Seniman Jalanan
“Saya ngamen sejak masuk SMP. Sekarang sudah putus sekolah, fokus cari uang aja.”
Fahril memandang sepetak potongan koran lusuh yang disimpan di bawah kasurnya sejak lama itu. Kalimat barusan adalah kalimat yang dituturkannya pada seorang wartawan koran lama yang sekarang sudah tak laku.
“Mimpi saya jadi penyanyi tenar, masuk TV, jadi orang kaya. Tapi sekarang bisanya ngamen dulu, cari uang sambil jadi seniman jalanan.”
Dia meneguk ludahnya. Gusar. Saat membaca kalimat yang keluar dari mulutnya sendiri, bukannya merasa semangat seperti yang sudah sudah, Fahril malah merasa prihatin. Apa mimpinya menjadi seorang seniman jalanan ini terlalu naif? Hidup miskin sebatang kara tanpa orang tua di gubuk reyot kadang membuatnya ingin mengakhiri segalanya. Satu hal yang membuatnya terus berjalan menjalani hidupnya adalah keinginannya untuk bermusik. Tapi, apakah hal itu bisa ia dilakukan dengan keadaannya yang seperti ini?
Tadi siang dua orang “sangar” berbadan besar menggedor pintu sengnya yang memang sudah bolong. Menagih hutang Fahril yang menunggak pada Pak Haji. Fahril mengusap kasar mukanya. Peluh yang kotor disekanya. Dia memandang gitar kumuh pemberian mendiang pamannya yang dia pakai sehari-hari untuk bekerja. Terlintas di pikirannya untuk menjual satu-satunya teman hidupnya itu. Apakah gitar yang senarnya putus satu itu juga sudah lelah mencari pundi-pundi rupiah? Atau itu hanya alasan Fahril saja agar dia bisa bebas dari jeratan hutangnya? Lalu bagaimana dengan mimpi Fahril?
“Seniman jalanan? Konyol. Jual saja gitarmu itu. Kau masih bisa cari uang kayak aku, nanti aku bantu cari cat sablon.”
Baca Juga: Memories: Aurora dalam Kegelapan
Angan Fahril mengelana ke percakapannya tadi di warung dengan Abang. Abang—begitu cara Fahril menyebut nama Jaka, teman sejawatnya—menasihati Fahril untuk menjual gitarnya itu. Lagipula, Fahril sudah tidak memiliki harta berharga lagi untuk ditukar dengan uang. Bisa-bisa Fahril diteror bawahan Pak Haji lagi. Mengenai Abang, dia juga senasib dengan Fahril, hanya saja dia sudah lama membuang mimpinya. Hal yang selalu memotivasi diri Abang hanyalah uang, uang, dan uang. Bahkan Abang pernah dikeroyok warga kampung gara-gara membobol kotak amal. Karenanya, Abang pernah ditahan di pusat rehabilitasi. Karena gerak-geriknya masih tetap diamati, mau tak mau Abang sekarang hanya bisa bekerja di bawah sinar lampu merah jalan raya dekat kampung.
“Tapi Bang, bukannya Bapak pernah bilang kalau pakai cat sablon itu bikin sakit kulit?” Tanya Fahril ke Abang sambil mengungkit perkataan bapak penjaga rehabilitasi ke percakapannya.
“Ya mau gimana lagi, Ril. Kalau mau cari uang itu harus berkulit badak! Ayolah Ril, niatku itu baik mau membantumu daripada dikejar sama preman-premannya Pak Haji!”
Fahril menghela nafasnya berat. Kuku jari Jaka berwarna silver, menunjukkan seberapa sering abang mewarnai dirinya dengan cat berwarna silver yang kontras dengan lampu merah jalanan.
“Okelah bang, aku ikut saja.” Ucap Fahril pada akhirnya
“Nah, gitu dong, Ril. Toh jadi manusia silver juga bisa jadi seniman di jalanan kan?”
“Iya, Bang.”
Fahril menyudahi pikirannya barusan, merobek potongan koran tadi dan membuangnya asal. Dia membawa gitarnya keluar gubuk—bukan untuk dibawanya bekerja, namun untuk dijualnya. Persetan dengan mimpinya untuk menjadi seorang penyanyi. Yang penting dia bisa mencari uang untuk bertahan hidup dan aman dari kejaran hutang. Seperti kata abang, dia masih bisa menjadi seorang seniman di jalanan.
Cr. Afifah Azzahra