Hari Stroke Sedunia: Pelukan Keluarga untuk Mereka
Taukah Anda jika tanggal 29 Oktober merupakan Hari Stroke Sedunia? Mungkin masih terdengar asing di telinga. Tapi, tak ada salahnya bukan jika kita mengenai lebih dekat penyakit pembunuh nomor satu di Indonesia ini?
Seperti yang telah diketahui, stroke merupakan kondisi ketika pasokan darah ke otak terganggu akibat penyumbatan (stroke iskemik) atau pecahnya pembuluh darah (stroke hemoragik), sehingga sel-sel pada sebagian otak menjadi mati karena tidak mendapat suplai nutrisi. Pola makan yang tidak sehat, stress, kurang olahraga, dan hipertensi merupakan pemicu munculnya penyakit mematikan ini. Penderita biasanya mengalami beberapa gejala seperti tiba-tiba bingung, mulut miring, lemah satu sisi tubuh, dan hilang kesadaran.
Berbicara mengenai kasus stroke negeri sendiri, lebih dari 15% kematian di Indonesia disebabkan oleh stroke. Riset kesehatan dasar Kementrian Kesehatan RI tahun 2013 menunjukkan jika lebih dari 2 juta penduduk Indonesia menderita penyakit stroke. Dengan rata-rata penderita telah berusia lanjut.
Fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini, penderita stroke acapkali dianggap sebagai beban keluarga. Hal itu karena segala sesuatu si penderita memang perlu dilayani, mulai dari bangun dari tempat tidur, makan, buang air, hingga mandi. Apabila tidak sabar, maka bisa jadi semua itu akan membuat uring-uringan dan menimbulkan permasalahan dalam internal keluarga.
Tidak sedikit kasus yang saya temui di lingkungan sekitar, penderita stroke hanya dianggap sebagai “robot”. Mereka sekadar dilayani aktivitas pokok sehari-hari, berobat, dan terapi. Padahal, seharusnya tidak demikian. Mereka juga butuh diperlakukan sama dengan orang yang sehat. Dalam artian mereka butuh teman bercerita, butuh hiburan, dan merasakan kehangatan keluarga. Mengapa? Karena mereka memerlukan dukungan agar memiliki semangat hidup lebih lama.
Pengalaman pribadi membuktikan jika dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat mampu memberi suntikan semangat hidup bagi penderita stroke. Adalah almarhum kakek saya, salah satu pengidap penyakit ini, mampu melawan sakitnya hingga 10 tahun. Selama jangka waktu itu tidak disangkal memang perubahan fisiknya memang sangat kentara. Mulai dari ia masih bisa berjalan dengan bantuan tongkat hingga ia perlu bantuan kursi roda untuk ke mana-mana.
Sejujurnya menulis kisah kakek perlu menggali ingatan yang akan memanggil kerinduan. Namun, jika diperlukan mengapa tidak? Tahun 2005 adalah tahun pertama kakek terkena serangan stroke. Tahun itu merupakan masa di mana kakek kerap keluar masuk rumah sakit. Lalu di tahun-tahun berikutnya adalah masa dimana kemampuan fisiknya berangsur menurun. Di masa-masa penurunan itulah saya mendapati hampir seluruh perhatian keluarga tercurah pada kakek.
Ayah, ibu, dan kakak-kakak mereka bergantian memandikan dan mengganti pampers kakek. Nenek setiap hari di jam yang sama selalu menyiapkan jus dan menyuapi kakek. Ayah secara berkala mendorong kakek berkeliling sekitar rumah dengan kursi roda agar kakek bertemu dengan para tetangga. Dan hampir sebulan sekali ayah mengajak kami berlibur bersama kakek meski mobil kami harus disesaki kursi roda. Itulah beberapa yang setidaknya dapat saya ingat.
Sepuluh tahun bukanlah jangka waktu yang singkat. Maka almarhum kakek menjadi salah satu bukti jika memang dukungan keluarga sangat membantu penderita stroke untuk “bertahan” lebih lama. Maka jangan lupa untuk selalu memeluk dan memperlakukakan mereka seperti orang normal lainnya.
(Nadhila Hibatul)