Advertisement Section

-is, -ik, dan Hal Lain

Mari tersesat di kabut penyerapan bahasa Indonesia.

Kasus pertama: coba anda buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi termutakhir, dan carilah lema elektronik. Kelas katanya nomina, dan memuat arti ‘alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektronika’. Sementara kalau kita buka lema elektronis, kelas katanya adjektiva, dan memuat arti ‘berhubungan dengan elektron’.

Kasus kedua: coba anda buka kamus yang sama dan buka lema grafik. Ini nomina yang berarti ‘lukisan pasang surut suatu keadaan dengan garis atau gambar (tentang turun naiknya hasil, statistik, dan sebagainya)’. Sementara bila anda mencari grafis, maka yang muncul adalah adjektiva dengan arti ‘bersifat graf; bersifat huruf; dilambangkan dengan huruf’.

Dari dua kasus di atas, logika sederhana akan menyimpulkan bahwa –ik adalah sufiks pembentuk nomina, dan –is sufiks pembentuk adjektiva. Anda bisa menabalkan keyakinan itu dengan mencari kasus ketiga, keempat, dan seterusnya. Coba cari etik dan etis, kritik dan kritis, elastik dan elastis, atau sederet permisalan lain yang bisa anda cari sendiri.

Namun sayangnya, gramatika tak sesederhana itu. KBBI tak mengenal –ik sebagai sufiks pembentuk nomina. Sufiks itu malah tak masuk kamus sama sekali. Yang ada adalah –is yang “rangkap jabatan”. Ia menjadi sufiks pembentuk nomina sekaligus pembentuk adjektiva.

Dalam entri KBBI yang awal, lema bersufiks –ik dan –is kebanyakan berasal dari bahasa Belanda (-iek dan –isch). Per 1999, berdasarkan Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia, ada 3.280 kata serapan bahasa Belanda. Sebaliknya, baru 1.610 kata yang diserap dari bahasa Inggris. Namun seiring berjalannya waktu, globalisasi dan kemajuan teknologi mendorong penetrasi bahasa internasional (Inggris) ke dalam bahasa Indonesia. Di abad 21, makin banyak kata-kata bahasa Inggris yang diserap, termasuk lema bersufiks –ic.

Apabila kita menilik bahasa Inggris (via Merriam-Webster), sufiks –ic—yang jadi sumber serapan –ik dan –is—merupakan sufiks homonim. Ia pembentuk nomina sekaligus pembentuk adjektiva. Sedikit perbedaannya adalah –ic (nomina) nuansanya dekat ke –ique (dalam kata unique) dan –ic (adjektiva) dekat dengan –ical (dalam kata symbolical).

Lantas bagaimana kita menentukan kapan menyerap –ic menjadi –is atau –ik? Sayangnya, kamus kita yang dikuduskan Badan Bahasa tak menjawab banyak soal ini. Dalam penyerapan, pertimbangan morfologis tak begitu diperhatikan. Berdasarkan Pedoman Umum Pembentukan Istilah (edisi ketiga, 2007), penyerapan ke bahasa Indonesia didasarkan pada lima hal: ketersalinan, mempermudah pemahaman teks asing, keringkasan, mempermudah kesepakatan antarpakar, dan tidak mengandung konotasi buruk.

Meskipun ada kata yang notabene menjadi via proses morfologis, KBBI hanya menyerap bentuk finalnya. Misal dalam kata standardisasi yang diributkan akhir-akhir ini. Orang-orang meributkan, mengapa ada fonem /d/ sebelum sufiks –isasi dalam standardisasi? Padahal, “kata dasarnya”, standar tak ditutup /d/ pada akhir lafalnya.

Badan Bahasa pun menegaskan, standardisasi diserap langsung dari standardization (Inggris). Atas nama ketersalinan, fonem /d/ sebelum –isasi dipertahankan. Otoritas linguistik tertinggi ini juga memberi kita pengetahuan baru: tak pernah ada sufiks –isasi dalam gramatika bahasa Indonesia. Yang diserap kata per kata, bukan morfem per morfem.

Dengan logika penyerapan seperti ini, bahasa kita menelan mentah lema-lema baru. Lema berafiks, yang notabene bentuk derivatif, tidak diindahkan kata dasarnya. KBBI menanggalkan derivasi yang bisa jadi sumber berharga dalam debat semantis atau morfologis.

Melepaskan kata dari sanadnya, itulah yang dilakukan kamus kita. KBBI, yang sudah terbit lima edisi, enggan menyematkan etimologi di tiap entrinya. Apa yang dipajang adalah bentuk final. Penutur bahasa Indonesia dilatih untuk tidak menyelisik dan patuh saja dengan keputusan otoritas.

Di sisi lain, literatur tentang etimologi bahasa Indonesia tergolong minim. (Apakah otoritas kebahasaan tak tertarik membuat kamus khusus etimologi bahasa Indonesia?) Setahu saya, literatur yang paling mutakhir adalah Loan-words in Indonesian and Malay (2008) terbitan KITLV dan proyek SEAlang Library.

Namun portal daring SEAlang juga tak mengulas etimologi secara rigid. Di entri kata, hanya tersemat dari bahasa apa kata itu berasal. Struktur morfologis kata dan tahun berapa kiranya kata itu muncul tak disertakan.

Padahal, etimologi adalah sumber potensial untuk memperdebatkan bentuk final kata-kata serapan. Dengan menguntit hingga ke akar, kita jadi tahu proses linguistik apa yang melatari suatu kata.

Ada proses yang ditanggalkan dalam penyerapan ke bahasa Indonesia. Padahal, makna lema yang diserap tercipta berkat “benturan” antarmorfem di bahasa asal. Tanpa makna dasar standar dan makna gramatikal –isasi, standarisasi tak bisa dibentuk. Standar berarti ‘ukuran’, -isasi berarti ‘proses’. Standarisasi berarti ‘penetapan ukuran’. Lantas pertimbangan macam apa yang membawa fonem /d/ dalam standardisasi? Urgensi macam apakah yang membuat penyesuaian ejaan dan lafal bisa menganulir proses morfologis?

Secara prinsip penyerapan, bentuk standardisasi memang tak keliru. Karena yang disesuaikan (ke bahasa Indonesia) adalah ejaan dan lafalnya. Tetapi, prinsip demikian patut dipermasalahkan kalau ia menganulir proses morfologis yang terjadi.

Patut dicatat kalau ini proses kebahasaan. Dan bahasa seharusnya adalah medium abstrak yang mencerap kreativitas masyarakat penutur. Morfologi adalah bagian tak terpisahkan dari aspek kreatif bahasa. Berkat konstruksi morfem, banyak kata muncul dan mengisi entri kamus, menyerap makna-makna yang sebelumnya tak berbentuk.

Dengan prinsip penyerapan saat ini, Badan Bahasa lebih suka mengambil bentuk final kata-kata dan menyodorkannya ke masyarakat. Tak perlu memperhatikan konstruksinya. Toh, KBBI juga enggan menyerap afiks baru yang bisa dikonstruk sesuai logika dan mengantisipasi timbulnya bentuk aneh seperti standardisasi.

– – – – –

Penulis Ikhsan Abdul Hakim (Pemimpin Redaksi LPM Ekspresi UNY 2019), dipublikasikan pertama kali di Majalah Kreativa XIX

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous post Awal Menjadi Seniman: Belajar untuk Bisa Bertanya
Next post Pendidikan dalam Pandangan KHD dan Dr. Dwi Siswoyo