Dari Hati yang Berbakti

Seorang pemuda berjalan kaki menyusuri jalanan desa dengan balutan seragam putih abu-abu di sore hari, menandakan ia baru saja pulang dari sekolah. Tangan kanannya menenteng sebuah tas yang berisi kotak-kotak kosong, dagangannya memang selalu habis setiap harinya. Senyumnya merekah membayangkan wajah bahagia sang ibu ketika menerima gumpalan rupiah yang memenuhi saku celananya. Dimas, pemuda yang kini sedang membuka pintu rumahnya sambil mengucapkan salam, dirinya menemukan sang ibu yang sedang mengaduk adonan kue di meja makan.

“Bu, ini hasil dagangan hari ini. Laris-manis seperti biasa!” Ucapnya dengan gembira sambil menyerahkan segenggam uang.

“Alhamdulillah.” Jawab sang ibu dengan senyum terbaiknya.

“Ibu kok ngadon kue sekarang? Biasanya nanti tengah malam.”

“Iya, ini lagi nggak biasanya. Ibu pengen istirahat lebih cepat.” Jawab sang ibu masih dengan senyumnya yang mekar.

Dimas hanya manggut-manggut, ia lalu menuju kamar untuk berganti pakaian.

Beberapa menit kemudian Dimas keluar kamar dengan kaos dan celana pendeknya. Setelahnya, ia berpamitan kepada sang ibu untuk pergi ke ladang menjemput sang ayah.

“Bu, aku susul bapak di ladang, ya.”

“Iya, hati-hati.”

Jarak dari rumah menuju ladang tak terlalu jauh, kakinya yang tak beralas telah sampai di ladang sang ayah setelah lima menit berjalan kaki. Ladang yang sudah menjadi sumber perekonomian keluarga itu tak begitu luas, akan tetapi tanamannya tumbuh padat dan subur. Dimas menghampiri lelaki paruh baya yang sedang menyusun sayur-mayur hasil panennya di bawah rindangnya pohon mangga di ujung ladang.

“Jagungnya panen ya, Pak?”

“Iya, Alhamdulillah. Tolong masukkan jagung-jagung itu ke dalam kantong ya, Nak.” Pinta sang ayah sembari dirinya mengikat setumpuk kacang panjang di hadapannya.

Hasil panen tersebut nantinya dijual ke pasar pada keesokan harinya. Selain berkebun, ayah Dimas juga berjualan sayur-mayur bersama dengan sang ibu yang berjualan kue-kue tradisional di pasar. Selain ayah dan ibunya, Dimas sendiri juga ikut membantu dengan berjualan di sekolah. Ia membawa sebagian dari dagangan sang ibu untuk dititipkan di kantin sekolah.

Jagung terakhir sudah masuk ke dalam kantong. Dimas mengikat kantong tersebut lalu mulai memanggulnya ke atas pundak karena sang ayah juga telah selesai menata kacang panjangnya menjadi satu ikatan. Keduanya lalu berjalan untuk pulang ke rumah.

Dimas berjalan di belakang sang ayah, ia memperhatikan tubuh kurus ayahnya yang berjalan tertatih-tatih karena lutut kirinya sudah tidak lagi normal. Dimas merasa iba sehingga ia berjalan lebih cepat menghampiri sang ayah lalu mengambil ikatan kacang panjang itu dan mulai memanggulnya di bahu yang masih kosong.

“Eh, kenapa diambil? Biar bapak saja yang bawa. Jagung yang kau bawa kan sudah berat, nanti bahumu sakit!”

“Nggak apa-apa, Pak. Dimas masih muda, bahu Dimas kuat!” Ucapnya dengan wajah sombong.

“Hahahaha. Ya sudah, hati-hati.”

Setelah menunaikan ibadah isya dan makan malam, Dimas kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Dirinya baru saja menduduki bangku SMK jurusan Manajemen.

Tak terasa 4 jam berlalu. Kini Dimas berniat untuk istirahat karena besok masih harus bangun pagi untuk membantu sang ibu menyiapkan dagangan. Baru saja ia mendudukkan diri di kasur, tirai kamarnya tiba-tiba terbuka menampakkan sang ibu membawa sepiring kue tradisional yang disusun melingkar dan di tengahnya terdapat sebuah lilin. Di belakangnya disusul sang ayah yang menyanyikan sebuah lagu sambil bertepuk tangan dengan gembira.

“Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia…”

Air mata Dimas menetes seketika. Dimas mengerjapkan matanya, ia tak pernah menyangka kedua orang tuanya akan merayakannya seperti ini, tidak, Dimas bahkan tak ingat kalau hari ini dirinya berulang tahun.

“Eh, anak ibu kenapa menangis?” Panik sang ibu melihat putra satu-satunya makin deras meneteskan air mata.

Dimas membalas pelukan sang ibu disusul dengan sang ayah yang turut bergabung dalam kehangatan tersebut.

“Bu, Pak. Dimas minta maaf karena sampai saat ini belum membahagiakan Bapak dan Ibu.” Ucapnya masih sambil terisak.

“Siapa bilang? Kamu manutan, nggak neko-neko, rajin belajar, bantu pekerjaan bapak dan ibu, itu sudah buat kami bahagia, Nak. Setiap hari kami bahagia karena kamu. Bahkan sejak kamu lahir kami sudah bahagia.” Ucap sang ibu sambil mengusap air mata putra semata wayangnya.

“Dimas janji di masa depan nanti Dimas akan angkat derajat keluarga kita, Pak, Bu.”

“Aamiin, aamiin. Bapak dan Ibu selalu mendoakan kamu, Nak.” Ucap sang ayah.

Setelah menyantap beberapa potong kue buatan sang ibu, Dimas melanjutkan niat awalnya untuk tidur. Sayup-sayup angin malam menelisik dari jendela yang tak tertutup rapat dan suara jangkrik menjadi musik pengantar tidurnya setiap malam. Tak lama kemudian dirinya terlelap.

“Pak, Bapak?”

Dimas terbangun karena seseorang menepuk-nepuk bahunya. Ia terkejut dan langsung terkesiap mendapati seorang wanita berdiri di hadapannya.

“Maaf jika saya tidak sopan, tapi Bapak sudah tertidur di sini sejak satu jam yang lalu setelah rapat selesai.”

Dimas mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan menyadari bahwa dirinya tertidur di ruang rapat.

“Kami khawatir Bapak kenapa-kenapa, makanya saya membangunkan Bapak.” Jelas asisten wanita tersebut.

“Ah, saya baik-baik saja. Terima kasih sudah membangunkan saya.” Wanita tersebut mengangguk sambil tersenyum, “Apa agenda saya setelah ini?” Lanjut Dimas bertanya.

“Untuk hari ini sudah selesai, Pak.”

“Kalau begitu saya bisa pulang kan?”

Wanita tersebut lagi-lagi mengangguk sambil tersenyum.

Dimas mengendarai mobilnya bukan menuju ke rumahnya sendiri, ia menuju ke kampung halamannya untuk bertemu bapak dan ibunya. Dirinya merindukan kedua sosok tersebut sampai memimpikannya siang tadi.

Masih lengkap dengan pakaian kantornya, Dimas turun dari mobil dan berjalan menuju kedua orang tuanya. Sesampainya di hadapan, Dimas berjongkok untuk menyalami keduanya dengan mengusap batu nisan yang sudah terlihat tua.

“Pak, Bu. Dimas datang lagi.”

Setelah mengirimkan doa dan menaburkan bunga di kedua makam sang ayah dan ibu, Dimas mengusap batu nisan itu sekali lagi sebelum berpamitan.

“Aku akhirnya hanya mengangkat dejarat diriku sendiri, tapi Dimas yakin Tuhan pasti mengangkat derajat kalian di atas sana.”

“Hari ini Dimas ulang tahun lagi. Dimas kangen dibuatkan kue sama Ibu. Dimas kangen dinyanyiin sama Bapak. Dimas kangen dipeluk kalian berdua. Dimas kangen… kalian.” Air matanya menetes saat mengucapkan kata terakhir.

Setelah berpamitan, ia segera kembali ke mobil dan meninggalkan area pemakaman.

Di perjalanan pulangnya, Dimas melewati rumah lamanya yang sekarang sudah ia jadikan mushola sejak kepergian kedua orang tuanya tujuh tahun yang lalu. Senyumnya kembali merekah melihat mushola tersebut ramai anak-anak mengaji di dalam sana.

‘Pak, Bu. Terima kasih. Aku bahagia lahir sebagai anak kalian.’ Ucapnya dalam hati.

 

Editor: Salma Najihah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Asap Rokok di Kampus, Ada Aturannya, Kah?
Sumber foto: https://rizkybarokah.co.id/ Next post Resensi Novel Rasa Karya Tere Liye