
Awal Menjadi Seniman: Belajar untuk Bisa Bertanya
“Hanya satu hal yang bisa diciptakan oleh seorang seniman yaitu Kehidupan.”
Akan saya awali tulisan ini dengan suatu perbincangan seorang pemuda dengan ayahnya. Pemuda ini sedang duduk di depan meja kerjanya. Sementara sang Ayah sedang menikmati kopi dan sebuah buku di tangannya. Lalu terjadilah perbincangan yang tiba-tiba.
Pemuda:
Mengapa wahyu pertama kali yang Tuhan turunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW yaitu Bacalah?
Ayah:
Sebab, Tuhan ingin memuliakan Muhammad SAW, agar beliau menjadi seorang penyair.
Pemuda:
Penyair? Apa hebatnya seorang penyair, bagiku tidak ada yang hebat untuk menjadi penyair.
Ayah:
Penyair memang tidak hebat namun penyair harus ada untuk menjelaskan “apa itu hebat”.
Pemuda:
Baiklah. Jadi Ayah menyuruhku membaca buku yang bertumpuk ini sebelum aku mendaftar ke kampus kesenian agar aku bisa menjelaskan makna dari peristiwa?
Ayah:
Tidak.
Pemuda:
Lantas?
Ayah:
Aku menyuruhmu membaca supaya kau punya pertanyaan-pertanyaan yang berkualitas seperti malam ini.
Pemuda:
Apa pentingnya pertanyaan-pertanyaan?
Ayah:
Awal untuk menciptakan kehidupan adalah menciptakan pertanyaan-pertanyaan.
Pemuda:
Kau selalu punya jawaban dari seluruh pertanyaanku. Baiklah ayah, aku ingin mencoba apakah kau bisa membuat pertanyaan yang lebih berkualitas dariku?
Ayah:
Baik. Sekarang jawablah, mengapa wahyu pertama untuk membaca di turunkan kepada Muhhammad SAW, tidak diturunkan pada nabi-nabi sebelumnya?
Pemuda hanya terdiam dan termenung. Sementara Sang Ayah tersenyum sambil menyeruput kopinya lagi.
***
Pertanyaan adalah hal yang penting dalam hidup kita. Masih ingat saya dengan petuah Rama Mangun kepada muridnya yaitu “Murid yang cerdas adalah murid yang bisa memberikan pertanyaan yang berkualitas”. Pertanyaan bagi saya adalah tanda yang mampu membuktikan seberapa kulitas hidup manusia. Sebab inilah yang akan membedakan manusia dengan bukan manusia. Manusia mempunyai pertanyaan sementara makhluk lain tidak memiliki pertanyaan.
Bagi seorang seniman pertanyaan menjadi hal yang sangat penting, sebab dari sinilah mereka berawal untuk membuat karya. Pertanyaan menjadi satu bentuk intuisi awal yang akan memancing daya kreatif dan daya kritis seorang seniman pada sebuah objek yang dia lihat. Setidaknya hasil karya seni merupakan satu bentuk mimesis atau tiruan dari semesta yang lahir dalam bentuk berkualitas.
Semakin unik atau detail pertanyaan seorang seniman maka karya yang akan dihasilkan akan mempunyai kualitas yang unik dan menarik pula. Sebab karya seni adalah satu medium yang lahir untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari diri seorang seniman. Dari situlah ukuran awal seberapa menarik peristiwa kehidupan yang akan diciptakan oleh seorang seniman.
Nah, sekarang mari kita cek, seberapa berkualitas pertanyaan-pertanyaanmu?
Dalam hal ini saya membagi pertanyaan-pertanyaan ke dalam dua jenis yang umum yaitu “Pertanyaan Yang Aku” dan “Pertanyaan Yang Lain”. Pembagian ini berangkat dari posisi manusia dalam bagian semesta budaya, yaitu posisi manusia sebagai sistem individu dan posisi manusia dari suatu sistem sosial, kemanusiaan dan ketuhanan.
