Tujuan dari Setiap Perjalanan Kehidupan
Tujuan setiap orang tentu berbada bagi Arina, lulus sekolah menengah atas di usia 18 tahun adalah hal yang wajar. Prioritas utamanya saat ini bekerja, mengingat pemicunya mengizinkan tidaknya untuk melanjutkan kuliah. Bukan hanya tidak mendukung tapi juga besarnya biaya yang dibutuhkan. Namun, di tengah kesibukannya bekerja. Orang tua dan tetangganya juga tak henti-hentinya menanyakan kapan dia menikah. Sudah menjadi kebiasaan di perkampungannya, dimana banyak gadis belasan tahun sudah dipinang. Tapi tidak dengan Arina, bahkan jauh di dalam hati masih ada keinginan untuk kuliah. Tidak hanya itu, dia juga selalu berpikir bahwa tidak ada yang disukai.
“Jodohku ini doanya kenceng sekali ya. Sampai-sampai tak mau ada yang mendekati saya dan saya pun tidak menyukai siapa siapa. Ya Tuhan…” Arina yang baru memasuki kamar langsung membuka laptopnya jenis informasi seputar kampus idamannya. Tak lama setelahnya, dia sudah terlelap tidur di atas kasur empuknya.
Seharian ini bekerja lembur karena bosnya memerintahkan untuk membawakan pekerjaan lebih. PT Surya Abadi- sebuah tempat yang dijadikan Arina untuk mencari uang demi membantu orangtuanya menyekolahkan kedua adiknya. Arina. seorang yang lahir dari keluarga berada Orangtuanya bekerja sebagai penjual kerupuk kulit di pasar. Setiap malam ia selalu berandai menginjakkan kaki untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun nasib tak memihak kepadanya, ia harus memilih untuk tetap bekerja. Bau masakan tercium dihidungnya. Tanda bahwa ia harus segera bangun dari tidunya untuk mulai bekerja seperti biasanya.
“Siapa yang mandi duluan. Kamu atau mba dek!” Suara terdengar di luar kamar Arina.
Sebuah karya yang dibuat untuk mengamati mereka. Ibunya setiap pagi memasak dan bersiap-siap ke pasar, dan kedua bersiap ke sekolah dan tentunya bersiap-siap untuk bekerja. Sudah dua hari ini Ayahnya terbaring di kasur kamar. Kondisinya semakin hari belum juga ada perubahan. Ia selalu merasa bahwa dunia tidak adil kepadanya. Tapi dia harus tetap menjalani menjalani kehidupan yang berat ini. Karena bagian terburuk menjadi kuat adalah tak ada yang tahu kalau dia benar-benar terluka.
Selembar uang lima puluhan adalah sisa uang terakhir di dompetnya sebelum mendapat upah bulanan dari PT tempat ia bekerja. Dia membagikan uang dua puluh ribu untuk uang saku adiknya.Setelah lulus sekolah, dia yang selalu memberikan uang saku kepada adiknya. Mengingat hasil penjualan krupuk orangtuanya hanya cukup untuk membeli makan dan kebutuhan rumah lainnya.
“ Kalian belajar yang rajin, bekalnya jangan lupa dibawa. Mba berangkat kerja dulu… ini uang
sakunya. Assalamu’alaikum.” Kata Arina berpamitan
“ Iya mba, wa’alaikumsalam.. hati-hati mba”
Kemudian berjalan kaki keluar gang untuk mencari angkutan umum yang berlalu lalang di jalanan. Dia merasa senang setiap merasakan udara pagi menyentuhnya. Terasa sejuk dan damai.
“Huhhh akan aku waspada hari ini menjadi hari yang baik.” Senyum semangat tercetak di wajah
Arina.
BACA JUGA: Tugasku Kelabu Hingga Kalbuku
Arina selalu berharap hal-hal baik akan selalu terjadi pada dirinya, untuk menemani nasib malang yang ia alami. Seperti biasa, ia bekerja di bawah perintah bosnya bekerja dengan beberapa helai rambut ke tempat yang disediakan. Lalu pulang saat langit berwarna oren. Tanda hari akan menjadi gelap. Kondisi jalan dimana Arina pulang ramai. Terlihat dari kaca jendela angkutan yang sedang dia naiki. Pantas saja, hari ini adalah hari sabtu. Dimana banyak orang tayang untuk bermalam hari. Tapi bukan itu yang menjadi sorotan bagi Arina. Ia melihat seorang priaseumuran dengan Ayahnya sedang membantu menertibkan keramaian jalan. Hanya menggunakan bahu dan tangan kecilnya, saya akan membantu mengatur kendaraan di pertigaan. Dia seorang penyandang disabilitas, namun ia peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Orang yang dibantunya juga memberikan uang kepada pria itu sebagai tanda terima kasih terhadapnya. Arina kagum. “Manusia yang baik dalah manusia yang memiliki rasa kemanusiaan dan kepedulian terhadap sesama.” Bisik Arina pada dirinya sendiri.
Tak lama setelah itu, ada seorang remaja yang sibuk mengolak-alik isi tas dan sakunya mencari
uang untuk ongkos angkot.
“Maaf Pak, uangnya ga ada.” Kata remaja itu.
“Aduh, gimana Dek. Coba cari lagi.”
Arina yang melihat kejadian itu kemudian tersenyum dan membantu remaja itu. Ia memberikan sebagian uangnya untuk ongkos angkot remaja itu. Ia merasakan kebahagiaan saat membantu orang lain. Meski jika diingat lagi kondisinya jauh dari kata bahagia. Tapi sekarang saya mengerti peduli dengan orang lain juga bisa menciptakan kebahagiaan. Kebahagiaan bukan tujuan, tapi perjalanan. Setiap orang memiliki tujuan dalam setiap fase kehidupanya. kadang-kadang tujuan yang kita kira sebenarnya tidak selalu benar. kadang-kadang Tuhan menyelipkan tujuan kita pada hal-hal sederhana yang tak pernah kita duga.