
The Hole Named Loneliness.

Sore itu, langit mendung melengkapi hari pertama di bulan September. Bunga tabebuya bermekaran di sepanjang jalan gejayan Affandi. Aku duduk di bangku taman sembari mengerjakan tugas, sesekali aku merenung, karena aku tak pernah menyangka sudah melewati beberapa semester dengan begitu cepat — seolah waktu hanya menitipkan jejaknya pada helaian catatan dan lembar ujian.
Di balik kesibukan itu, ada ruang kosong yang tak pernah terisi, lubang yang diam-diam menelan tawa saat malam perlahan mulai larut. Aku sering mengira sendirian hanya jeda yang wajar, dimana setiap orang akan merasakan hal tersebut, tempat beristirahat dari keramaian.
Baca lainnya: Sebuah Ensiklopedia Hidup di Tengah Kota Metropolis
Namun, saat waktu terus berjalan, ada lubang yang semakin dalam tumbuh pada dadaku, seakan menegaskan ada sesuatu yang hilang. Aku sadar, bahwa aku kehilangan arah ditengah perjalanan ini. Dering telepon masuk, notifikasi muncul menampilkan orang yang paling aku sayang, Ibu. Ohhhh…akhirnya, orang yang paling aku rindu menghubungiku. Aku angkat telepon dengan tergesa.
“ Assalamualaikum, Bu.” Suara aku terdengar samar dan sedikit bergetar, namun berusaha untuk tetap biasa saja.
“Waalaikumssalam, Nak. Kamu lagi sibuk , ya?” Disana suara ibu terdengar lembut, mengalun indah bagai embun yang jatuh.
Aku menghela napas panjang . “Enggak sibuk kok Bu, ini lagi duduk di taman kampus. Ngerjain tugas-tugas yang sudah menumpuk sambil memikirkan bayak hal.”
Dibalik telpon ibu tertawa kecil “Mikirin apa lagi? Tugas aja atau hati yang mulai lelah huhh?”.
Mendengar itu, aku langsung terdiam sejenak. Rasanya ibu selalu bisa menebak tanpa aku harus berceita panjang “Iya Bu, dari banyak hal yang aku lakukan disini, ketika aku sudah menyibukkan diri dengan berbagai hal, kadang aku merasa kosong. Aku takut ketinggalan…takut tidak punya arah.”
Aku sendiri tau, semua orang pasti punya jalan yang berbeda, tapi mungkin rasa kosong selalu menghampiri orang – orang yang sedang kehilangan arah.
Sunyi sebentar, lalu suara ibu terdengar lebih hangat, “ Nak, dunia memang begitu. Orang-orang akan berjalan di jalannya sendiri, begitu juga kamu, sejak lahir kamu sudah memiliki jalan kamu sendiri. Tapi, jangan pernah merasa sendirian. Ada Tuhan yang selalu dengar doa kita, ada Ibu yang selalu menyebut nama kamu dalam setiap doa . Lubang di hati itu, jangan kamu biarkan gelap, isi dengan hal-hal yang mendekatkan kamu pada cahaya. Cari jalan kamu sendiri, Nak.”
Baca lainnya: Gelora Muda dan Merangkai Cerita Sebagai Langkah Pertama PKKMB FBSB 2025
Aku menelan ludah, air mataku jatuh tak terbendung. “ Tapi Bu, aku takut, aku takut nggak kuat.”
“ Kuat itu bukan berarti nggak pernah jatuh, Nak. Kuat itu ketika kamu jatuh, tapi kamu punya keinginan untuk bangun lagi. Ibu percaya, kamu bisa. Kamu nggak pernah benar-benar sendiri, ada Ibu disini.”
Angin sore berhembus, tapi kali ini lebih hangat. Kata-kata yang Ibu berikan dapat menutup lubang di dadaku dengan benang halus yang membuat aku lebih tenang “ Iya, Bu, terima kasih untuk sore ini. Aku janji nggak akan nyerah.”
“Bagus. Ingat, pulang kalau kamu sudah lelah. Rumah akan terbuka dan selalu disana untuk kamu. Ibu tutup telponnya, kamu jangan lupa makan dan tetap sehat, ya.”
Setelah telepon singkat di sore itu. Lubang bernama loneliness itu memang belum sepenuhnya hilang, tapi kini aku tahu, ada suara yang selalu bisa menuntunku pulang.
Penulis: Pramudya Restya A.
Editor: Nabila Rizqi Laila Azzahr