Sebagai satu sistem individu manusia terdiri dari sistem organ dan sistem psikologis. Sistem organ dan sistem psikologis ini akan mengarahkan kita pada pemenuhan kebutuhan biologis seperti sex, makan, buang air dan sebagainya, serta pemenuhan kebutuhan eksistensi personal seperti cantik, kaya, rumah bagus, dan sebagainya. Seseorang yang lebih menekankan hidupnya pada sistem individu ini akan mengarahkan pertanyaan-pertanyaanya pada hal yang bersifat internal. Mereka akan menguatkan “aku” sebagai satu tujuan pemenuhan kebutuhan. Bagi saya ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkualitas “awam”.
Kualitas pertanyaan ini akan lebih berpihak tentang kebutuhan personal yaitu bagaimana sistem individu ini bisa berjalan. Misalnya adalah pertanyaan, apakah aku cantik? Bagaimana aku makan? Bagaimana aku bisa berhubungan dengan lelaki atau perempuan itu?
Saya menggolongkan pertanyaan ini pada kadar awam sebab pertanyaan-pertanyaan ini mampu direplika atau diakomodir oleh teknologi, misalnya robot. Struktur psikologis dan biologis manusia merupakan bagian dari sistem yang berkesinambungan satu sama lain. Sistem ini berjalan dengan hubungan sebab akibat yang logis. Sehingga ketika kita bisa melihat alur sistem tersebut kita mampu memindahkannya secara kode ke dalam bentuk robot atau aplikasi teknologi lain. Nah, sisi dari individu manusia yang bisa tereplika bagi saya adalah hal yang awam dan bisa jadi saya mengatakan jika kita masih berkutat pada wilayah ini maka kita belum menjadi manusia.
Berbeda dengan “Pertanyaan Yang Lain”. Kita bisa mengenal istilah “Yang Lain” dalam nalar filsafat Lacan atau jean Paul Sartre. Akan tetapi, dalam ranah ini saya hanya akan melibatkan sedikit pemikiran mereka atau justru mengabaikannya. Sebab nalar pemikiran filsafat mereka masih pada ranah bagaimana memposisikan manusia secara hubungan aksi reaksi pada kebendaan atau pada apa yang terlihat. Jiwa dalam pengertian mereka masih berangkat pada tataran bagian dari sistem organ manusia. Sementara untuk menjelaskan tentang “Pertanyaan Yang Lain” saya berangkat dari dasar bahwa jiwa bukan bagian dari sistem organ atau sistem psikologi manusia.
Frasa “Yang Lain” berangkat dari kedudukan manusia melihat elemen di luar diri kemanusiaannya, sehingga mampu memposisikan manusia dengan dunia luar dan mampu melakukan hubungan selaras bagi kemanusiaan. Analisa-tor yang digunakan untuk melihat posisi “individu” dengan posisi “yang lain” adalah berdasar dari akal dan jiwa manusia. Dalam konteks ini saya akan menegaskan bahwa “Jiwa bukanlah bagian dari sistem organ atau psikologi manusia.”
Jiwa merupakan suatu entitas yang gaib, dia bukan bagian dari satu sistem organ sebab pada titik tertentu dia berperan sebagai penggerak sistem organ namun pada titik tertentu dia menjadi “the other” dari sistem organ dan psikologis kita. Jiwa bisa hadir menjadi keseluruhan kemanusiaan, bisa pula menjadi cahaya yang mampu menghadirkan “keberadaan” kemanusiaan kita. Sementara keberadaan jiwa ini akan hadir apabila kita mampu mengakomodir hal yang tidak logis untuk pertemuan-pertemuan kita pada Tuhan atau Sang Hyang Pencipta, (bagi saya tidak ada satupun ibadah yang logis di muka bumi ini).
