Advertisement Section

Video Klip Hip Hop Papua: Apresiasi

Video klip hip hop Papua, ketika audionya dipadamkan sehingga kita hanya melihat sajian visualnya saja, hampir-hampir membuat kita seperti sedang menonton video klip bikinan gangsta Amerika.

Yang menonjol tentunya adalah penyanyi atau aktor dalam video klip hip hop Papua itu berkulit hitam dan mayoritas berambut keriting, khas saudara-saudara kita dari wilayah paling timur ini (tentu tidak semua).

Kedua, kostum atau dandanan dan gestur mereka yang khas hip hop, sejauh yang saya tahu: pakaian dengan gaya fesyen anak muda yang kerap dipertalikan dengan kultur hip hop, gerakan tangan dan kepala yang seperti “menantang”.

Tentu, tetap ada yang mungkin sulit didapati dalam video klip hip hop gangsta Amerika: dari segelintir yang pernah saya tonton, latar belakang video klip hip hop Papua hampir selalu menyajikan pemandangan alam khas Papua yang elok, biasanya pantai, pepohonan, atau barisan pegunungan yang timbul tenggelam seperti ombak laut.

Tanpa latar belakang itu, sebagian besar video klip hip hop Papua hampir bisa dibilang tidak punya ciri khas yang membedakannya dari video klip hip hop gangsta. Ini juga berlaku ketika ketika audionya dinyalakan, tetapi tanpa menyimak lirik: aransemen musiknya mirip betul dengan hip hop gangsta.

Barulah ketika sang penyanyi membuka suara, ‘feel’ Indonesia terasa: liriknya memakai bahasa Indonesia.

Harus saya tekankan bahwa saya tidak pernah menyukai hip hop sampai taraf cinta mati seperti dengan Guns N Roses. Jadi, ketika menonton video klip hip hop Papua, misalnya di bawah ini, saya hampir-hampir tidak merasakan ‘feel’-nya: terutama ‘feel’ hip hop-nya.

Hanya saja, menonton video klip hip hop Papua mendorong saya untuk sedikit mencari tahu tentang genre musik ini. Rujukan saya di tautan ini, dan ternyata saya memang awam dalam soal hip hop. Nyatanya, saya salah kaprah dalam mengapresiasi musik hip hop.

Menurut tautan itu, yang dimaksud dengan ‘hip hop’ sebenarnya adalah sebuah kultur, bukan genre musik. Lirik yang saya dengar dalam video klip hip hop Papua itu sebenarnya adalah ‘lirik rap’. Perbandingannya, ‘sepak bola’ dengan ‘Liga Champions’. ‘Sepak bola’ = ‘hip hop’; ‘Liga Champions’ = ‘rap’.

Jadi, hip hop adalah istilah yang memayungi empat sub-pokok, atau katakanlah sub-bagian: DJ-ing, MC-ing (yang secara umum dikenal sebagai ‘rap’), graffiti, dan breakdancing. Jadi, kalau menuruti klasifikasi itu, maka lirik yang diciptakan oleh para musisi Papua dalam video klip hip hop itu pada prinsipnya bisa dianggap sebagai ‘rap’.

Baiklah, klasifikasi seperti itu memang bikin emosi. Kenapa tidak menikmati video klip hip hop Papua itu saja, dan tidak usah ‘nyinyir’? Pada awalnya memang sekadar menikmati, tapi nalar modern-ilmiah menolak dominasi selera dan memaksakan klasifikasi.

Saya sebenarnya bisa mengapresiasi karya kreatif para musisi hip hop Papua. Tapi, karena saya terbiasa kritis dan, terus terang, belum bisa meninggalkan pandangan romantis bahwa seni harus dulce et utile (indah dan berguna), maka apresiasi harus dilanjutkan.

Kelanjutannya cukup kritis: musisi hip hop Papua sebenarnya bisa memanfaatkan karyanya bukan untuk semata-mata menghibur, melainkan juga untuk menjadi “alat perjuangan”, seperti para rapper awal di Amerika sana.

Tenang, saya tidak akan membicarakan politik – politic can go to hell – dan “perjuangan” yang saya maksud di sini lebih lembut nuansanya tinimbang yang sering terdengar di jalan-jalan perkotaan belakangan ini.

Jika dirunut dari sejarahnya di Amerika sana, ‘rap’ (salah satu dari keempat pilar penopang ‘hip hop’) pada mulanya adalah ‘alat perjuangan’. Fungsi sebagai ‘alat berjuang’ inilah yang menjadikan Gill Scott-Heron sebagai legenda hip hop dan rap.

Karya rap klasik Scott-Heron, The Revolution Will Not Be Televised, jauh dari lirik rap zaman sekarang yang kebanyakan hanya ‘meninabobokan’ pendengarnya: berkisah tentang seks, cinta, kekerasan, narkoba, pesta, hedonsime.

Bayangkan, Scott-Heron, dengan aransemen musik yang sederhana (ada juga yang versi full band) melantunkan lirik rap-nya yang seperti ramalan, prophecy: bahwa revolusi tidak akan disiarkan televisi. Kenapa bisa begitu?

Mungkin karena sang legenda rap tahu bahwa revolusi akan di-live streaming seperti kalau kita sekarang menonton streaming klub bola kesayangan kita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Anasir Anomali Penggunaan Bahasa Indonesia
Next post Intervensi Penutur Asing: Bentuk Eksistensi atau Kolonialisme Masa Kini?