasi.

Hal tersebut tidaklah mudah bagi “Mif” sebagai tokoh dalam novel ini untuk mempertahankan hubungan dengan “Fauzia”, yang jelas berada di kubu yang berbeda. Sebagai pemuda Muhammadiyah, Mif harus sabar menghadapi banyak tantangan, baik dari luar maupun dari dalam keluarga yang memiliki sejarah rumit.

Perdebatan seputar agama yang dimulai sejak masa kecil antara orang tua Mif, Pak Kandar, dan orang tua Fauzia, Pak Fauzan, semakin memperumit situasi. Faktor lain adalah kisah masa lalu ibu Fauzia yang pernah ditaksir oleh Pak Kandar.

Fauzia mengalami masa-masa sulit dan mengajak Mif untuk kabur memulai kehidupan baru tanpa restu kedua orang tua mereka. Namun, Mif menunjukkan keteguhan dan membantu Fauzia menghadapi rintangan tersebut serta meyakinkannya untuk tetap bertahan.

Mif menolak tawaran untuk kabur dan mengajak Fauzia kembali pulang meskipun risiko buruk terlihat jelas di depan mereka. Sikap Mif mengajarkan pembaca tentang keteguhan sebagai lelaki, ketabahan, dan penghormatan terhadap keluarga, terutama sebagai orang tua yang bertanggung jawab atas kelahiran anak ke dunia. Banyak tokoh dan peristiwa lain dalam cerita ini saling terkait dan memperkuat plot keseluruhan.

Cerita yang kaya konflik, alur maju mundur, dan hubungan yang saling terkait ini dapat membuat pembaca merasa penarasan terkait kelanjutan cerita novel ini. Kisah yang menjadi awal dari rekonsiliasi antara dua kelompok yang sebelumnya saling membenarkan diri dan saling menyalahkan.

Kisah yang mampu memotret dengan baik ‘pertikaian-pertikaian’ kecil yang hidup beberapa puluh tahun di masyarakat kita karena perbebedaan gerakan. Hingga kekuatan cinta berhasil mengatasi perpecahan antara dua organisasi Islam ini, menghapus batasan keangkuhan di antara mereka.

Meskipun titik fokus novel ini merupakan konflik antar Ormas, namun penulis mengemasnya dengan menggabungkan konsep romansa yang serius serta cukup rumit dalam ceritanya. Hal itu dapat menjadikan novel ini menjadi lebih menarik dengan menggabungkan 2 aspek sekaligus.

Selain itu, seringkali pembawaan cerita Pak kandar dan Pak Fauzan mungkin cukup rumit dan mengisi hampir separuh isi dari novel. Meskipun begitu, pesan-pesan positif yang disampaikan oleh penulis dapat bermanfaat untuk pembaca dan juga masyarakat umum.

Penulis: Yustama Alfido Reanoka

Editor: Hana Yuki Tassha Aira

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Gagak Pemakan Apel
Next post Pendanaan PKM: Solusi Pintar Literasi Aksara Jawa bagi Tunanetra di SLB-A Yaketunis Yogyakarta