Jika jiwa telah mampu kita hadirkan dalam bagian kemanusiaan kita maka jiwa akan melakukan satu proses “distorsi eksistensi” atau penghancuran keberadaan individu. Dia akan membawa manusia pada ranah ketiadaan dalam artian tidak menghadirkan lagi identitas, keber-agama-an, posisi politik, atau posisi sosial. Namun, jiwa akan meleburkan seluruh posisi ini dan membawa kita pada satu posisi “hamba Tuhan” atau posisi paling purba dari manusia.
Mari kita jenguk sebentar kisah Muhammad SAW ketika pertama kali mendapatkan wahyu. Firman dari Tuhan pertama yang berupa wahyu berbunyi, “Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu.” Pada ranah ini, Tuhan ingin manusia melibatkan keberadaan-Nya dalam setiap perilaku. Hal ini adalah satu penanda untuk memunculkan jiwa kita.
Teks “menyebut nama Tuhanmu” adalah satu bentuk kerendahan hati atau distorsi eksistesi bahwa bukan kita yang membaca, bukan kita yang memiliki pengetahuan dari yang kita baca melainkan yang membaca adalah hamba Tuhan dan segala ilmu milik Tuhan.
Berangkat dari hal di atas maka saya mendudukan pertanyaan “Yang Lain” adalah puncak tertinggi dari pertanyaan yang berkualitas dari sisi kemanusiaan kita. Tidak lagi bertanya tentang hal yang individual namun pertanyaan ini akan lebih mengarah pada nilai yang lebih tinggi. Misalnya, “Bagaimana agar aku bisa bermanfaat dalam sebuah sistem masyarakat?” “Bagaimana akan terjadi keselarasan?” atau “Mengapa aku mesti diciptakan di lingkungan seperti ini?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan bagian dari pertanyaan awam. Sebab, “Jiwa” tidak mampu di replika ke dalam bentuk teknologi apapun. Cinta tidak akan bisa direplika oleh keberadaan yang tidak berjiwa. Sebab, cinta tidak hanya berbicara tentang setia dan saling memiliki.
***
Bagi seorang yang ingin menjadi seniman atau ilmuwan, pertanyaan adalah modal dasar. Untuk bisa bertanya tidak lain semua berangkat dari apa yang kita baca. Bukan hanya membaca buku-buku akan tetapi juga membaca peristiwa yang terjadi di sekeliling kita.
Saya akan tutup tulisann ini dengan melanjutkan perbincangan pemuda dan ayahnya yang terputus tiba-tiba:
Setelah Ayah menyeruput kopinya, dia menutup bukunya. Dan ingin beranjak. Lalu sang pemuda mencegahnya.
Pemuda:
Ayah belum menyelesaikan permasalahan.
Ayah:
Apa kau punya jawaban?
Pemuda:
Aku punya. Karena Muhammad adalah nabi paling sempurna di antara nabi lainnya. Dan membaca adalah hakikat paling sempurna bagi manusia. Nabi Muhammad adalah nabi paling pintar di antara nabi-nabi lainnnya.
Ayah:
Tidak ada orang yang merasa pintar ingin membaca.
Pemuda:
Berarti kau anggap nabi Muhammad bodoh?
Ayah:
Kau terlalu gegabah dalam menyimpulkan.
Pemuda:
Lantas?
Ayah:
Tuhan sedang mengajarkan adab kepada Nabi Muhammad. Agar dia membaca wahyu-wahyu yang telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya. Membaca dengan penuh kerendahan hati dengan selalu menyebut nama Tuhan dan menghormati para pendahulunya.
“Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu dari orang-orang yang beradab. Ilmu yang dimiliki oleh pendahulu, ilmu yang hadir dari masa saat ini dan ilmu yang akan disampaikan ke masa depan.”
Lalu Sang ayah kembali beranjak dan pergi. Seorang pemuda masih termenung, dilihatnya buku di atas meja yang baru saja dibaca ayahnya yang berjudul Seratus Tahun Kesunyian. Pemuda itu menjadi lebih bingung. [redaksi]
– – –
Tulisan Muhammad Shodiq Sudarti (Pendiri Sangkala, FBS UNY), dipublikasikan pertama kali di Majalah Kreativa Edisi XIX