Adhe Ma’ruf dan Kreativa Ngobrolin Penerbit Indie

Penerbitan, dewasa ini, dibedakan menjadi dua, yaitu penerbitan mayor dan indie. Khususnya di Jogja, Penerbit indie terus menjamur sehingga banyak alternatif buku bacaan. Kreativa menemui Adhe Maruf di Octopus Toko Hitam (OTH) untuk berbicara perihal penerbit indie dan buku cetakannya. Adhe Maruf, yang merupakan pelaku sejarah yang mengawali tumbuhnya penerbit indie, saat ini mengelola penerbitan Octopus. Sebelumnya Adhe, bersama Tri Prasetyo (sekarang mengelola penerbit Gradien Mediatama), pernah mengelola penerbit Jendela yang melahirkan novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. Ulasan lengkap mengenai perjalanan penerbit indie telah ditulis Adhe dalam buku Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998—2007).

Berikut interview yang telah dirangkum.

Apa yang membedakan buku terbitan indie dengan mayor?

Secara produksi, jumlah buku yang dicetak lebih sedikit. Terus metode publikasi atau pemasarannya lebih banyak di online dan komunitas, termasuk di tempat-tempat seperti tempat kami ini (OTH).

Tidak seperti buku mayor, buku indie tidak masuk di [pasar buku] Gramedia dan Togamas, karena memang skalanya kecil. Penerbit pada umumnya, seperti Gramedia, Mizan, Bentang, bisa [cetak] sampai ribuan eksemplar. Sedangkan indie dibikin skalanya ratusan eksemplar saja. Misalnya 300, seribu lah paling banyak.

Apa tema yang sering diangkat oleh penerbit indie?

Mereka (penerbit indie) biasanya lebih suka mengangkat tema-tema yang tidak pasaran, sih. Karena sadar bahwa ini ngga pasaran, mereka bikinnya sedikit dan ngga masuk ke jaringan toko buku Gramedia.

Tema bukunya juga lebih suka-suka mereka, ngga banyak mempertimbangkan berapa banyak peminat buku tersebut (mencari topik yang lagi tren). Lebih ke menyalurkan gagasan idealisme mereka aja, sih.

Seperti apa proses awal munculnya penerbit indie di Jogja?

Dulu, di Jogja itu mulai ramai anak-anak muda bikin penerbit buku setelah ’98. Karena memang suasana kebebasan sudah mulai ada. Awalnya mereka buat kecil-kecilan di kos-kosan, dikerjain sendiri, ngedit sendiri, bikin kover sendiri. Rata-rata [pelakunya] masih muda-muda. Saya aja mulainya [ketika] masih kuliah di UNY, setelah KKN. Bikin sama teman, satu mahasiswa UNY, satunya UNDIP Semarang.

Yang seperti kami waktu itu sudah banyak. Dulu nyebutnya ngga indie gitu. Karena tetep masuk ke toko besar. Di Gramedia [waktu itu] buku kami juga ada. Bedalah sama anak-anak (penerbit indie) sekarang yang memang lebih akrab dengan teknologi informasi yang menggunakan sosial media untuk promosi. Penerbit kecil tumbuh di Jogja, dari pengalaman saya, sejak ‘98 itu. Akhir tahun ‘90-an lah sampai awal tahun 2000-an juga masih banyak.

Seperti apa jaringan toko buku pada awal kemunculan penerbit indie di Jogja?

Karena cuma itu (toko buku konvensional) jalur distribusi atau saluran pemasaran yang paling siap dan paling lengkap. Buku yang kami cetak [dikirim] lewat jaringan toko buku konvensional yang tersebar di berbagai kota. Beda sama sekarang, kita bikin (cetak buku) tinggal post di Instagram. Kemudian orang bisa memesan dan membelinya. Di masa itu belum memakai dukungan teknologi seperti sekarang. Jadi masih menggunakan metode buku dicetak, dikirim ke distributor, kemudian distributor yang nyebarin ke banyak toko di seluruh Indonesia.

Sekarang banyak yang sudah tidak seperti itu. Kenapa? Karena dulu di masa akhir ‘90-an atau awal 2000-an, perkembangan teknologi digital belum seperti sekarang. Toko buku online [sebenarnya] sudah ada, bentuknya web. Tapi tidak seperti sekarang. Sekarang orang bisa memilih jualan di Bukalapak, Tokopedia, dan Instagram. Zaman dulu belum ada. Pilihannya ya ke Gramedia.

Apakah tantangan yang sering dihadapi penerbit indie?

Jadi, ‘98 sampai sekitar 2005 itu kebanyakan penerbit kecil di Jogja menggarap tema-tema sejarah, sastra, dan politik. Latar belakang kita memengaruhi pilihan kita di masa itu. Padahal kalo ngomongin jualan, yang doyan buku itu (sastra, sejarah, dan politik) dan mau membeli itu nggak banyak. Makanya pada tahun 2005-an itu penerbit-penerbit “kecil dan idealis” di Jogja itu runtuh satu per satu. Karena ngga kuat menghadapi pasar buku yang mensyaratkan bahwa produk itu harus laku supaya bisa terus jalan.

Berapa lama penerbit indie bisa bertahan?

Di masa itu paling lama 5—6 tahunan penerbit indie bisa bertahan. Kalau sekarang indie bisa bertahan sekitar 6 tahunan.

Apakah pernah ada kejadian penulis dari penerbit indie pindah ke mayor?

Itu lazim terjadi. Contohnya saja Fiersa Besari, sebelum dia sebesar seperti sekarang ini, ya dulu indie. Apalagi dia berhasil membranding dirinya dengan musik, seneng mendaki gunung, [followers] instragramnya juga rame gitu. Kalau buat penerbit besar, dia punya bekal agar laku bukunya karena followernya banyak. Padahal yang awalnya nemuin [Fiersa] ya di indie.

Kalau kamu jadi penulis, pilihannya lebih banyak, mau cara seperti apa karyamu dibaca orang. Kamu nerbitin sendiri bisa, kamu mau ke desain, ke penerbit indie juga bisa. Mau langsung nembus ke penerbit besar juga bisa.

Ini model di zaman dulu ketika saya mulai jadi penerbit. Dulu itu kalau penulis pengin nerbitin, naskahnya dibawa ke penerbit kemudian berdoa semoga naskahnya diterima. Kalau sekarang engak. Siapa pun bisa. Nah itu yang membedakan zaman dulu sama sekarang.

Reporter: Arsi, Fajar Uye, Nursaid

Baca INTERVIEW di lppmkreativa.com atau tulisan Nursaid lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Tulisan Tidak Serius tentang Bakat-bakat Hantu
Next post Menilik Kesamaan Masyarakat Indonesia dan Korea Melalui “Lelaki Harimau” dan “Vegetarian”