Advertisement Section

Memories: Aurora dalam Kegelapan

Mereka berlarian dengan baju yang kini telah menjadi kusut. Semua pandang hanya tertuju pada satu objek. Di detik berikutnya hanya ada suara tangis yang menggema di sudut kamar putih dengan bau etanol itu. Suara bariton pria berjas putih yang kini mulai menguning memecah perhatian ku.

“Maaf, saya sudah berusaha semampu saya.” katanya sambil.

Aku tidak mengerti apa yang beliau katakan, tapi aku hanya dapat menatap dan memberinya seulas senyum atas pekerjaan yang telah ia lakukan.

=====

Di suatu pagi yang memuakkan, dengan aktivitas yang sama dan tentunya dengan perasaan yang sama. Orang-orang berkata bahwa hidup seperti lingkaran setan yang tak pernah usai. Matahari masih terbit dari timur dan orang-orang masih asik dengan dunianya. Tidak heran saat melihat mereka membuang muka dan tak acuh pada kumpulan gadis yang sedang membuat kegaduhan.

“Wah, kalau Ara pasti dapat nilai bagus. Enggak kaget juga sih.” Kata anak berambut ikal.

“Hahaha, kalau belajar pasti nilainya juga bagus kok. Iyakan, Ra?” Sambungan anak berkulit kuning langsat.

“Iya, lagian nilaiku biasa saja kok. Hehe.” Jawab siswi yang menjadi pusat pembahasan, Ara.

“Udahlah, main aja yuk.” Potong Elva si anak berkulit kuning langsat.

“Yang mengarahkan bisa menyentuh papan informasi kelas di atas sana yang menang, oke! Nah, kalau Ara yang mulai duluan gimana? Kalau enggak mau juga engga apa-apa sih.” Tambahnya dengan nada yang terkesan dingin.

“Eh, i-iya. Papan yang di atas itu kan?” Jawab Ara yang berdiri dari kursinya.

“iya”

“Eh! Kalau loncat enggak asik dong. Kaki kamu ngga boleh jinjit. Terus tangan kamu ulurin aja sampai menyentuh papan. Kayaknya lebih seru. Iya ngga teman-teman?” Elva membuat kumpulan gadis itu tertawa.

“Hihihi, boleh tuh. Kamu duluan ya, Ra. Kalau bisa, nanti aku traktir deh.” Kata Tari si rambut keriting.

Gadis itu melakukan persis seperti yang diminta. Gadis-gadis lain hanya tersenyum dan memberi sorakan penyemangat. Murid lain masih asik berkutat pada kesibukan mereka. Melihatnya saja sudah tertebak kalau ini bukan tontonan baru bagi mereka. Tanpa sadar aku mulai melangkah mendekati gadis yang dipanggil Ra oleh teman-temannya itu. Aku memperhatikan wajah gadis yang sedari tadi tidak pernah berhenti tersenyum itu.

====

Aku paksa kaki yang sudah meminta istirahat ini untuk tetap berjalan. Rasanya kulitku sudah terlalu banyak menyerap sinau ultraviolet. Padahal aku sudah memilih jalan desa yang kanan kirinya ditumbuhi pepohonan. Tiba-tiba perhatianku teralihkan pada beberapa anak yang asik bermain kasti dengan kayu dan bola kecil bewarna hijau. Mereka tampaknua tidak langsung pulang ke rumah dan memilih bermain di tengah padang rumput itu. Bola dilempar jauh ke daerah lawan. Namun, tidakkah salah seorang dari mereka memukulnya terlalu keras? Dari banyak orang yang bermain, terlihat hanya satu orang yang selalu terkena bola yang dilemparkan. Bahkan ia selalu berlari kesana-kemari untuk mengambil bola yang melambung keluar garis.Tunggu dulu, sepertinya aku ingat siapa dia. Ah, Ara! Si gadis dengan mata sendu!

BACA JUGA: Cermin Pemisah Kebahagiaan 

Bel yang menjadi tanda pergantian jam sudah berbunyi. Semua orang di kelas mulai berganti seragam menjadi kaos olahraga. Jam olahraga adalah pelajaran yang sangat aku benci. Rasanya terlalu membuang tenaga. Matahari seperti sedang menertawakan ku saat ini. Bagaimana mungkin dihari yang panas ini tidak ada awan awan! Ah, sepertinya kami sudah boleh istirahat. Baiklah saatnya pergi ke kantin. sepertinya mereka masih asik bercerita. Elva suka dengan basket, sedaritadi Ia terus memegangnya. Namun, kejadian yang tak pernah kubayangkan terjadi. Elva memantulkan bola basket ke kepala Ara. Apa-apaan dia! Mengapa yang lain hanya diam? Astaga, aku harus mengatur mereka.

“Hei! Berhenti.” Tidak ada yang mendengarku.

Aku berteriak mencoba kembali, namun tetap tak ada yang mendengarkan. Ku hampiri mereka dan kucoba meraih tangan Ara. Belum sempat aku menggenggam tangannya, tubuhku serasa tertarik ke dimensi ruang yang berbeda.

“Apa ini? Kenapa aku berada di sini?”

Bagai film yang terputar dengan kecepatan dua kali lipat. Lingkungan sekitar berganti dalam kecepatan yang setara dengan kedipan mata. Ara yang semula berpakaian olahraga berganti menjadi seragam biru putih. Ia terduduk di pojok dengan pandangan yang kosong. Mata sendu itu telah hilang. Detik berikutnya latar tempat kembali berganti. Bajunya berubah menjadi putih abu abu. Ia duduk sendiri di kelas yang sepi. Dimakannya nasi yang kini tercampur dengan air matanya. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Layaknya adegan terakhir dalam film. Aku melihat kedua orangtuaku yang sangat gila kerja tertunduk lemas di samping itu. Tapi tunggu sebentar, mengapa Ibu dan Ayah rela membuang waktunya untuk berada di tempat seperti ini? Aku mencoba melihat dalam jarak yang lebih dekat. Ia seorang gadis dengan tangan yang bungkus perban putih. Kenapa begitu banyak bekas sayatan? Tubuhku bergetar begitu hebat ketika aku melihat wajah gadis yang kini dibawakan dua laki-laki berbaju putih ke suatu ruangan di ujung koridor. Ruang mayat.

Di kaki terdapat secarik kertas beruliskan sebuah nama, Aurora. Nama yang diberikan dengan harapan memberikan keindahan dan warna pada langit kutub yang terkenal pekat. Kini berakhir menjadi sebuah nama dari seorang gadis yang dunianya gelap dan dingin.

 

Ilustrator: Afifah Azzahra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Previous post Setitik Bayang Cahaya yang Terkenang
Next post Si Pawang Hujan pada Event MotoGP Mandalika?